eQuator – Adanya aliran uang ke pejabat di Kejaksaan Agung terkait penanganan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Pemprov Sumut terus menggelinding. Komisi III DPR meminta KPK tak membiarkan pernyataan dalam persidangan tersebut dengan meminta keterangan Jaksa Agung.
Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi III Masinton Pasaribu saat mendatangi KPK kemarin (18/11). Menurut dia, dirinya akan mengusulkan pada pimpinan komisi untuk memanggil Jaksa Agung. Tujuannya agar komisi III menanyakan adanya aliran uang ke pejabat di Kejagung dalam menangani kasus korupsi Pemprov Sumut.
“Secara politik hal tersebut harus ditanyakan. Tapi secara hukum temuan itu juga harus ditindaklanjuti,” ungkap politisi PDIP itu. Dia mendorong KPK untuk memeriksa Jaksa Agung H.M Prasetyo maupun Maruli Hutagalung (Direktur Penyidikan di Jampidsus Kejagung). Kedua nama itu disebut oleh istri Gubernur Sumut non aktif Gatot Pujo Nugroho, Evy Susanti saat menjadi saksi di sidang Rio Capella..
Evy mengaku pernah mendengar dari pengacaranya O.C Kaligis bahwa ada uang yang telah diserahkan ke Maruli. Uang yang telah diberikan disebut sebesar Rp 300 juta. Di hadapan majelis hakim tipikor, Evy juga mengaku pada waktu yang sama saat itu telah menyiapkan uang untuk Jaksa Agung sebesar 20 ribu USD. Uang itu rencananya akan diberikan lewat Rio Capella.
Terkait fakta tersebut, KPK sendiri sepertinya bersikap melemah terhadap lembaga penegak hukum yaitu kejaksaan. Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan seharusnya Kejagung sendiri yang menindaklanjuti perkara tersebut. Dia beralasan Kejagung sebagai pihak pertama yang mengusut kasus bansos. “SOP-nya seperti itu,” ujar Indriyanto.
Masinton mempertanyakan sikap KPK tersebut. Menurut dia harusnya KPK bertindak. Sebab pernyataan Evy tersebut terungkap dalam sidang kasus Rio Capella yang ditangani KPK. “KPK tumben kok seperti itu? Jangan tebang pilih dong,” tanya Masinton. Masinton berjanji, meski tidak dipanggil secara khusus oleh komisinya, namun pernyataan Evy dalam sidang itu akan ditanyakan langsung ke Jaksa Agung saat rapat rutin di DPR.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Dio Ashar menuturkan bahwa disebutnya nama sejumlah petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi warning untuk pemerintahan Presiden Jokowi. “Ini penanda untuk presiden, bila tidak melakukan sesuatu tentu akan berbahaya,” ujarnya.
Kinerja seorang Jaksa Agung, lanjut dia, setidaknya dinilai dari tiga hal, yakni pemberantasan korupsi, penuntasan pelanggaran (kasus), dan dan reformasi kejaksaan. Ketiga bidang tersebut hingga saat ini belum juga terpenuhi. “Soal pemberantasan korupsi misalnya, hingga saat ini belum ada kasus korupsi besar yang diselesaikan Kejagung,” ujarnya.
Lalu, soal penuntasan pelanggaran HAM, di mana Kejagung berupaya menempuh rekonsiliasi dengan membentuk tim rekonsiliasi kasus masa lalu. Pembentukan tim itu bertentangan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sesuai pasal 30 ayat 1 huruf d nomor 16/2004 jo pasal 21 ayat 1 UU 26/200 tentang pengadilan HAM. “Kejaksaan tidak berwenang membentuk tim rekonsiliasi itu,” paparnya.
Soal reformasi birokrasi, berdasar penelitian MaPPI sepanjang 2014 terdapat 392 penyimpangan persidangan. Yakni 50 persen di antaranya, pelanggaran dilakukan jaksa-jaksa. “Pelanggaran terbanyak soal etik dan pelaksanaan hukum acara pidana,” ujarnya.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Amir Yanto tidak bisa dikonfirmasi terkait masalah tersebut. Telepon sama sekali tidak diangkat dan pesan singkat juga tidak dibalas.(JawaPos/JPG)