eQuator.co.id – Sekadau-RK. Luasan hutan adat di Kalbar semakin menyempit. Penyempitan terjadi seiring dengan makin pesatnya investasi di sektor perkebunan dan pertambangan di daerah ini.
Hal tersebut dibuktikan dengan perluasan perkebunan sawit yang saat ini tercatat 5.508.044,71 hektar, pertambangan 3.619.063 hektar, HTI 2429.807. Ha. HPH. 1. 125.400 hektar. Total lahan itu mencapai 12,682,314.71 hektar. Sementara luas Kalbar 15 juta hektar. “Jika dibandingkan, maka pemukiman milik masyarakat hanya tersisa 2.5 juta hektar saja,” ujar Vinsensius Vermy, Kepala Biro Keanggotaan Kaderisasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sekadau kepada sejumlah wartawan, kemarin.
Dilanjutkan Vermy, Kabupaten Sekadau memiliki luas 544,420 hektar atau 5444,2 kilo meter persegi. Berdasarkan data, ada 20 perusahaan perkebunan dan kehutanan yang beroprasi dengan luas ijin 143.168,14 hektar atau 26 persen dari wilayah Sekadau.
Dengan demikian luas, hutan yang dikelola masyarakat Kabupaten Sekadau semakin berkurang. Maka sangat dibutuhkan perlindungan atas tanah dan wilayah adat sebagi wilayahnya.
“Pembagunan model ini telah direspon pihak ke tiga (investor) yang telah menempatkan masyarakat adat sebagai korbannya. Masyarakat menjadi kehilangan tanah dan hutan,” tuturnya.
Berdasarkan rapat terbatas (Ratas) 24 Agustus 2016, presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan tentang reforma agaria melalui program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Melalui hal itu, hutan di Kalimantan Barat dilepas 138.544 hektar diserahkan pada masyarakat.
Keputusan MK 35/2012, UU Nomor 41 tahun 1999, dan Nawacita tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kemudian Parmen ATR/kepala BPN Nomor 10/2016 tentang hak Komunal, mempertegas wilayah-wilayah adat yang dimiliki secara turun menurun sebagai hak bersama yang diakui dan dilindungi pemerintah.
Adanya pengakuan Hak Masyarakat Adat (HMA) di Sintang dan Sekadau oleh pemerintah dan DPRD, menurut Vermy, patut diaprisasi. “Ini adalah kesempatan bagi masyarakat adat untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dalam Perda di Kabupaten, khususnya Sekadau,” tuturnya.
Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012, dinilai Vermy, memberikan peluang besar bagi masyarakat Adat untuk menerapkan peraturan desa tentang perlindungan dan pengolahan hutan adat. Ini merupakan arternatif menyelamatkan hutan tropis Kalimantan Barat.
“Untuk itu kepala daerah dan Kades, kita harapkan bisa mengambil kesempatan tersebut untuk memberikan perlindungan dan mengatur tata kelola hak masyarakat Adat setempat untuk membuat Perda atau peraturan desa. Seperti salah satunya di Desa Meragun, Kecamatan Nanga Taman tahun 2017 yang sudah membuat Perda. Harapan kita desa lain juga membuat hal yang sama,” pungkas Vermy. (bdu)