Pembatasan CPO Oleh Uni Eropa Ancam Neraca Dagang

ANGKUT SAWIT. Aktivitas petani memasukkan Tandan Buah Segar (TBS) sawit ke truk. Saat ini Uni Eropa kembali menyerang kelapa sawit Indonesia melalui kebijakan RED II. Pemerintah dituntut tingkatkan konsumsi dalam negeri. (Dokumen Kaltim Pos)

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Upaya penekanan defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) dapat tertahan akibat masalah perdagangan kelapa sawit (CPO) ke Eropa. Tahun lalu CAD Indonesia mencapai 2,98 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tahun ini pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berupaya menekan CAD hingga 2,5 persen.

 Ke depan, neraca perdagangan mengalami tantangan jika kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II Delegated Act diterapkan Uni Eropa pada 12 Mei mendatang. Kebijakan yang mengategorikan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati berisiko tinggi tersebut akan berdampak pada pembatasan pembelian sawit oleh para buyer di Eropa. Indonesia pun saat ini menyiapkan aksi litigasi ke World Trade Organization (WTO) untuk mengatasi masalah tersebut.

Di samping menempuh jalur hukum, Indonesia harus berbenah untuk mengantisipasi dampak yang bakal timbul akibat hambatan ekspor tersebut. Salah satunya, memperbanyak ekspor manufaktur.

“Sebab, selama ini kelapa sawit sudah menyumbang 10–12 persen dari total ekspor nonmigas yang sekitar USD 160 miliar,’’ kata ekonom BCA, David Sumual, kemarin.

Dorongan pada ekspor manufaktur ini bukan hanya antisipasi dari dampak masalah Indonesia dengan Uni Eropa (UE), tetapi juga bertujuan mengantisipasi dampak pergerakan harga komoditas lainnya.

Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor sawit, tetapi juga karet. Upaya diversifikasi ekspor itu semestinya dilakukan sejak dulu agar neraca dagang Indonesia tidak melulu fragile terhadap harga komoditas. Faktor supply and demand serta isu lingkungan juga sangat memengaruhi komoditas tersebut.

Ekspor kelapa sawit harus diperluas. Indonesia mulai mengirimkan banyak sawit ke negara lain seperti India dan Pakistan. Namun, menurut David, dampaknya terhadap neraca dagang tidak bisa cepat.

’’Ekspor ke India mungkin belum sebanyak ekspor ke Eropa,’’ ujarnya.

Karena itu, David menyarankan agar pemerintah bisa mengatasi masalah CAD dan ketergantungan ekspor komoditas. Selain itu, review hubungan dagang dengan UE perlu dievaluasi.

“Harus tegas, tetapi jangan sampai emosional. Sebab, kita juga ekspor karet ke UE. Mengatasi masalah ini memang harus berani, tetapi tetap hati-hati”’ tutur David.

Di luar itu, David menyarankan agar Indonesia mulai melakukan diversifikasi ekspor dengan memperbanyak ekspor jasa. Pemberlakuan B30 hingga B100 juga harus dipercepat.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai, penerapan RED II oleh Uni Eropa semakin menjadi hambatan perdagangan sawit. Diskriminasi ini, bakal sangat merugikan negara produsen sawit, tak terkecuali bagi Indonesia.

“Saat ini kita juga sedang dihadapkan pada tantangan hambatan perdagangan yang diterapkan oleh Komisi Uni Eropa yang pada tanggal 13 Maret 2019 ini telah mengadopsi RED II,” ujar Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/4).

Mukti mengatakan, RED II menjadi kebijakan yang akan menghapus penggunaan biodiesel berbasis sawit. Karena sawit digolongkan sebagai minyak nabati beresiko tinggi terhadap deforestasi.

“Meskipun Iandasan ilmiah RED ll banyak dipertanyakan, diskriminasi negara Uni Eropa ini tentunya sangat merugikan negara produsen sawit,” katanya.

Sementara itu, meski harga CPO global bergeliat positif, namun kinerja ekspor sawit Indonesia tengah mengalami penurunan. Pada Februari 2019, Gapki mencatat harga CPO global menunjukkan kenaikan harga rata-rata bulanan sebesar lima persen.

Sepanjang Februari harga CPO global bergerak di kisaran USS 542,50 USS 572.50 per metrik ton. Ia menilai naiknya harga CPO global ini didorong oleh berkurangnya stok minyak sawit di Indonesia dan Malaysia dan juga minyak nabati Iain di beberapa negara produsen.

Akan tetapi kinerja ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan. Untuk produk CPO dan produk turunannya, Biodiesel dan Oleochemical, maupun PKO dan turunannya saja, pada Februari 2019 ini tercatat mengalami penurunan lebih dari 11 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

“Penurunan volume ekspor ini disebabkan antara Iain karena bulan Februari yang lebih pendek dari pada bulan Januari,” kata Mukti.

Gapki mencatat, total ekspor Februari terdiri dari CPO 852,30 ribu ton dan sisanya adalah produk turunannya. Adapun Negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia khususnya CPO dan produk turunannya yang mencatatkan penurunan signiflkan dibandingkan dengan bulan sebelumnya adalah Amerika Serikat, Pakistan, China, Afrika dan India.

Pada akhir Februari 2019, stok minyak sawit Indonesia tercatat sebesar di 2,50 juta ton atau turun 17 persen dibandingkan Januari lalu sebesar 3,02 juta ton.

Sebelumnya, Ketua Harian Gapki Kalbar, Idwar Hanis mengatakan, industri sawit Indonesia memang masih menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari fluktuasi harga yang amat bergantung dengan permintaan global.

“Seperti halnya persaingan minyak nabati komoditas lainnya, kemudian  adanya kampanye negatif sawit, sehingga isu seperti ini harus ditangkal. Sebab adanya persaingan yang ketat antar produsen minyak nabati dunia,” sebutnya.

Namun begitu, Idwar memandang, bahwa sawit berpotensi besar apabila dikelola secara baik di dalam negeri. Maka dari itu, industri hilir sawit menurutnya harus segera dibangun, sehingga industri ini tidak hanya bergantung pada ekspor CPO ke luar negeri.

“Maka dari itu dibutuhkan infrastruktur maupun regulasi yang mendukung lahirnya industri hilir ini. Sebab industri hilir sangat bergantung dengan infrastruktur, mulai dari listrik, pelabuhan, tenaga kerja dan lain-lain. Tak kalah penting dukungan dari pemerintah melalui regulasi, yang mendukung industri ini” pungkasnya.

 

Laporan: Nova Sari/Jawa Pos

Editor : Andriadi Perdana Putra