eQuator.co.id – Sintang-RK. Tata niaga perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Sintang belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Padahal, luas kebun sawit rakyat itu terus mengalami peningkatan yang signifikan, terutama dari pekebun swadaya.
“Dari rekomendasi yang dihasilkan kita berharap persoalan tata niaga perkebunan kelapa sawit rakyat berkelanjutan di Sintang dapat terjawab,” kata Ketua Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan, Subarjo, SP, usai lokakarya tata niaga kepala sawit di Sintang, kemarin.
Hasil interpretasi luasan kebun kelapa sawit swadaya yang dilakukan WWF-Indonesia Program Kalbar pada 2016 di Kabupaten Sintang mencapai 1.614,186 hektar. Jumlah luasan kebun dimaksud tersebar di 13 kecamatan, kecuali Ambalau.
Sebelumnya, Fasda Sawit Lestari juga melakukan survei pada 2014. Target sasaran di tujuh kecamatan, masing-masing Sintang, Kelam Permai, Sungai Tebelian, Binjai Hulu, Kayan Hilir dan Hulu, Sepauk, dan Tempunak. Total luasan kebun mencapai 2.204 hektar. Jumlah tersebut dikuasai oleh 449 pekebun swadaya.
Kondisi tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Namun, animo peningkatan luasan kebun sawit dan jumlah pekebun tidak didukung pengetahuan yang memadai, terutama terkait skema pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan.
Sekretaris Koperasi Produksi Rimba Harapan, Maryono mengakui para pekebun sawit swadaya masih minim pengetahuan. “Pekebun sawit swadaya masih terkendala banyak hal,” katanya.
Menurut Maryono, persoalan utama yang dihadapi pekebun swadaya kelapa sawit adalah akses yang terbatas. Terutama soal informasi dan teknologi, modal, pasar, infrastruktur pendukung, dan sarana produksi.
“TBS kami pekebun swadaya belum bisa langsung ke pabrik, tetapi masih melewati perantara yang memiliki DO dari pabrik” tambah Maryono.
Market Transformation Initiative Coordinator WWF-Indonesia Program Kalbar, Muhammad Munawir membenarkan pernyataan Maryono. Dia mencontohkan keterbatasan akses informasi dan teknologi yang berimplikasi luas pada tata kelola lahan.
“Ketidaktahuan aspek legalitas lahan, legalitas kebun, legalitas bibit, praktik agrikultur yang lebih baik, tata kelola keuangan rumah tangga, dan produktivitas. Persoalan lainnya adalah penjualan TBS yang dihasilkan oleh pekebun, baik plasma maupun swadaya. Pabrik tidak mampu menerima TBS pekebun,” papar Munawir.
Kondisi ini, jelas Munawir, berimplikasi pada kerugian pekebun dalam konteks ekonomi. Banyak pekebun yang menurun pendapatannya. Ini disebabkan oleh menurunnya kualitas TBS. “Kapasitas pabrik kita sangat terbatas untuk menampung TBS dari pekebun swadaya. Kita tentu memprioritaskan TBS dari kebun inti dan pekebun plasma yang sedari awal sudah didesain antara kapasitas pabrik dan kemampuan produksi kebun sebagai pemasok “ katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kita tetap berupaya untuk menampung buah dari pekebun swadaya. Ia berharap agar pemerintah dapat mengambil peran dalam mengatasi permasalahan penjualan TBS pekebun rakyat ini.
Reporter: Achmad Munandar
Editor: Kiram Akbar