eQuator.co.id – Uang Rp4000 mungkin tidaklah banyak, jika dikeluarkan sesekali saja. Namun jika setiap hari harus mengeluarkannya, tentu akan menjadi beban. Apalagi bagi kalangan pelajar.
Pelajar di Nanga Pinoh tidak hanya dibebankan dengan pembelian buku dan peralatan sekolah lainnya. Setiap harinya mereka juga dibebankan dengan biaya penyeberangan menuju ke sekolahnya.
Siswa SMP Negeri 1 Desa Tekelak, Pinoh Utara, dan pelajar dari Pinoh Utara yang bersekolah ke Nanga Pinoh harus merogoh kocek Rp4000 setiap harinya. Hanya transportasi sampan bermesin atau lebih dikenal dengan sebutan tempel, menjadi sarana menyeberangi Sungai Melawi, agar sampai ke sekolahnya.
Sementara Jembatan Melawi II yang selalu didambakan warga Nanga Pinoh, Melawi, khususnya para pelajar, belum juga teralisasi. Meskipun sudah beberapa kali ditinjau pejabat negara, baik anggota MPR RI maupun DPR RI. “Coba bayangkan, kalau penambang sampan ini tidak ada, maka guru tak bisa mengajar dan siswa tidak bisa sekolah. Belum lagi beban ongkos yang harus mereka keluarkan setiap harinya,” kata Tambi, tokoh pemuda Pinoh Utara, Senin (15/8).
Hingga sekarang sarana penyeberangan Sungai Melawi hanya menggunakan sampan. Biaya sekali menyeberang Rp3.000 untuk warga umum termasuk guru. Sedangkan pelajar Rp2.000 sekali naik sampan.
“Sedangkan untuk menyeberang ke Melawi Hilir, untuk pelajar Rp3.000, sementara untuk penumpang umum Rp5.000 hingga Rp10.000. Bahkan biaya menyeberangkan satu unit sepeda motor Rp30.000,” ungkap Tambi.
Jembatan Melawi II harus diperjuangkan. Pejabat negara yang memantau lokasi pembangunan jembatan tersebut, harus menjadikannya beban moral. Perhatikan nasib para pelajar dan kemajuan Kabupaten Melawi. Sehingga warga Pinoh Utara yang menjadi kecamatan tetangga Nanga Pinoh juga merasa sejahtera. “Mudah-mudahan apa yang dijanjikan Pemkab Melawi serta anggota DPR RI, benar-benar terealisasi,” papar Tambi.
Belum adanya jembatan tidak hanya membuat para pelajar harus menyisihkan uang jajannya. Para orangtua juga merasa khawatir dengan keselamatan anak-anaknya yang setiap harinya pulang pergi naik sampan. Terlebih ketika kondisi air sungai sedang naik atau banjir. Arusnya sangat deras, nyawa pun dipertaruhkan.
“Terkadang, ketika melihat pelajar menyeberang naik sampan pada waktu banjir, saya merasa sedih. Hanya ingin mendapatkan hak berpendidikan, mereka harus menyeberang sungai, tanpa mengkhawatirkan keselamatan diri mereka,” ujar Tambi.
“Kami berharap kepada pemerintah supaya secepatnya menyelesaikan pembangunan Jembatan Melawi II. Supaya para pelajar dan masyarakat yang setiap harinya naik sampan, bisa langsung menggunakan kendaraannya melintasi Jembatan Melawi II tersebut,” sambungnya.
Apabila jembatan tersebut sudah terbangun, warga Kecamatan Pinoh Utara, khususnya warga Tekelak, tidak lagi menitipkan kendaraannya di tempat penitipan. Mereka bisa langsung berkendara, pulang pergi dari rumah ke tempat kerja atau ke sekolah bagi para pelajar.
“Selama ini bagi warga yang beraktivitas di Nanga Pinoh, jika memiliki kendaraan, tidak bisa dibawa pulang. Namun dititipkan di tempat penitipan atau di tempat keluarga. Apabila menggunakan sampan penyeberangan untuk membawa kendaraannya, biaya sangat tinggi,” tegas Tambi.
Jembatan Melawi II menghubungkan Kecamatan Nanga Pinoh dan Pinoh Utara. Jembatan itu menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat. Khususnya para pelajar yang bersekolah ke SMP di Desa Tekelak maupun Pinoh Utara. (*)
Dedi Irawan, Nanga Pinoh