Ajaran agama membuat 90 persen warga Tuguraci menghindari rokok. Di Tuguraci pula sanksi adat diterapkan sama urgennya dengan hukum negara.
Fitrah A. Kadir, Jailolo
eQuator.co.id – Desa Tuguraci terletak di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat. Awalnya, desa yang didominasi Suku Loloda ini berdiam di pesisir Sofifi. Banjir besar memaksa mereka pindah ke dataran yang lebih tinggi. “Hijrahnya sekitar tahun 1950-an, dibawa leluhur yang namanya Pangau. Setelah mengenal agama, Pangau diubah namanya jadi Esra,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Tuguraci Yusuf Kawuti, Selasa (10/4).
Nama Tuguraci, yang berarti emas dalam bahasa Loloda. Nama ini merujuk pada kondisi lokasi sekitar desa yang mengandung emas. Selain Loloda, desa berpenduduk 517 jiwa ini juga dihuni orang Makian dan Sanger.
Ketiadaan asap rokok tak lepas dari ajaran gereja Kalvari Pentakosta Missi, GMIH, dan Pekabaran Injil. Mayoritas warga di sana memang penganut ajaran ini. Selain rokok, minuman keras juga dilarang. Hal-hal yang dipandang hanya membawa kerugian bagi diri sendiri dan orang lain memang dilarang gereja.
Tak tanggung-tanggung, desa menerapkan sanksi adat untuk “menghukum” mereka yang melanggar. Sanksi tersebut berupa pembayaran denda yang nantinya masuk ke gereja. Denda bisa sampai Rp3 juta, tergantung tingkat kesalahan. “Yang tergolong berat itu misalnya mencuri, mabuk, kawin tanpa izin, atau selingkuh. Dendanya bisa sampai Rp3 juta,” tutur Ketua Adat Junius Bermula.
Hukum adat di Tuguraci sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu. Meski begitu, hukum negara juga berjalan beriringan. “Jadi sebelum dibawa ke ranah hukum, disanksi adat dulu,” aku Junius.
Itu berarti, warga yang melakukan pelanggaran di Tuguraci akan mendapat hukuman dobel. Baik sanksi adat maupun hukum pidana. “Jadi bukan kita tidak bersentuhan atau kebal dengan hukum dan perundang-undangan negara yang mengikat. Sanksi adat dan proses hukum pidana itu berjalan bersamaan,” tambah Tokoh Agama Yosias Kontrake.
Adanya hukuman dobel ini terbukti menurunkan tingkat penyakit masyarakat (pekat). Kades Yusuf Kawuti menuturkan, selama dirinya menjabat belum pernah ada insiden yang membuat warga dihukum adat. “Ada sejumlah pemuda dan remaja yang masih merokok, tapi itu dilakukan di luar desa. Itu pun akibat pergaulan saja,” ungkapnya.
Kekerabatan di Tuguraci juga telah menembus batas keyakinan. Warga muslim yang merupakan minoritas di sana hidup damai berdampingan dengan mayoritas Nasrani. “Kekerabatan ini dibangun di atas kebersamaan. Jadi meski beda keyakinan, kami bisa hidup berdampingan dan saling menghormati perbedaan itu,” tandas Yusuf.(*/MALUT POST)