Pelaku Usaha Mesti Lebih Kreatif

Industri Makanan Kian Bertumbuh

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Manufaktur di Kalimantan Barat terus bertumbuh. Baik dalam skala Industri Besar Kecil (IBS) maupun Industri Mikro Kecil (IMK). Dari pertumbuhan tersebut, sektor industri makanan yang meningkat cukup siginifikan.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat (Kalbar) mencatat, terjadi pertumbuhan produksi IBS dan IMK secara year on year (yoy). Industri makanan mencatatkan pertumbuhan yang paling tinggi.

BPS Kalbar mencatat, pertumbuhan produksi secara yoy IBS Kalbar pada triwulan IV Tahun 2018 naik 15,78 persen, dan nasional pertumbuhan produksi yoy naik 3,90 persen.

Dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2017, secara yoy pada triwulan IV 2018 industri makanan tumbuh di Kalbar sebesar 29,65 persen. Sedangkan pertumbuhan produksi IMK secara yoy, naik sebesar 6,76 persen, dan pertumbuhan IMK nasional naik 5,38 persen. Berbeda dengan IBS, industri makanan tidak mencatatkan pertumbuhan yang signifikan, yakni hanya 0,06 persen.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Tanjung Pura, Muhammad Fahmi memandang , Kalbar memiliki potensi besar dalam mengembangkan industri makanan.

“Kalau kita lihat dari data yang ada di BPS Kalbar di mana industri makanan ini menjadi paling tinggi nilainya, tentu kita menganggap bahwa Kalbar mampu, khususnya untuk pengolahan atau pemanfataan SDA yang dimiliki oleh daerah ini,” ujar M Fahmi, Jumat (8/2).

Terlebih diketahui untuk SDA sendiri, dia memandang potensi makanan khususnya buah lokal yang berlimpah ruah ketika pada musimnya. “Ini juga berpengaruh sehingga terjadi keniakan pada bahan makanan ini,” katanya. Fahmi bilang, industri makanan sendiri sebetulnya mampu mendongkrak ekonomi. Jika produk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomis. Untuk itu, inovasi kreativitas dalam pengembangan produk turunan mesti menjadi fokus pemerintah maupun pelaku usaha.

“Memiliki nilai ekonomi artinya tidak hanya dipasarkan dalam bentuk mentah atau aslinya saja, namun dibutuhkan kreativitas dengan mengolah kembali bahan yang sudah ada sehingga jauh menarik dan lebih banyak diminati,” ungkapnya.

Tentu langkah awal yang dapat dilakukan yaitu dengan pengkajian mengenai produk turunan apa saja yang dihasilkan dari sumber daya alam yang dimiliki oleh provinsi ini. Selain itu, pengkajian terkait pasar yang akan disasar juga perlu dilakukan.

“Tidak menutup kemungkinan, pasar dari produk-produk yang diihasilkan industri makanan menyasar luar negeri. Bahkan ini juga  sudah terbukti oleh sejumlah produk yang mampu tembus pasar luar negeri,” terangnya.

Untuk itu, kata dia, keterlibatan dari seluruh pihak terkait dalam mencari, mengkaji produk apa yang dapat diolah dan perlu diketahui pula pasar yang akan disasar.

“Ini semuanya harus bersama-sama berkolaborasi mengarahkan produk unggulan baik makanan dan minuman, sehingga memiliki nilai tambah dan nilai jual yang tinggi,” ucap Fahmi.

Dalam hal pemerintah pusat, saat ini juga tengah fokus menggenjot kinerja industri pengolahan, terutama yang berorientasi ekspor untuk memperbaiki struktur perekonomian saat ini. Terlebih selama ini produk manufaktur memberikan kontribusi paling besar terhadap nilai ekspor nasional.

“Industri manufaktur mampu menyumbang nilai ekspor hingga 74 persen. Selain itu, berkontribusi terhadap PDB sebesar 20 persen serta untuk perpajakan sekitar 30 persen,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya.

Dari capaian tersebut, industri manufaktur dinilai berperan penting dalam memacu nilai investasi dan ekspor sehingga menjadi sektor andalan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.

“Maka dari itu, pemerintah perlu berkomitmen merevitalisasi industri manufaktur melalui pelaksanaan peta jalan Making Indonesia 4.0 agar juga siap memasuki era revolusi industri 4.0,” tuturnya. Dari roadmap menyebutkan, kenaikan signifikan ekspor netto akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi.

“Yang diperkirakan, 5-10 persen rasio ekspor netto terhadap PDB pada tahun 2030,” sebutnya. Dari data Kementerian Perindustrian, tercatat ekspor dari industri pengolahan nonmigas terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pada 2015, nilai ekspor produk manufaktur mencapai USD108,6 miliar, naik menjadi USD110,5 miliar di tahun 2016.

“Kalau dilihat di tahun 2017 sebelumnya, tercatat di angka USD125,1miliar, melonjak hingga USD129,9 miliar di tahun 2018. Maka dari itu pada tahun 2019 ini akan lebih genjot lagi sektor industri untuk meningkatkan ekspor, terutama yang punya kapasitas lebih,” tandasnya.

 

Laporan : Nova Sari

Editor : Andriadi Perdana Putra