eQuator.co.id – JAKARTA–RK. Jennifer Dunn tampaknya tidak jera berurusan dengan narkoba. Perempuan yang pernah terjerat narkoba pada 2005 dan 2009 itu kembali tertangkap polisi karena kasus penyalahgunaan narkoba pada 31 Desember 2017.
Kronologi penangkapan disampaikan Kasubdit I Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, AKBP Jean Calvijn Simanjuntak kemarin (2/1). Berawal dari penangkapan tersangka FS pada Minggu (31/12) sore.
Mendapat laporan dari masyarakat bahwa di rumah FS, kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, sering ada penyalahgunaan narkoba, tim meluncur ke lokasi. ”Dari FS, ditemukan 0,6 gram amfetamin (sabu-sabu) dalam plastik klip yang disimpan di kotak bekas rokok,” tuturnya.
Tersangka FS, laki-laki berusia sekitar 40 tahun itu sempat kabur dengan cara melompat ke belakang rumah, bersembunyi di rumah warga lain. ”Setelah tersangka FS bisa diamankan, terungkap bahwa 0,6 gram sabu-sabu tersebut adalah pesanan JD,” lanjut Calvijn. Tim bergegas meluncur ke rumah JD di kawasan Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
JD atau Jennifer Dunn ditangkap di kamarnya dengan barang bukti sedotan untuk menyendok sabu-sabu serta ponsel yang memuat bukti komunikasi antara dia dan FS untuk pemesanan sabu-sabu. FS ditangkap pukul 16.00, Jennifer pukul 17.30.
Calvijn menuturkan, Jennifer mengakui bahwa pada pagi harinya sudah mendapatkan sabu-sabu dari FS sebanyak 0,5 gram. JD dan FS bertemu di salah satu restoran siap saji di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. ”Barang itu sudah dikonsumsi Jennifer. Tapi, menurut dia hanya 0,4 gram. Maka, sisanya akan diantar lagi sore itu,” terangnya. Dari hasil tes urine, keduanya (FS dan Jennifer) positif amfetamin.
Mengenakan kemeja lengan panjang dilapisi baju tahanan oranye, Jennifer yang dihadirkan dalam konferensi pers banyak mengumbar senyum. Pembawaannya riang, terkesan cengengesan. Dia sempat memberikan pernyataan singkat.
”Cuman mau ngomong, maaf semuanya. Buat temen media dan keluarga. Aku nyesel. Udah itu aja,” ujarnya. Sedetik kemudian, dia langsung masuk ke dalam ruangan. Beberapa awak media berupaya mengejar dan mengajukan pertanyaan, tapi perempuan 28 tahun itu bergegas naik tangga. ”Dadah…,” katanya sambil melambaikan tangan dengan wajah ceria.
Jennifer Dunn pernah membintangi beberapa sinetron dan iklan. Namun, sosoknya lebih dikenal dari kasus dan kontroversi yang kerap dia lakukan. Perempuan kelahiran 10 Oktober 1989 itu turut bermain dalam sinetron Dan, Atas Nama Cinta, Bukan Salah Bunda Mengandung.
Pada 2005, Jennifer tertangkap polisi karena kedapatan membawa ganja. Empat tahun berselang, dia kembali tersangkut kasus narkoba dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara, namun kemudian bebas pada 2012.
Pada 2014, Jennifer terseret kasus pencucian uang yang dilakukan Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan, adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Jennifer mengaku mendapatkan mobil mewah Toyota Vellfire dan kartu kredit berlimit Rp50 juta per bulan. Belakangan ini, nama Jennifer kembali mencuat karena dikabarkan menikah siri dengan pengusaha yang masih beristri. Pernikahan itu diakui Jennifer sudah berlangsung pada Desember 2015. Namun, sampai kemarin sore (2/1) polisi mengatakan belum ada keluarga maupun suami Jennifer yang menjenguk.
Aparat kepolisian terus mengendus dugaan tersangka kasus narkoba selain Jennifer dan FS. Polisi telah mengantongi tiga nama tersangka itu yang salah satunya diduga sebagai pemasok. Ketiganya yakni BL, T, dan K (pemasok).
Calvijn menyebutkan, sama seperti Jennifer, BL dan T adalah konsumen FS. FS mendapatkan sabu-sabu tersebut dari pemasok yakni K. ”K terpantau masih di Jakarta,” terangnya saat ditemui di Mapolda kemarin.
Polisi berpangkat dua melati itu membeberkan rangkaian pengiriman SS dari FS kepada Jennifer. Calvin mengatakan, Jennifer memesan SS 1 gr kepada FS pada 30 Desember. Jennifer memesan melalui Whatsapp Call dan Text. ”Per gram Rp 850 ribu,” jelasnya.
FS menuturkan bahwa barang yang diinginkan Jennifer tersedia. Keduanya bertemu di salah satu restoran cepat saji di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sekitar pukul 09.00 pagi. Jennifer menemui FS bersama sang buah hati, lanjut Calvin. Setelah mendapatkan barang, Jennifer pulang. Ketika dicek, berat sabu-sabu tersebut hanya 0,4 gram.
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombespol Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, Jennifer dan FS dikenakan pasal 114 ayat 1 subsider pasal 112 ayat 1 juncto Pasal 132 ayat 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Jennifer dan FS terancam mendekam di penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun.
Pada saat penangkapan, FS yang sebelumnya pernah mengalami patah kaki dan harus di-pen itu terjatuh saat berusaha kabur dengan melompati tembok. ”Sekarang dalam perawatan di RS Polri, jadi tidak bisa kami hadirkan di sini,” tuturnya.
Selain mengejar ketiga tersangka lain, menurut Argo, ada pekerjaan rumah (PR) lain yang harus segera diselesaikan. Mantan Kapolres Nunukan, Kaltim, itu mengungkapkan, pihaknya bakal mengkonfrontir FS dengan Jennifer.
Sebab, lanjut Argo, ada beberapa keterangan dari keduanya yang berbeda dalam BAP. Misalnya, pengakuan Jennifer terkait jumlah pemesanan sabu-sabu ke FS. ”Jennifer bilang baru tiga kali dalam setahun ini. Tapi, FS bilang 10 kali,” beber polisi berpangkat tiga melati itu.
REHABILITASI VERSUS BUI
Di sisi lain, Jennifer Dunn yang kembali tertangkap karena kasus narkotika menjadi sinyal adanya masalah dalam proses hukum narkotika. Pada kasus pertama, Dunn divonis empat tahun penjara. Bukan rehabilitasi seperti yang diamanatkan undang-undang (UU) 35/2009 tentang narkotika.
Pakar Narkotika Universitas Trisakti sekaligus Mantan Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN), Anang Iskandar menjelaskan, vonis penjara terhadap pengguna narkotika itu bertentangan dengan tujuan UU narkotika. Bahkan penjara itu bsia menjadi sumber tenaga bagi peredaran narkotika.
”Kan semua sudah mengetahui di penjara bisa edarkan narkotika,” paparnya.
Vonis penjara juga memicu permasalahan lainnya, seperti pengguna tidak sembuh, peningkatan jumlah pengguna dan juga mematikan upaya penyembuhan atau rehabilitasi. ”Kalau masih pengguna, maka dia bagian dari demand atau permintaan atas narkotika. Pengguna lama juga bisa membuat orang lain menjadi pengguna baru. Yang lebih parah saat pengguna dipidana, proses rehabilitasi menjadi tertinggal,” paparnya.
Pilihan antara pidana atau rehabilitasi merupakan dampak dari tarik menarik penegakan hukum dengan upaya kesehatan. Pengguna narkotika ini dipandang sebagai orang bersalah dalam mata penegakan hukum. Namun, dalam kacamata kesehatan dilihat sebagai orang yang sakit.
”Orang yang sakit ini bisa sembuh,” jelasnya.
Bila, orang sakit ini tidak disembuhkan dengan rehabilitasi. Atau, malah dihukum penjara, maka justru membuat penegakan hukum ini memproduksi generasi yang sakit dan, lebih mengerikannya, tanpa kesempatan disembuhkan.
”Mau jadi apa negeri ini,” tegasnya.
Negara sendiri telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk penegakan hukum kasus narkotika. Dari proses penyidikan, penuntutan dan peradilan.
”Belum lagi biaya menghukum penjara sesuai putusan hakim,” terang Anang.
Dengan begitu, apa manfaat dari penegakan hukum yang dilakukan terhadap pengguna narkotika. Vonis penjara justru tidak memberikan manfaat, malah semua menguras tenaga dan biaya yang hasilnya generasi tetap pecandu.
”Itu namanya keliru,” paparnya.
Rehabilitasi juga bukan sekedar menyembuhkan kecanduan. Namun juga ada tahap pasca rehabilitasi, dimana memberikan edukasi pada keluarga untuk bisa mencegah mantan pengguna kembali terperosok ke jurang yang sama.
”Mantan pengguna masih memiliki potensi untuk menggunakan narkotika,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)