eQuator – Sukadana-RK. Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dilarang berkembang di Indonesia, karena membawa idiologi menyimpang, menjadi berita hangat di tanah air sejurus lalu. Kabupaten Kayong Utara tak luput jadi tempat eksodusnya kelompok yang belakangan mengaku hanya mantan (eks) Gafatar, namun tetap mengagungkan Ahmad Musadeq yang mengklaim dirinya sebagai nabi.
Keberadaan Gafatar di Kayong Utara memang sudah bersih. Sebab mereka yang selalu hidup menjauh dari pemukiman penduduk setempat, sudah dikembalikan pemerintah daerah ke daerah asalnya. Pun begitu, kekhawatiran akan kembali masuknya kelompok masyarakat yang kabarnya bertujuan mendirikan negara di dalam negara ini, masih membayang-bayangi warga Kayong Utara.
Sabtu (6/2) tepat pukul 11.40 di rumah makan Simpang Tugu Sukadana, secara resmi disepakati dibentuknya Majelis Doa, sebagai wadah persatuan umat untuk mencegah Gafatar dan ajaran sesat lainnya masuk dan berkembang di Kayong Utara. Lahirnya Majelis Doa ini disaksikan sejumlah perwakilan masyarakat berbagai kecamatan, para alim ulama, habaib (para habib) serta berbagai Ormas di Negeri Bertuah (julukan Kayong Utara).
Selaku penggagas, Sy Helmi Fauziansyah, ST mengatakan, pada dasarnya wadah ini dibentuk untuk mencegah masuknya aliran atau paham yang bertentangan dengan keyakinan atau agama yang diakui NKRI. Salah satunya, kelompok Gafatar yang mengaku Islam, namun kabarnya membawa ajaran yang bertolak belakang dengan syariat Islam.
Ditambah lagi, adanya pengakuan Ketua Umum Gafatar, Mahful Muis Tumanurung yang beberapa waktu lalu secara resmi menegaskan Gafatar keluar dari Islam yang meanstream. “Kita perlu waspada, terlebih haruslah ditanam iman yang kuat terhadap umat, khususnya kita selaku umat Islam. Sebab, akhir-akhir ini banyak yang mengaku Islam, namun paham dan ajaran mereka bertentangan dengan Islam yang kita anut selama ini,” tegas Helmi.
Pemilik Rumah Makan Simpang Tugu Sukadana ini melanjutkan, selaku penggagas, dirinya hanya bisa memunculkan wacana Majelis Doa ini. Termasuk hanya mampu memfasilitasi berkumpulnya masyarakat, alim ulama dan Ormas. “Jujur, saya baru bisa memunculkan ide atau gagasan, juga bisalah untuk mengumpulkan rekan-rekan dan para sepuh. Namun, untuk program kedepan saya juga sangat terbatas, maka perlu pemikiran kita bersama,” kata lulusan Fakultas Tehnik Untan ini.
Helmi melanjutkan, setelah majelis ini disepakati, maka harus ada program yang fokus melayani dan memberi pemahaman bagi umat, khususnya dibidang keagamaan. Majelis Doa sebagai nama yang disepakati, juga sudah dipikirkannya. “Mengapa Majelis Doa? Kita harus mengubah kebiasaan, yang selama ini kita kerja baru doa, dan sekarang harus diubah doa dulu baru kerja. Supaya apa yang kita kerjakan mendapat berkah dari Sang Pencipta,” jelas pria berkaca mata ini.
Alasan lain kenapa Majelis Doa dan bukan Majelis Zikir atau Majelis Sholawat ataupun yang lainnya. Dijelaskan Helmi pula, untuk menghindari anggapan orang. Jika Majelis Zikir, terkesan majelisnya NU. Sedangkan, Majelis Sholawat lebih pada miliknya habaib (para habib). “Majelis Doa ini terbuka untuk Ormas apa saja, NU kah dia, Muhammadiah kah dia, atau siapapun. Jadi kita ingin bersatu dan meminggirkan kelompok-kelompok. Dengan adanya persatuan, kita mudah mencegah masuknya aliran yang menyimpang di daerah yang kita cintai ini,” papar Helmi.
KH Samadikun juga hadir dalam musyawarah pembentukan Majelis Doa. Bahkan, ulama NU asal Depok, Jawa Barat itu, tampil sebagai narasumber didampingi Habib Hasan Alhadad dari Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir dan Syarif Hasan selaku imam Masjid Al-Quds Jalan Kota Karang, Desa Sutera, Kecamatan Sukadana.
Hadir pula sebagai undangan berbagai Ormas diantaranya Ketua NU Kayong Utara, H Nazril Hijar, SAg, Pengurus Muhammadiyah, Ustadz Sudirmansyah, SH.I, Pengurus Zauwiyah, Sy Muhammad Damiri, SH, Pengurus Yasin Fadilah Sukadana, Kamiriluddin, Pengurus Majelis Quran Sukadana, Syaiful Ma’arif, S.Sos.I, dan undangan lainnya. (lud)