Dua periode lamanya Marukan menduduki jabatan Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah. Kini, dia bersiap melepas jabatannya. Marukan sudah mengambil ancang-ancang menggeluti bisnis lain untuk membangun daerahnya.
RIA M ANGGRAENY, Nanga Bulik
eQuator.co.id – Berada di lokasi yang terbilang jorok, tak membuat Marukan, orang nomor satu di Lamandau terlihat risih. Dia justru percaya diri dengan setelan pakaian dinasnya dipadu sepatu yang terlihat kinclong, menjejakkan kaki di tempat pengolahan pupuk.
Ya, hari itu, Marukan mengunjungi pengolahan pupuk organik di kandang sapi miliknya, di jalan poros utama simpang sepaku-perigi. Jaraknya sekitar 15 menit perjalanan dari Nanga Bulik, Ibu Kota Kabupaten Lamandau.
Marukan seolah terbiasa ”berbaur” dengan bahan baku pupuk dari kotoran sapi, solid sawit, abu bakaran boiler perkebunan sawit, kapur, bahan aktif pengurai, dan lainnya. Dia juga tak canggung saat memegang pupuk tersebut, yang bahan utamanya dari kotoran sapi.
”Dibuat judulnya, habis masa jabatan, Bupati jualan ’tahi’ (kotoran, Red) sapi gitu ya!! Hahaha,” seloroh Marukan sambil tertawa.
Bau kotoran sapi yang samar-samar masih tercium tak dipedulikannya. Marukan kemudian menjelaskan proses pengolahan pupuk organiknya dari kandang sapi hingga masuk kemasan karung siap jual.
”Jadi, kotoran sapi dari kandang itu ditampung dalam penampungan, dicairkan, kemudian disedot mesin ini. Keluarlah kotoran sapi yang telah dipress dan kering, sementara airnya akan keluar lagi dan masuk penampungan di sampingnya,” katanya.
Kotoran sapi tersebut kemudian dimasukkan dalam sebuah mesin yang lebih besar dengan pelat di atas roda berjalan, bersama dengan bahan baku lain. Setelah diproses dan diaduk, kemudian masuk dalam karung kemasan.
”Ini sudah siap jual, tapi penggunaannya harus dibiarkan selama sekitar 4-5 hari dulu, baru diaplikasikan ke tanaman. Bisa digunakan untuk kebun kelapa sawit, tanaman hortikultura, padi, bunga, dan lainnya,” jelasnya.
Harga yang dipatok per kilogramnya cukup terjangkau, yakni Rp 1.300. Menurutnya, hal tersebut merupakan solusi mahalnya pupuk kimia/anorganik di pasaran. Selain itu, pupuk organik juga bermanfaat memperbaiki tekstur dan struktur tanah, menggemburkan, dan menyuburkan tanah dalam jangka panjang. Pupuk organik juga aman digunakan saat musim penghujan maupun kemarau.
Marukan menuturkan, tanah yang terbiasa diberi pupuk kimia biasanya akan mengeras. Pupuk kimia juga mudah menguap saat musim kemarau dan larut saat hujan. Dengan adanya pupuk organik, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia hingga 40 persen lebih.
”Selain itu, produksi pupuk organik ini juga merupakan wujud nyata dari pengembangan sawit-sapi terintegrasi, karena solid sawit bisa jadi bahan pangan sapi. Kotoran sapi bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku pupuk organik yang bermanfaat untuk kesuburan tanaman sawit,” katanya.
Marukan mengaku masih mengurus perizinan serta uji laboratorium terhadap hasil produksi pupuknya tersebut. Dengan demikian, mutu pupuk organik hasil produksinya benar-benar terjamin. Termasuk kualitas dan kandungannya yang sangat bermanfaat bagi tanaman.
”Saat ini bari mulai uji coba dengan produksi sekitar enam ton per hari, tergantung orderan. Dalam sebulan ini, sekitar 180-200 ton yang sudah diorder, sehingga produksinya baru sesuai orderan saja. Selain pupuk organik padat, nantinya kami juga akan memproduksi pupuk organik cair,” jelasnya.
Beternak sapi dan berkebun memang seperti sudah menjadi passion Marukan. Dalam kesempatan terpisah, istrinya, Maria Neva Marukan, mengatakan, suaminya sering menjenguk kandang sapi lebih dulu, baru ke rumah jabatan. Hal itu dilakukannya sepulang dari perjalanan dinas keluar kota.
”Beliau lebih kangen dengan sapi-sapinya. Ada sekitar 200 ekor sapi di kandang. Jadi, kalau ada di Nanga Bulik, hampir setiap hari tidak pernah terlewat. Pasti menengok kandang sapi,” tuturnya dengan nada agak cemburu. (RADAR SAMPIT/JPG)