eQuator.co.id – Jakarta-RK. Penanganan darurat dampak gempabumi di Nusa Tenggara Barat memasuki hari ketujuh. Penanganan terus dilakukan. Data korban terus bertambah hingga mencapai 392 orang. Sementara gempa susulan juga terus terjadi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merekam hingga kemarin (12/8) pukul 15.00 WITA telah terjadi sebanyak 576 gempa susulan. Korban meninggal terbanyak masih di Kabupaten Lombok Utara 339 orang, Lombok Barat 30 orang, Kota Mataram 9 orang, Lombok Timur 10 orang, Lombok Tengah 2 orang dan Kota Lombok 2 orang.
Korban luka-luka tercatat 1.353 orang, 783 orang diantaranya luka berat dan 570 orang luka ringan. Korban luka-luka paling banyak terdapat di Lombok Utara sebanyak 640 orang. Sementara itu jumlah pengungsi mencapai 387.067 orang yang tersebar di ribuan titik pengungsian.
Sebaran dari pengungsi adalah di Kabupaten Lombok 198.846 orang, Lombok Barat 91.372 orang, Kota Mataram 20.343 orang, dan Lombok Timur 76.506 orang.
Sementara kerusakan fisik meliputi 67.875 unit rumah rusak, 606 sekolah rusak, 6 jembatan rusak, 3 rumah sakit rusak, 10 puskesmas rusak, 15 masjid rusak, 50 unit mushola rusak, dan 20 unit perkantoran rusak. ”Pendataan dan verifikasi masih dilakukan petugas,” kata Kapusdatin dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kemarin.
Sutopo mengatakan, beras, sembako dan kebutuhan dasar untuk pengungsi harus tersedia mengingat masa pengungsian masih akan berlangsung lama. Listrik juga belum seluruhnya menyala. Di Kecamatan Gangga Lombok Utara masih gelap gulita saat malam hari.
Untuk mengatasi penerangan, sebanyak 200 unit genset sudah disalurkan dimana 100 unit dari BNPB dan 100 unit bantuan dari swasta. ”Patroli terus ditingkatkan oleh Polri. Saat ini jumlah kriminalitas sudah turun 70 persen,” Jelas Sutopo.
BNPB juga menghimbau agar distribusi bantuan tidak dilakukan secara sembarang. Secara khusus, BNPB tidak menganjurkan bantuan berupa susu formula dan makanan bayi. Khusus bagi ibu dengan bayi dibawah 2 tahun, disarankan untuk tetap menyusui.
“Meski kondisi darurat harus tetap menyusui, Tidak bisa digantikan dengan susu formula,” ungkap Sutopo.
Susu formula dan sejenisnya tidak dianjurkan karena peralatan untuk mengolahnya sulit didapatkan. Seperti air bersih, alat memasak dan botol steril.
“Pemberian susu formula meningkatkan resiko diare, kurang gizi, bahkan kematian bayi,” kata Sutopo.
Ia menjelaskan, dalam beberapa pengalaman sebelumnya, susu formula dan susu bubuk adalah bantuan umum diberikan dalam keadaan darurat. Sayangnya, produk-produk tersebut seringkali dibagikan tanpa kontrol yang baik dan dikonsumsi oleh bayi dan anak-anak yang seharusnya masih harus disusui.
”Akibatnya, diare meningkat pada bayi usia di bawah enam bulan yang menerima bantuan susu formula. Dua kali lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak menerima,” jelasnya.
Ditambahkannya, Unicef dan WHO sebagai Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengingatkan bahaya pemberian susu formula di pengungsian. Banyak kasus saat bencana di dunia, pemberian susu formula kepada balita dan anak-anak justru meningkatkan penderita sakit dan kematian.
“Tapi ada pengecualian. Kalau bayinya tidak bisa disusui, boleh diberi susu formula. Tapi peralatannya harus steril dan kesehatannya harus terus dimonitor,” jelasnya.
Sementara itu, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat Susianah Affandy menekankan kepada pemda agar memperhatikan hak anak yang berada dalam situasi darurat gempa. Di antaranya di wilayah pengungsian harus disediakan ruang sahabat anak. Ruang tersebut bisa digunakan sebagai ruang aktivitas anak seperti bermain, olahraga, dan rekreasi.
”Dampak gempa menyebabkan anak-anak yang tinggal dipengungsian dalam waktu yang lama merasa bosan dan jenuh,” kata Susianah, kemarin.
Selain ruang sahabat anak, perlu juga disediakan ruang konseling keluarga. Ruang tersebut berfungsi sebagai tempat edukasi perilaku hidup bersih dan sehat. ”Pusat trauma healing bagi anak-anak dan keluarga juga dapat berfungsi sebagai pusat informasi anak dan keluarga,” tambah dia.
Kebutuhan pada sekolah darurat di lokasi pengungsian juga harus segera disediakan. Sekolah darurat itu bisa didirikan dengan tenda sementara. Karena sekolah yang rusak tentu butuh waktu lama untuk dibangun lagi.
”KPAI meminta agar BNPB menyediakan atau mengadakan tenda yang selama ini untuk pengungsi dapat juga digunakan sebagai tenda kelas darurat,” terangnya.
Selain itu, perlu pula didistribusikan secara merata school kit, recreasional kit, sarana dan prasarana belajar. Guru garis depan juga harus diberikan pelatihan layanan psikososial yang nantinya dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah terdampak gempa.
Susianah menjelaskan rekomendasi lain yang diberikan adalah organisasi perangkat daerah (OPD) harus bisa menjamin perlindungan anak di lokasi terdampak gempa. KPAI prihatin dengan kejadian yang menimpa anak berusia 13 tahun di salah satu desa di Lombok Timur yang mengalami pencabulan disertai ancaman oleh dukun berkedok kegiatan trauma healing. Meski pelaku sudah ditahan polisi.
”Namun KPAI berharap agar semua pihak melakukan pencegahan terhadap tindak kekerasan anak (fisik, mental dan seksual),” tegas dia. (Jawa Pos/JPG)