eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kasus yang menimpa Frantinus Nirigi atas tuduhan mengucapkan candaan bom di pesawat Lion Air JT 687, kini masih terus berlanjut. Tim kuasa hukumnya, Drs. Aloysius Renwarin, SH, MH dan Frederika Korain, SH, MAAPD, banyak mengungkap fakta baru. Menurut mereka, terdapat kejanggalan dalam penanganan kasus ini.
Kamis (7/6) siang kemarin, tim kuasa hukum Fran dan bersama keluarganya menggelar konferensi pers. Di hadapan sejumlah awak media, Aloysius menerangkan bahwa pada Rabu 6 Juni 2018 sekira pukul 16.30 Wib, di ruangan Korwas Ditreskrimsus Polda Kalbar, Fran dimintai keterangan kembali oleh tiga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Perhubungan Direktorat Jendral Perhubungan Udara. Yakni Asep Kosasih Samapta, ST. M.MTr; Andy Hendra Suryaka, ST. MM; dan Adtya Purna Ramadahan. Pemeriksaan itu selesai hingga pukul 23.35 Wib.
Dalam pemeriksaan ulang ini, tim kuasa hukum mendampingi Fran. Hasilnya, Fran memberikan keterangan berbeda dari pemeriksaan awal yang dilakukan oleh Penyidik Polresta Pontianak.
Aloysius mengatakan, dalam pemeriksaan dijelaskan bahwa Fran kelahiran Mugi, Papua ini sudah tinggal di Kota Pontianak sejak tahun 2010. Tujuannya, untuk berkuliah di Universitas Tanjungpura dengan Jurusan Admistrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip).
Selama kuliah, Fran pernah cuti selama 2 tahun. Kemudian bekerja di pabrik kelapa sawit mencari biaya kuliah. Setelah uang terkumpul, dia melanjutkan kuliah dan baru menyelesaikan pendidikannya pada April 2018 lalu.
Selama kuliah dan tinggal di Pontianak, Fran tidak tidak pernah pulang ke pampung halaman dan bertemu dengan keluarga di Papua. Dalam kurun waktu delapan tahun.
Lanjut Aloysius mengatakan, pada Senin 28 Mei 2018, Fran berencana pulang ke Papua dengan penerbangan transit dari Bandar Udara Internasional Supadio Kubu Raya tujuan Jakarta. Sekira pukul 18.30 Wib, Senin itu, Fran naik pesawat Lion Air.
Fran merupakan penumpang terakhir yang naik ke dalam pesawat itu. Karena, dia ketinggalan kunci motor. Sesuai dengan tiket pesawat yang dimiliki, dia duduk pada kursi nomor 2 A. Saat berada dalam pesawat, Fran mendapati kursinya ditempati penumpang lain. Karena penumpang tersebut minta bertukar dengan kursinya, Fran mengalah. Sehingga dia duduk di kursi nomor 2 C. Di pinggir lorong.
Sebelum duduk, Fran akan menempatkan tas di kompartemen bagasi kabin. Namun, bagasi kabin di atas kursinya penuh. Lalu, olehnya, tas tersebut dimasukkan dalam bagasi kabin di seberang dan belakang tempat duduknya. Yakni pada deretan/seat raw ke 3.
Kemudian pada saat baru duduk di kursinya, Fran melihat pramugari mendorong tasnya untuk masuk lebih dalam secara kuat/paksa. Karena inilah, Fran spontan berdiri sambil mengucapkan kalimat ‘Awas Bu, ada 3 laptop dalam tas saya’.
Kala itu, nada Fran agak marah. Jaraknya dengan pramugari tidak sampai satu meter. Lalu pramugari menjawab ‘Jangan bercanda’. Kemudian Fran menjawab ‘Maaf Bu’.
Saat itu juga, pramugari menutup kompartemen bagasi kabin dan langsung duduk di kursi. Selanjutnya pramugari berjalan menuju ke depan. Kemudian datang sekuriti menghampiri dan memerintahkan Fran supaya keluar serta menyuruh membawa tas ke lorong penyambung-penyambung antara pesawat dengan gate atau garbarata.
Fran disuruh membuka isi tas tersebut. Setelah selesai diperiksa oleh sekuriti dan tidak ada membawa barang berbahaya, Fran kembali ke pesawat dan memasukkan tas ke dalam kabin seperti semula.
Fran kemudian duduk pada kursinya. Namun tidak beberapa lama Fran duduk, pramugari mengumumkan kepada seluruh penumpang sebanyak tiga kali. Yang pertama dan kedua supaya untuk meninggalkan pesawat. Pengumuman ketiga, pramugari mengatakan ‘Kepada seluruh penumpang yang terhormat, mohon segera meninggalkan pesawat demi keselamatan penumpang melalui pintu luar pesawat. Karena diduga ada penumpang yang membawa bahan peledak di dalam pesawat’.
Dengan adanya pengumuman ini, penumpang berdesak-desakan keluar dari pesawat. Bahkan terjun dari pintu darurat. Kemudian petugas berdatangan lewat pintu darurat sebelah kanan. Fran bersama enam orang yang lari lewat garbarata menuju terminal penumpang. Lima orang penumpang dan satu orang petugas.
Selanjutnya Fran dibawa menggunakan mobil patroli ke ruang sekuriti. Dan akhirnya, dia dibawa ke Polresta Pontianak untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
“Jadi, dengan adanya pemeriksaan ulang ini, maka keterangan yang sekarang atau yang terakhir lah yang dipakai,” tutur Aloysius.
Pada awal pemeriksaan, Fran memang mengaku ada menyebut kata-kata bom. Namun, menurut pengakuan Fran sesuai yang disampaikan dalam pemeriksaan ulang itu, kata Aloysius, dia mengalami tekanan batin.
“Dalam penahanan dan pemeriksaan oleh Penyidik Polresta Pontianak, Fran mengaku kepada kami, dia tertekan batin. Intinya dalam pesawat itu, dia tidak ada menyebut bom dan membuat panik penumpang,” tegasnya.
Selaku kuasa hukum, Aloysius bersama rekan-rekannya menyerahkan sepenuhnya proses hukum ini kepada PPNS Kementerian Perhubungan Direktorat Jendral Perhubungan Udara supaya berjalan dengan baik untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya. Karena, lanjut dia, apapun yang terjadi di dalam pesawat dan terkait penerbangan, adalah wewenang PPNS Kemenhub yang menindaklanjuti.
“Kami selaku penasihat hukum yang ditunjuk oleh keluarga tersangka secara tegas meminta kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan Direktorat Jendral Perhubungan Udara supaya juga memeriksa pramugari pesawat Lion Air JT 687,” pintanya.
Hal itu bukan tanpa dasar. Menurut Aloysius, yang membuat kepanikan dan kegaduhan itu adalah pengumuman yang dilakukan pramugari.
“Pemeriksaan terhadap pramugi, termasuk pilotnya ini penting sekali. Sehingga tidak terfokus pada klien kami saja. Meski pilot itu orang asing, dia harus diperiksa. Karena bekerja di Indonesia,” tegasnya.
Desakan tersebut, kata Aloysius, karena sampai saat ini pramugari atau awak pesawat lainnya tidak diperiksa dan disampaikan secara transparan ke publik. “Kami minta PPNS professional. Karena, kami tegaskan, dalam pemeriksaan semalam, Fran menjelaskan sebenar-benarnya bahwa tidak ada menyebut bom. Ada pun sebelumnya dia mengaku (sebut bom), dan sampai-sampai meminta maaf kemudian direkam, itu karena dia tertekan batinnya,” beber Aloysius.
Apalagi, sambung dia, saat itu Fran diperiksa tanpa didampingi kuasa hukum dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Frederika, kuasa hukum lainnya meminta PPNS Kemenhub ini menerapkan hukum yang tidak pilih kasih. “Karena setelah adanya pemeriksaan ulang ini, kita ketahui semua bahwa bukan Fran yang menyebabkan kepanikan dan ketegangan dalam pesawat. Justru pengumuman dari pramugari itu yang membuat kepanikan,” ujarnya.
Menjadi pertanyaan, lanjut Frederika, kenapa sampai sekarang pramugari tidak diperiksa secara transparan dan ditetapkan sebagai tersangka. Justru kenapa kepada Fran, seolah-olah penyidik kepolisian yang terburu-buru menetapkan sebagai tersangka.
“Kita terus mendesak pramugari dan pilot harus diperiksa. Bila perlu, jika memenuhi syarat, kenapa tidak ditetapkan sebagai tersangka,” tegasnya.
Laporan: Ocsya Ade CP
Editor: Arman Hairiadi