eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kuota pupuk bersubsidi untuk sub sektor tanaman pangan di Kalbar sekitar 36 ribu ton per tahun. Pupuknya terdiri dari berbagai jenis.
“Ada SP36, pupuk organik, kemudian ada ZA,” ujar Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distan-TPH) Kalbar, Heronimus Hero, kemarin.
Namun jika ditotalkan dengan pupuk sub sektor lain seperti perkebunan, peternakan dan perikanan, kuotanya sekitar 112 ribu ton. Diakuinya, antara kebutuhan dengan alokasi pupuk bersubsidi, sesungguhnya memang jauh perbandingannya. Sehingga wajar apabila kebutuhan pupuk bersubsidi di Kalbar masih kurang.
Dipaparkannya, kalau dibandingkan dengan jumlah kebutuhan, tanaman pangan saja perlu 100 ribu ton untuk satu jenis.
“Umpama urea, kalau satu hektare perlu 200 kilogram urea, kita tanam lebih dari 500 ribu hektare setahun. Hitung bulat sajalah, 500 ribu hektare kali 200 kilo, itu kan sudah satu juta ton untuk pupuk,” terangnya.
“Sementara jatah kita hanya 100 ribu ton untuk berbagai sub sektor. Otomatis dari segi jumlahnya kurang. Memang jatahnya (kurang). Namanya saja pupuk subsidi, itu kan tergantung anggaran. Anggaran pemerintah mampunya segitu,” timpal Hero.
Dia berharap, pemerintah pusat dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi lebih setiap tahunnya.“Biar semakin mengurangi biaya masyarakat membeli pupuk nonsubsidi,” ucapnya.
Apabila dengan pupuk nonsubsidi, keperluan pupuk di Kalbar sebenarnya tidak kurang. Kondisinya bukan langka, melainkan kuota yang diberikan pemerintah pusat terhadap pupuk subsidi yang kurang dari kebutuhan. “Pupuk nonsubsidi banyak, tinggal dicari saja, banyak,” sebutnya.
Kuota pupuk bersubsidi untuk daerah diatur pemerintah provinsi setelah dilakukan evaluasi. Pembagiannya, berdasarkan target tanam masing-masing daerah.
“Umpama kabupaten/kota ada 14, masing-masing menyatakan sekian target tanamnya. Itu kita persenkan. Persennya dapat, tinggal kali jumlah pupuk total, dapat masing-masing sesuai target luas tanam mereka,” jelasnya.
Jika tingkat kabupaten target luas tanamnya banyak, otomatis kuota pupuk bersubsidi akan banyak. Target tanamnya tahun ini umpamanya 100 hektare, maka itulah yang diporsikan persennya terhadap luas total tanamnya menjadi proporsional. Selanjutnya, untuk mekanisme distribusi pupuk bersubsidi bagi para petani, ada jenjang yang harus dilalui. Mulai dari distributor sampai ke lini satu hingga empat.
“Distribusi ini sampai ke tingkat kecamatan saja. Produser lari ke distributor, distributor lari ke pengecer. Pengecernya sampai ke tingkat kecamatan,” terangnya.
Masalah kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah di Kalbar, ia kembali menegaskan, terjadi di 14 kabupaten/kota. Pasalnya, yang disediakan untuk subsidi jauh lebih sedikit dari kebutuhan di lapangan. Namun, kondisi langka itu harus bisa diperjelas. Kelangkaan itu apabila memang petani yang berhak mendapat pupuk bersubsidi sulit mendapatkan pupuk.
“Pergi ke pengecer pupuk bersubsidi, sudah bawa dokumennya jelas dan macam-macam, tapi di situ tidak ada pupuk untuk dia umpamanya, itu baru langka,” sebutnya.
Tapi kalau masyarakat datang, tapi tidak punya rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK), maka tidak terpilih sebagai yang berhak menerima pupuk bersubsidi. “Datang ke kios hanya pupuk bersubsidi, pasti tidak ketemu,” ucapnya.
“Yang dipilih itu sesuai wewenang kabupaten. Tentu kabupaten memilih nih mana kelompok yang berhak,” timpalnya.
Apabila seandainya ada pihak yang coba menyelewengkan pupuk bersubsidi, menurut Hero, praktik tersebut kecil kemungkinan dilakukan. Sebab malah akan merugikan pelakunya.
“Karena kalau ketahuan, umpanya di kios menyalurkan ke orang yang tidak tepat, tidak ada bukti bahwa kelompok yang menerima itu memiliki dokumen yang jelas, otomatis didenda. Jadi tidak ada untungnya sekarang pupuk subsidi diselewengkan,” tuturnya.
Ia menerangkan, antisipasi potensi penyelewengan pupuk bersubsidi dilakukan secara berjenjang. Mulai di tingkat pusat, provinsi, inspektorat hingga kabupaten ikut mengawasi. Bahkan ada pengawas pupuk pestisida lintas sektoral. Kemudian dari distributor juga mengawasi, karena pengecer menjadi tanggung jawabnya untuk membina. “Kalau tidak tepat membina, yang kena itu distributor. Izinnya untuk menyalurkan bisa ditarik,” tukasnya.
Jikalaupun ada kekeliruan dalam pendistribusian pupuk bersubsidi, lanjut Hero, biasanya terjadi faktor administrasi.
“Mungkin tertib administrasinya kurang. Mungkin seharusnya RDKK-nya seharusnya lengkap, dia lupa nunjukkan atau lainnya, itu biasa terjadi,” demikian Hero.
Laporan: Rizka Nanda
Editor: Arman Hairiadi