Lantunan gamelan khas Jawa mengiringi langkah pasangan Warga Negara Indonesia (WNI) berpakaian khas Melayu dan ragam suku lainnya di Kuching, Sarawak, Malaysia, Selasa (16/5) siang.
Ocsya Ade CP, Kuching
eQuator.co.id-Setiap langkah WNI yang mayoritas buruh migran di Sarawak ini dikawal para pendekar pencak silat menuju pelaminan. Ya, serangkaian ini merupakan prosesi pembukaan sidang itsbat nikah yang dilaksanakan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching di aula serba guna KJRI di No 21, Jalan Stutong.
Terdaftar 255 pasangan suami istri (Pasutri) yang pernikahan sebelumnya hanya secara kampung, bawah tangan, nikah sirri dan hanya menikah imam atau buku nikahnya hilang. Ikatan pernikahan mereka akan disahkan oleh tim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang dihadirkan ke Kuching selama tiga hari sejak Selasa 16 Mei hingga Kamis 18 Mei nanti.
Selasa kemarin, ketukan palu Hakim Ketua Hj Ernida Basry yang didampingi dua Hakim Anggota Alia Al Hasna dan Chaeruddin serta paniteranya Tratna Dewy sudah mengesahkan pernikahan 83 pasutri WNI. Pasangan itu tersebar di Kuching, Mukah dan Simunjan secara administrasi negara. Sisanya yang tersebar di Bintulu dan Miri akan dikebut selama dua hari kedepan.
Relatif banyaknya pernikahan pasutri WNI yang tidak tercatat atau terdaftar resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) RI inilah yang membuat kegiatan sidang itsbat nikah tersebut harus dilaksanakan. “Kegiatan hari ini yang menjadi sejarah buruh migran Indonesia di Sarawak. Ini merupakan salah satu upaya dan kegiatan perlindungan untuk WNI dan TKI dalam bentuk penerbitan buku nikah kepada Pasutri,” ujar Jahar Gultom, Konsul Jenderal RI Kuching, usai membuka sidang itsbat nikah yang ke empat ini.
Seperti diketahui, pernikahan sirri dan segala macamnya itu dapat diartikan sebuah pernikahan yang dilakukan secara sah menurut hukum agama, namun tidak tercatat dalam perlembagaan sipil atau di KUA. Pernikahan sirri hanya sah di sisi hukum agama saja, karena sudah memenuhi syarat sah dan wajibnya menurut syariat Islam, yaitu adanya pengantin pria, adanya wali perempuan, dua saksi, ijab kabul dan mahar.
Namun secara hukum negara, selama pernikahan sirri tersebut tidak didaftarkan atau dilaporkan kepada KUA atau kantor catatan sipil, maka status pernikahan tersebut lemah dan tidak mempunyai kekuatan di sisi undang-undang dan hukum negara.
Apabila terjadi persengketaan dan masalah yang berhubungan dengan pernikahan, seperti perceraian, pembagian warisan, hak asuh anak, maka tidak dapat perlindungan dan pembelaan hukum. Karena tidak adanya bukti dan pernikahan yang dicatatkan.
“Tujuan utama dan penting sidang itsbat nikah ini adalah untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul akibat tidak tercatatnya pernikahan WNI yang ada di Malaysia. Terutama terkait dengan hak-hak sipil anak-anak mereka, kejelasan anak mereka,” tegas Jahar.
Pada kenyataannya, kebanyakan pernikahan yang dilakukan para WNI di luar negeri khususnya Sarawak adalah pernikahan sirri. Masing-masing insan ini saling jatuh hati ketika bertemu di suatu tempat kerjanya. Karena banyak hal pertimbangan, maka upaya menyatukan dua hati tersebut tidak dilakukan di depan pegawai pencatat pernikahan (KUA), hanya dilakukan di hadapan saudara terdekat yang dinikahkan oleh Kyai atau Ustadz.
Banyak kasus yang disebabkan pernikahan sirri apabila berurusan dengan pemerintah. Sebagai contoh, masih banyak anak yang dilahirkan masih belum mempunyai akta kelahiran. Apabila tidak mempunyai akta kelahiran, maka merembet pada kasus lain seperti, tidak bisa bersekolah, tidak bisa mengurus paspor atau bahkan tidak memperoleh hak dalam pembagian warisan.
“Maka dari itu, sidang itsbat nikah ini memang perlu dilakukan, agar ada kejelasan status,” tegas Jahar.
Lebih dalam soal sidang itsbat nikah, adalah suatu langkah penetapan pernikahan dari Pengadilan Tinggi Agama atas pernikahan yang dilakukan menurut Syariat Islam dan tidak dicatat oleh pegawai berwenang. Sehingga pasangan tersebut tidak memiliki dokumen atau akta pernikahan yang sah yang berimplikasi tidak diakuinya pernikahannya termasuk anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menurut hukum-hukum positif Indonesia.
Berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.08-KMA/SK/V 2011 tertanggal 25 Mei 2011 tentang ijin Sidang Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah) di Kantor Perwakilan Republik Indonesia, dengan demikian, WNI yang non muslim juga bisa mengurus pernikahan di KUA atau Kantor Perwakilan RI dengan membawa surat dari pihak pengurus agama masing-masing.
“Kita patut syukuri berkat kerjasama dengan Pengadilan Agama Pusat dan KJRI Kuching sidang itsbat nikah ini dapat terlaksana selama tiga hari kedepan. Memang untuk saat ini, KJRI Kuching belum melaksanakan sidang itsbat nikah khusus non muslim. Karena permintaan banyak dari pasangan WNI yang muslim, maka itu yang diprioritaskan,” terang Jahar.
Kedepan, kata Jahar, pasangan WNI yang non muslim juga akan dibuatkan agenda serupa. Dan hal ini sudah dikoordinasikan dengan pemerintah pusat. “Kami juga akan belajar dengan Kota Kinabalu yang sudah melakukan pengesahan pernikahan dari saudara-saudara kita yang non muslim. Kan banyak yang dari Flores, Kupang yang bekerja di Sarawak ini,” terangnya.
Dalam pelaksanaan sidang itsbat nikah ini, tidak dipungut biaya yang besar. Cukup membayar biaya administrasi sebesar Rp116 ribu atau sekitar RM38 (Ringgit Malaysia). Dana itupun nanti akan langsung dikirimkan ke rekening Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Pun, proses pendaftaran sebelumnya telah dibantu dan dipermudah oleh penyelenggara. Dengan syarat, setiap pasangan harus melengkapi persyaratan yang telah ditentukan. Seperti, calon peserta memang benar telah menikah, baik nikah kampung atau menikah bawah tangan atau imam. Mengisi formulir dan berkas pendaftaran menyertakan kopian identitas dan pas foto.
“Teknis sidang selama tiga hari ini bagi pasangan yang telah menjaIani sidang itsbat dan dinyatakan sah, maka KJRI akan memberikan buku atau kutipan akta pernikahan sebagai bentuk pengesahan perkawinan atau pernikahannya,” tambah Jahar.
Dengan dokumen tersebut, lanjut Jahar, maka pasangan WNI ini mempunyai bukti otentik hubungan suami istri. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan hak-hak sipilnya yang berlaku seperti WNI lainnya. Disamping itu, pemerintah Indonesia dapat memberikan perlindungan dan hak-hak sipil dari keturunan hasil pernikahan tersebut. “Saya minta dokumen tersebut dijaga dengan sebaik-baiknya dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya,” harapnya.
Pada 26-28 September 2016 lalu, KJRI Kuching juga telah melaksanakan sidang itsbat nikah yang ketiga. Namun tingkat kehadiran peserta saat itu cukup rendah, hanya sekitar 106 pasutri. Beberapa kendala yang menghadang karena ada yang paspornya sudah tidak berlaku dan belum diperpanjang, ada yang karena tidak memiliki permit. Kemudian banyak juga yang tidak bisa datang karena sedang tidak punya biaya transport.
“Nah, tahun ini kita sudah melakukan upaya antisipasi. Salah satunya memberikan surat jalan. Ya barang kali ada pemeriksaan di jalan. Sejak Maret kemarin kami sudah umumkan kegiatan ini,” ujarnya.
Dalam pengesahan ini, tim hakim benar-benar memastikan status masing-masing WNI. Memastikan siapa saja yang menjadi saksi, lokasi dan waktu serta mahar yang digunakan dikala pernikahan sirri tersebut. Ditakutkan, masih ada yang berstatus pasangan orang lain. Pun sebelumnya, sudah dipublikasi nama-nam peserta sidang itsbat di tingkat pusat, dengan tujuan jika ada pasangan sah yang mengetahui maka akan ada upaya protes.
Sidang itsbat ini sedianya tidak dibenarkan untuk dilakukan seperti dalam aturan negeri Sarawak. Namun atas dukungan pemerintah Sarawak dan perusahaan yang memperkerjakan WNI serta pastinya dari pemerintah Indonesia, maka sidang ini dapat dilaksanakan.
“Terimakasih kepada pemerintah Sarawak atas dukungan terlaksananya sidang itsbat nikah ini. Termasuk pihak perusahan-perusahaan tempat WNI ini bekerja memberi izin kepada pekerjanya untuk menghadiri sidang itsbat ini. Tanpa dukungan itu, sidang itsbat nikah ini tidak dapat kita laksanakan,” ucapnya.
Dukungan dari pemerintah Sarawak dimaksud, kata Jahar, dengan hadirnya sejumlah perwakilan pemerintah Sarawak. Bahkan, sidang itsbat nikah 2016 lalu, Menteri Kebajikan Wanita dan Pembangunan Keluarga Sarawak, Datuk Hj Fatimah Abdullah hadir dalam puncak sidang itsbat nikah tersebut. Kehadirannya agak dilematis, seolah-olah mendukung bahwa silakan TKI menikah di Sarawak.
Tetapi ia memberanikan diri hadir dan menghadapi resiko nantinya karena memberi dukungan. Kala itu ia berkata, suatu penghormatan baginya karena telah diundang oleh KJRI untuk menghadiri itsbat nikah ini, meskipun akan banyak tanggapan berbeda tentang kehadirannya. “Kedatangan saya ini karena faktor humanity (kemanusiaan),” kata dia saat itu.
Dalam sidang itsbat 2017 ini, Datuk Hj Fatimah tidak hadir mengingat banyaknya kegiatan. Meski tiada kehadirannya, namun ucapan ia selalu diingat. “Kita tidak meminta sesuatu yang buruk terjadi dalam perkawinan. Setiap pasangan adalah menjadi lumrah jika ingin bahagia bersama pasangannya. Tapi realitanya tidak disangka ketika kita mau hujan sampai petang, kadang-kadang hujan tiba ditengah hari,” ungkap Jahar menirukan ucapan Datuk Hj Fatimah.
“Maka dari itu, jika pernikahan tidak terdaftar atau tercatat di surat nikah, maka hak sebagai wanita tidak dapat dibela. Padahal, wanita cenderung mendapat kekerasan. Meski demikian, wanita kuat untuk mempertahankan hubungan itu. Ini tidak bermakna bahwa kita menyampingkan kaum lelaki. Kita mau dua-duanya bahagia. Panasnya sampai ke ujung. Bahagia sampai ke ujung. Cuma yang ditekan memang hak wanita,” pesannya kala itu.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, HM Yamin Awie dalam pembukaan sidang itsbat tersebut mengatakan, berdasarakan ketentuan perundang-undangan dalam hal koplikasi hukum Islam, bahwa sidang itsbat nikah hanya diperuntuk pasangan yang melaksanakan pernikahan dibawah tahun 1975. “Sementara fakta di lapangan, kalau hakim hanya bertindak sebagai corong undang-undang, hanya mengesahkan pernikahan dibawah tahun 1975, maka berdampak mudarat lebih besar daripada manfaatnya,” ujarnya.
Sehingga, dengan mengacu dengan UU No 48 Tahun 2019 tentang kekuatan kehakiman pasal 5 ayat 1 yang menyatakan hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Sehingga sidang itsbat bisa dilakukan demi kejelaskan hukum bagi perkawaninan dan anak keturunan untuk catatan sipil dan haknya serta perlindungan negara.
“Tadi saya mendapatkan ada yang beberapa bulan lalu menikah sirri. Nah, jika kami kaku dan menjadi corong undang-undang saja, niscaya banyak anak dari saudara-saudara kita yang tidak jelas statusnya. Anak siapa, siapa orangtuanya,” jelas dia. (*)
Editor: Hamka Saptono