LGBT bukan Kesalahan Genetis, tapi Gagal Psikoseksual

Dari Pembukaan Rapat Pimpinan Wilayah dan Seminar Pendidikan Pelajar Islam Indonesia (PII) Papua Barat

Ilustrasi NET

eQuator.co.id – SORONG-Pembukaan Rapat Pimpinan Wilayah (Rapimwil) Pelajar Islam Indonesia (PII) Papua Barat dan Seminar Pendidikan PII Papua Barat dengan tema peran praktisi pendidikan dalam menangkal virus LGBT di kalangan pelajar di Papua Barat, dilangsungkan di STAIN Sorong, kemarin (23/3). Narasumber dalam seminar ini, dr. Farida Fauziah mengatakan, asal mula LGBT (Lesbian, gay, biseksual, transgender) terbentuk bukan dari genetis, melainkan kesalahan pengembagan psikoseksual pada usia balita yang berpengaruh pada usia dewasa.

Dikatakannya, untuk genetis kemungkinan yang dimaksudkan berupa kelainan gen yang terjadi pada kromosom perempuan dan laki-laki. Kejadiannya sangat langkah, contohnya seperti laki-laki dengan munculnya payudara, atau suara yang seperti perempuan atau sebaliknya perempuan memiliki janggut, atau badan yang serupa lelaki.

Menurut dr. Farida, kejadian yang sekarang berkembang merupakan efek dari kegagalan psikoseksual pada usia balita, seperti pengaruh lingkungan dan induksi social karena informasi yang diperoleh salah, serta kegagalan fungsi keluarga yang didapatkan pada saat balita sehingga pada usia remaja dan dewasa gagal beriorentasi sebagaimana mestinya. Menurutnya, peran keluarga merupakan hal terpenting karena menjadi factor utama yang harus diperhatikan untuk mencegah munculnya LGBT.

Seiring berkembangnya jaman, peran keluarga seringkali dilupakan, hal ini bisa mengakibatkan anak berorientasi LGBT, mengingat dalam fase perkembangan psikoseksual, fase dimana anak mencari figure yang bertolak belakang dari seksualitasnya. “Contohnya seperti anak laki-laki yang mencintai ibunya, juga anak perempuan yang mencintai ayahnya,” ucap Farida.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sorong, Kepas Kalasuat,SPd,MPd di tempat yang sama mengatakan, diatas usia 12 tahun merupakan usia pracoba. Perkembangan teknologi seperti halnya facebook dan media social lainnya sangat berpengaruh pada usi pra coba ini. Karena itu, pendidiknan agama di setiap sekolah perlu ditekankan agar mampu untuk menjelaskan kepada setiap siswa mengetahui kodratnya sebagai perempuan ataupun laki-laki.

Ditambahkannya, peran orang tua sangat penting karena merupakan pendidikan dasar anak-anak yang diperoleh di rumah. Di masa puber yang berlangsung untuk anak-anak di usia 12 tahun ke atas, juga perlu mendapatkan perhatian dengan memberikan penjelasan dari pihak keluarga dan sekolah mengenai kondisi pertumbuhannya.

Ketua Umum PB PII periode 2015-2017, Munawir Khalil menyampaikan bahwa virus LGBT merupakan musuh yang harus disikapi dengan bijak, karena hal ini juga menyangkut dengan dunia pelajar. Menurutnya, sekarang ini sudah terlihat siswa di bangku SMP yang mulai terjerumus virus LGBT. Oleh karena itu, pengurus besar PII terhadap binaannya menyampaikan masalah LGBT, karena sampai sekarang ini pemerintah belum memiliki sikap tegas terhadap hal ini. “Sampai sekarang ini, hanya Menteri Agama dan Menteri Sosial yang baru menyampaikan bahwa LGBT memang tidak benar,” katanya.

Ia berharap agar pemerintah mengambil sikap tegas terhadap LGBT yang dinilainya merupakan wabah yang perlu ditindak tegas. “Di tahun 2035-2045, Indonesia merupkan negara yang mempunyai pemuda produktif, apabila LGBT menyerang kalangan muda, hal ini bisa membahayakan Negara,” tegasnya. (cr-47)