eQuator – Pontianak-RK. Merasa dirugikan, dibohongi dan dipermainkan, Kurniawan melaporkan Notaris Novi Syafitri ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kalbar.
Notaris dengan wewenangnya mengeluarkan surat perjanjian tukar guling tanah yang tidak sesuai dengan nomor sertifikat. Parahnya lagi, membuat surat perjanjian di bawah tangan. “Cerita awalnya, saya punya tanah di Desa Sungai Udang, sementata teman saya (Susilawati) itu punya tanah di Kelurahan Bansir Darat, Pontianak Tenggara. Kami sepakat untuk tugar guling,” kata Kurniawan, Minggu (1/11).
Kemudian Kurniawan dan Susilawati mendatangi Notaris Novi Syafitri yang kantornya terletak di Jalan Camar, Pontianak Kota untuk membuat surat perjanjian, Sabtu, 20 September 2014 silam.
“Dalam surat perjanjian itu, saya dan teman saya, Susilawati menandatangani surat yang dibuat oleh notaris. Sebelumnya saya tanya kepada notaries, kenapa tidak menggunakan saksi, Tapi Notaris Novi mengatakan, tidak perlu karena perjanjian dilakukan di hadapan notaris,” ujarnya
Karena percaya saja, surat perjanjian yang dicap dan ditandatangani Notaris Novi di atas matrai, merupakan surat perjanjian tertulis warmeking. Sehingga hanya tercatat dalam bukunya saja. “Kedatangan saya ke Notaris itu adalah untuk mencari kekuatan hukum. Tetapi aneh, kenapa yang bersangkutan hanya membuat surat perjanjian yang dibilangnya hanya diketahui oleh Notaris,” ceritanya.
Karena tidak tahu soal hukum, selesai menandatangani perjanjian, masing-masing sertifikat ditinggalkan kepada Notaris Novi, dengan maksud agar diproses pemecahan sertifikatnya. Namun berselang beberapa hari kemudian, proses pemecahan tidak dilakukan sang Notaris. Melainkan Notaris meminta waktu karena belum menemukan objek tanah. “Saya terus tanyakan kepada Notaris ini, tetapi alasannya BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak menemukan objek tanah. Lalu saya tanyakan langsung kepada BPN tentang objek tanah teman saya yang akan ditukargulingkan dengan tanah saya,” jelas Kurniawan.
Kurniawan mendatangi BPN Pontianak, membawa fotocopy sertifikat tanah untuk mempertanyakan apakah benar menurut notaries, sertifikat dengan nomor 6744 atas nama Susilawati tidak bisa ditemukan oleh BPN. “Saat di BPN, petugasnya bisa menunjukan di mana letak tanah di sertikat itu, lengkap dengan nama pemilik. Anehnya notaris bilang BPN tidak menemukan, sehingga saya merasa telah dibohongi,” kesalnya.
Merasa ada iktikad tidak baik dari Notaris dan temannya itu, Kurniawan meminta BPN melakukan pemblokiran tanah dengan sertifikat atas nama Susilawati. Namun pemblokiran itu tidak bisa dilakukan, karena Notaris telah mengirim surat ke BPN, bahwa surat perjanjian di buat di bawah tangan. “Jadi saya sangat dirugikan, karena saya ke Notaris niatnya untuk mendapatkan perlindungan hukum, tetapi kenapa Notaris membuat surat perjanjian di bawah tangan,” kesal Kurniawan.
BPN memberikannya saran, agar surat perjanjian itu dilegalisir di Notaris lainnya. Akhirnya Kurniawan pun melagalisir di Notaris dan barulah sertifikat tersebut dapat diblokir. “Saya juga baru tahu, kalau nomor sertifikat di dalam surat perjanjian yang dibuat Notaris berbeda dengan nomor sertifikat yang tertera saat tanda terima pemblokiran. Jadi saya sepertinya sudah dipermainkan. Apa yang dilakukannya sudah sangat merugikan saya,” tegas Kurniawan.
Dalam proses pembuatan surat perjanjian itu, Notaries Novi tidak membuat akta tukar menukar barang, nomor sertifikat yang tertera berbeda, dan yang bersangkutan membuatkan surat perjanjian bawah tangan. “Saya adalah korban, dan tentu saya mencari keadilan. Agar tidak terjadi kembali kepada orang lain, kasus ini akan saya laporkan ke Kemenkuham,” tegasnya.
Sedangkan Notaris Novia Syafitri ketika dikonfirmasi via telepon, Minggu (1/11), handphone-nya tidak aktif. Usaha konfirmasi terus dilakukan melalui Whatsapp (WA), namun tak dibacanya.
Sementara Majelis Pengawasan Daerah Notaris Pontianak, Edi Gunawan mengatakan, apabila dalam proses pembuatan dokumen, dipermainkan, dibohongi, serta merasa haknya diabaikan dalam pelayanan Notaris, maka Kurniawan atau masyarakat dapat melapor dan mengadukan apa yang dialami ke Majelis Pengawas Notaris. “Kami siap menerima pengaduan masyarakat yang haknya terbaikan oleh Notaris,” tegas Edi Gunawan.
Dikatakan oleh Edi Gunawan, mengenai hak klien yang diabaikan Notaris, itu berkaitan dengan Undang-Undang No 22 tahun 2004 tentang Sumpah dan Jabatan Notaris dan Undang-Undang No 70 tahun 2004. “Kita meminta masyarakat yang hendak membuat laporan atau pengaduan kepada kami, membawa data konkret, sehingga lebih jelas akar masalahnya,” sarannya.
Dijelaskan Edi, jika klien dirugikan atas haknya yang hilang, masalah ini juga dapat dilaporkan ke polisi. “Ini bisa juga dilaporkan kepada pihak kepolisian. Karena untuk memeriksa notaries, tidak perlu lagi persetujuan dari majelis pengawasan,” saran Edi. (zrn)