Kisah Abdul Ghani Seba, Saksi Hidup Ganyang Malaysia

Rela Tinggalkan Perusahaan Minyak demi Negara

Abdul Ghani Seba --- Niken/KALTIM POST

eQuator.co.idAbdul Ghani Seba merupakan pejuang veteran asal Balikpapan. Kini Seba panggilan akrabnya sudah menjadi warga Paser. Demi negara, Seba telah membuktikan rela menanggalkan pendapatan besar pada zaman susah untuk membela kedaulatan Indonesia.

Sekarang Seba tinggal di rumah anak laki-laki dan cucunya di Perumahan Griya Nusantara Kecamatan Pasir Belengkong. Istrinya telah lama meninggal karena sakit. Masa muda pria 76 tahun itu digunakan untuk berjuang demi kemerdekaan NKRI. Saat itu usianya masih 23 tahun, sempat bekerja di Pertamina Balikpapan. Hidup mapan pada zaman susah ditinggalkan. Seba terpanggil berjuang untuk negara.

“Semua pasti tahu bagaimana sejahteranya bekerja di perusahaan minyak. Saya rela meninggalkan pekerjaan demi panggilan negara,” ungkapnya.

Saat diwawancarai Kaltim Post (Jawa Pos Group), Seba sedang antre mengambil bantuan sosial (bansos) dari Dinas Sosial Provinsi Kaltim, Kamis (14/12). Tidak banyak kisah perjuangannya pada masa-masa sesudah kemerdekaan. Bersama 42 orang lainnya diberangkatkan dari Balikpapan pada 1964–1967 untuk menjaga perbatasan Kaltim, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara.

Keberangkatan tersebut untuk menjaga wilayah Indonesia dari rencana Inggris menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan semenanjung Malaysia, dengan cara membentuk Federasi Malaysia. Rencana itu ditentang Presiden Soekarno. Akhirnya dikirimkan pasukan ke wilayah perbatasan Indonesia di Sebatik dan Kalbar untuk pengamanan. Seluruh rakyat Indonesia kala itu bergerak menyuarakan anti-Malaysia dengan slogan Ganyang Malaysia.

Selama tiga tahun menjaga perbatasan, Seba dan pejuang veteran dari berbagai profesi dilatih tidak mengenal rasa takut dan pantang menyerah. Pada 1966, sempat dipulangkan ke Balikpapan, namun awal 1967 berangkat lagi ke Sebatik. Kemudian, akhir 1967 dikembalikan ke Balikpapan.

Kebanggaan masih dirasakan Seba. Terlebih 43 pejuang veteran yang diberangkatkan tersebut adalah pleton besar di garis depan. “Tidak ada pertempuran kala itu. Kami hanya menjaga perbatasan memastikan tidak ada pencaplokan wilayah Indonesia,” ucapnya.

Namun, kesedihan tidak lepas dari ingatannya saat teman-teman seperjuangan meninggal. Tidak banyak yang masih hidup dan sehat hingga saat ini. Kakek 10 cucu itu bersyukur masih diberi kesehatan pada hari tuanya.

“Dari 43 orang yang berjuang kala konfrontasi Indonesia-Malaysia, hanya dua yang tinggal di Paser, termasuk saya. Teman-teman lainnya saya sudah tak tahu lagi di mana berada. Tapi memang sudah banyak yang meninggal dunia. Saya sering berkomunikasi dengan teman-teman di Balikpapan. Saya senang bisa tinggal dengan anak, berkumpul dengan cucu. Walaupun tidak semua berada di Grogot,” ucapnya. (Kaltim Post/JPG)