eQuator.co.id – Maharani Dewi Puspitasari ini termasuk penderita lupus yang pemberani. Galibnya pasien lupus dilarang bersentuhan langsung dengan matahari, namun dia justru blakraan naik gunung.
Dian Kristiana
Tempat parkiran sepeda Mal Olympic Gaeden (MOG) siang itu menjadi tempat pertemuan Jawa Pos Radar Malang dengan Maharani Dewi Puspitasari, salah satu pasien lupus yang pernah mendaki gunung. Penyakit lupus adalah salah satu penyakit autoimun. Artinya, sistem kekebalan tubuh (imun) malah menyerang sel-sel, jaringan, dan organ sehat tubuh itu sendiri yang terjadi terus-menerus, sehingga menimbulkan peradangan kronis. Pasien lupus tak boleh terpapar sinar matahari langsung, karena mengandung sinar ultraviolet. Ketika penderita lupus terkena sinar matahari, maka bisa mengakibatkan kulit menjadi ruam dan memicu masalah kesehatan serius.
Langkah kaki kami berhenti pada sebuah gazebo di tengah parkiran. Perjumpaan saat itu menuturkan kesan bahwa Maharani merupakan salah satu gadis ’penantang’ maut. ”Saya memang sudah biasa beraktivitas di luar, tetapi beberapa kegiatan harus dibatasi,” tegas gadis yang tinggal di Kelurahan Ampeldento RT 6 RW 2, Kecamatan Karangploso itu.
Kisah pun terurai satu per satu dari bibirnya yang merah merona. Berawal dari cerita riwayat penyakit lupus, dia mengaku terdeteksi mengidap lupus waktu SMA. Sejak kecil dia tidak tahu-menahu penyakit apa yang dideritanya. ”Sejak SD, saya merasa sering gatal di badan. Sariawan tiap hari,” beber mahasiswi semester 6 Jurusan Psikologi Universitas Merdeka (Unmer) Malang ini. Tak hanya itu, dia juga mengeluh seperti akan pingsan kalau terkena panas matahari. Bahkan, seringkali mimisan jika dibuat memikirkan suatu masalah. Dan sampai sekarang dia juga mengeluh sariawan terus. ”Rambut kini juga hampir rontok, karena sering ikut kemo,” ujarnya. Ada juga gejala lupus yang lain seperti leukositnya tinggi. Padahal, dia tidak terdeteksi terkena leukemia. Namun, lupus memang dikenal sebagai penyakit seribu wajah. Dan hal itu wajar baginya.
Ceritanya terus mengalir hingga tentang petualangannya ke Gunung Bromo dan Pananjakan. Dikisahkannya, pada tahun 2015, sebenarnya dia tidak diizinkan untuk mendaki gunung oleh orang tua, teman, sekaligus dokter spesialisnya. Tetapi karena dia ingin bergabung dengan teman-temannya yang ke Bromo, akhirnya kisah petualangan dimulai. Perjalanan tersebut juga dikarenakan acara pers kampus dan tugas karya tulis tentang Tengger. Lebih dari itu, dia mengungkapkan ingin memberikan hadiah kepada dirinya sendiri tentang makna sebuah semangat. ”Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Meskipun menderita sakit lupus, saya pengen menunjukkan bahwa semua orang berhak mendapatkan impiannya,” ujar gadis kelahiran Surabaya, 17 Februari 1995 ini. Dengan berjelajah ke luar ruangan, meski hal tersebut menantang maut, dia tetap berjuang untuk membuktikan bahwa lupus bukanlah penghalang untuk bisa melihat keindahan alam milik Sang Pencipta.
Tentang perjalanan mendaki Gunung Bromo, dia menceritakan, rombongan berada di Bromo mulai jam dua siang dan membuat tenda di pinggir jalan menuju Bromo. Hingga pukul dua pagi mereka mendirikan tenda, dan melanjutkan perjalanan menuju Pananjakan. ”Mendaki gunung memang berat, tetapi satu hal yang ingin saya tegaskan yakni semua orang bisa memberikan sisi terbaik dengan menghadapi rasa takutnya,” tegas alumni SMA Ma’arif Pandaan ini. Memilih gunung, ternyata ada makna yang mendalam secara filosofi bagi Maharani. Menurutnya, gunung merupakan tempat tinggi yang masih berpijak di bumi. ”Dia tinggi, tetapi tetap membumi,” ujarnya. Seperti sebuah harapan manusia. Impian dan cita-cita boleh tinggi, tetapi harus memiliki sikap rendah hati.
Ceritapun berlanjut ke pendakian di Pananjakan. Perjalanan yang melelahkan menuntutnya sesekali harus minum air dan berkali-kali istirahat. Untunglah, di sisinya banyak teman yang mendampingi. Sehingga, dia memiliki semangat lagi untuk naik ke puncak. Hingga hawa dingin di gunung mencengkeramnya. ”Saat di puncak, tubuh saya mengalami kedinginan yang hebat. Hingga teman-teman meminjamkan jaketnya sampai berlapis empat,” bebernya. Ketakutan dan kebingungan membayangi perasaannya pada waktu itu. Sampai teman-temannya juga ikut ketakutan ketika melihat wajah dan kulit Maharani berubah drastis. Wajahnya memucat, lingkar hitam lebam menaungi matanya. Tak hanya itu, bibirnya pun berubah menjadi biru. Sampai pada akhirnya ketujuh temannya saling memeluknya agar dia merasa hangat lagi.
Tepat saat itulah, dia merasa bahwa teman-temannya adalah harta tak ternilai di dunia ini. ”Mereka dan keluarga adalah anugerah Tuhan yang memberi alasan kenapa aku hidup,” bebernya. Ternyata, perjalanan tak berhenti di Pananjakan. Dia harus menuju Bromo untuk pengalaman selanjutnya. Tetapi kondisinya saat itu sudah mencapai tahap lemas. Namun, semangatnya tak kunjung memudar. Apalagi teman-temannya terus menyemangatinya. ”Saya tahu fisik saya memang lemah, apalagi ini seperti menantang maut sendiri, terutama bagi pengidap lupus,” tegasnya. Mencapai puncak dan melihat pemandangan alam di Gunung Bromo juga bisa dia realisasikan.
Perjalanan itu memberinya pelajaran bahwa bersyukur adalah langkah terbaik. Bahkan, rasa kepercayaan juga mulai hadir di dalam dirinya. ”Lebih banyak bersyukur dan mendapat pelajaran tentang pembentukan karakter,” tegasnya. Sebelum ke gunung, dia lebih tidak memedulikan banyak orang (cuek) dan seringkali memandang rendah orang lain. Tetapi setelah perjalanannya mendaki gunung, rasa menghargai teman menjadi lebih tinggi. Tak hanya itu, dia yang dulu takut terkena lumpur, sekarang malah lebih suka bermain di alam terbuka ketimbang berada di rumah. ”Setelah kisah Bromo, saya jadi kecanduan ingin ke gunung lagi,” bebernya.
Maharani ingin mendaki Gunung Semeru, Merbabu, dan beberapa gunung lain. ”Saya tidak menuntut agar pasien lupus mau keluar ruang. Sebab, kondisi setiap orang berbeda. Tetapi, selalu ada cara untuk menggapai impian dan melakukan apa yang kita bisa. Yang penting adalah semangatnya,” tutup Maharani.(*/c1/lid)
Berhasil Mendaki Bromo, Tertantang ke Semeru