eQuator.co.id – Sanggau-Jakarta-RK. Divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sembilan Aparatur Sipil Negera (ASN) Kabupaten Sanggau segera dipecat. Surat permohonan persetujuan tertulis penerbitan surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) ASN koruptor dari Gubernur Kalbar sudah dilayangkan ke Mendagri.
Surat Gubernur Kalbar tertanggal 11 Februari 2019, merupakan tindaklanjut dari Surat Bupati Sanggau Nomor 800/109/BKPSDM-C tanggal 28 Januari 2019. “Gubernur Kalbar sudah meneruskan surat Bupati Sanggau kepada Mendagri untuk mendapat persetujuan tertulis menetapkan SK PTDH. Suratnya sudah berproses di Kemendagri, tinggal menunggu tandatangan Mendagri,” jelas Plt Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Sanggau, Herkulanus HP, Sabtu (9/3).
Herkulanus membeberkan, terkait lambatnya pemecatan sembilan koruptor tersebut. Ia menegaskan, ada prosedur yang harus dilalui. Terlebih Bupati Sanggau saat itu berstatus petahana pada Pilkada serentak 2018. Herkulanus menyebut, dalam Undang Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ada ketentuan yang mewajibkan petahana harus mengajukan permohonan persetujuan tertulis kepada Mendagri, sebelum menetapkan keputusan penting di bidang kepegawaian. “Di antaranya pemberhentian tidak dengan hormat sebagai ASN. Ketentuan ini berlaku 6 bulan sebelum penetapan sebagai paslon dan 6 bulan setelah dilantik sebagai bupati terpilih. Kalau kabupaten lain karena kebetulan bupatinya tidak petahana, maka tidak perlu melakukan proses tersebut,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, lambatnya pemecatan ASN koruptor di Tanah Air membuat pemerintah mengambil langkah tegas. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor B/50/M.SM.00.00/2019, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Syafrudin memberikan tenggat hingga 30 April 2019.
Dalam poin kelima SE tersebut dikatakan, jika hingga tidak melakukan pemecatan hingga batas yang ditentukan, Pejabat Pembina Kepegawaian (Bupati/walikota) akan mendapat sanksi. Sanksi maksimal yang bisa diterima adalah pemberhentian sementara tanpa memperoleh gaji.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan, Mudzakir mengatakan, ancaman sanksi tersebut tidak main-main. Jika sudah melewati batas, maka otomatis berlaku. “Iya langsung,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Plt Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang menjelaskan, sanksi hingga pemberhentian bagi kepala daerah sangat dimungkinkan. Hal itu sebagaimana di atur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Hanya saja, lanjutnya, ada prosedur yang harus dilalui. Di mana sanksi tidak langsung ke pemberhentian. Mulai dari sanksi administrasi lebih dulu. “Teguran dulu, kasih kesempatan lagi,” ujarnya.
Namun jika terus dilanggar setelah diperingati bisa pemberhentian. Akmal menambahkan, pihaknya akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Kemenpan dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) terkait teknis pemberian sanksinya. Pasalnya, secara hukum, Kemendagri yang menjadi eksekutor penjatuhan sanksi.
Seperti diketahui, ada 2.357 ASN yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan. Namun hingga 2 maret, jumlah yang sudah diberhentikan baru 751 saja. Sementara sisanya masih berstatus ASN dan mendapat hak-hak keuangan secara regulan. Sejumlah pihak mendesak agar pemberhentian segera dilakukan demi mengurangi kerugian negara.
Ditanya soal hambatan yang membuat pemda belu memecat ASN tersebut, Akmal menyebut cukup beragam. Namun mayoritas karena ada gugatan hukum. Di mana para ASN merasa dihukum dua kali. Setelah dipidana kemudian dipecat. “Kita beri ruang kepada pihak yang ingin cari keadilan, kan itu hak semua warga negara,” tandasnya.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, aturan dan ketentuan terkait dengan pemecatan ASN korup sudah jelas. “Apabila terdapat ASN yang terbukti bersalah, maka harus segera dipecat,” terang dia saat diwawancarai Jawa Pos kemarin. Karena itu, tanpa harus menunggu permendagri yang tengah digodok, pemerintah sudah bisa memberi sanksi apabila PPK tidak menjalankan aturan tersebut.
Disamping berbagai insturumen hukum yang mengikat ASN, Menurut Wana, sudah ada ada SKB di antara tiga instansi yang memperkuat aturan tersebut. “Kalau mau merujuk SKB, tidak ada alasan lagi untuk menunda pemecatan. Dan seharusnya ketika SKP tidak dijalankan, PPK perlu mendapatkan sanksi karena tidak menjalankan aturan,” terang dia. Harapannya, semua langkah yang diambil pemerintah mampu mempercepat pemecatan PNS korup.
Laporan: Kiram Akbar, Jawapos
Editor: Yuni Kurniyanto