Kisah 11 Warga Aceh Selamatkan Diri dari Majikan di Malaysia

Ditipu Agen TKI Tak Resmi

DIALOG. Sudirman, Komite II DPD RI asal Aceh bersama Hary Daya dan sebelas warga Aceh berdialog di Kantor DPD RI Perwakilan Kalbar, Rabu (29/8)--Andi Ridwansyah

eQuator.co.idPontianak-RK. Sebelas warga Aceh yang terlantar di Entikong, Kabupaten Sanggau saat ini sudah diselamatkan DPD RI asal Aceh. Sebelas warga ini awalnya melarikan diri dari perusahaan sawit di Miri, Malaysia, tempat mereka bekerja.

Mereka merasa tertipu oleh agen TKI yang tak memiliki. Mereka juga dibayar tidak sesuai dengan perjanjian kerja.

Salah seorang dari mereka, Julianur menceritakan, awalnya mereka ditawari kerjaan oleh kenalannya di kampung halaman. Kerjaan itu di Malaysia.
“Pertama kami mengenal satu orang di kampung. Katanya kamu mau kerja tidak di Malaysia, kerjanya di kilang. Pas sampai ke tempat agen kami disuruh kerja di kebun sawit,” ceritanya saat ditemui Kantor DPD RI Perwakilan Kalbar, Rabu (29/8).
Mereka semangat untuk bekerja karena dijanjikan gaji sebesar Rp 9 juta per bulan. Namun kenyataannya, mereka hanya menerima Rp3 juta per bulan. Itupun harus dipotong untuk biaya-biaya lain. Mulai dari komisi agen hingga biaya makan dan listrik selama bekerja.

Untuk proses perekrutan, lanjut Julianur bercerita, mereka tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Mulai dari pengurusan paspor, hingga biaya transportasi ke Malaysia semua ditanggung oleh agen. Jalur transportasi dimulai dari Langsa ke Medan dengan jalur darat. Kemudian dari Medan mereka transit di Batam, lalu ke Pontianak dengan pesawat.
“Dari Pontianak kami dijemput taksi di bandara. Habis itu diantar ke terminal bus. Dari terminal bus pokoknya semua sudah ada yang atur,” ungkapnya.
Setelah sampai di Malaysia dan sempat bekerja selama 20 hari sejak Agustus, dirinya mengaku diperlakukan tak adil oleh pihak perusahaan. “Pengawasan kami di situ lumayan ketat. Pagi kami dijaga, siang kami dijaga, waktu kami kerja juga dijaga. Misalnya kalau sakit terkadang tidak dipedulikan. Harus kita melapor dulu baru dibawa ke rumah sakit,” ujarnya.
Paspor mereka, kata Julianur, juga ditahan oleh pihak agen. Sehingga dirinya tidak bisa pergi dari Malaysia. “Kami minta pulang, syaratnya (paspor) harus ditebus sekitar Rp 7 juta,” paparnya.

Karena tak betah, akhirnya ia bersama sepuluh rekannya memutuskan untuk melarikan diri pada malam hari. “Kami waktu itu pas mau lebaran Idul Adha ada dikasih uang pinjaman dari perusahaan 200 Ringgit Malaysia. Di situ lah kami manfaatkan uang itu untuk kabur,” katanya.
“Kami rencanakan ayo semuanya kita kabur. Ngapain lagi kita di sini. Pas mati lampu kami semua bergerak untuk kabur. Tidak peduli resiko apapun kami tempuh. Pokoknya kami udah nekat, dari pada kami sengsara disini, yang tidak ada kesenangan, pokoknya kami selama setengah bulan menderita,” tambahnya.
Saat melarikan diri, mereka memilih melewati hutan lantaran takut ketahuan Kepolisian Malaysia karena tak punya paspor. Pelarian itu ditempuh selama tiga hari tiga malam.
“Sampai kami lari, kaki kami lecet, pokoknya kami di situ makan singkong, minum air parit waktu lari,” ujarnya.
Menurut Julianur, saat ini masih ada enam orang rekannya asal Aceh, satu rombongan dengannya yang masih terperangkap di sana. “Mereka juga mau juga kabur seperti kami. Tapi orang itu tidak bisa. Dikawal sangat ketat dari perusahaan,” tambahnya.
Setibanya di tanah Entikong, mereka numpang berlindung di sebuah warung dan kemudian diamankan Polsek Entikong. Pihak Dinas Sosial Provinsi Aceh, disebut-sebut terkesan tidak peduli. Karena itu, DPD RI turun tangan. Dari Entikong, mereka dibawa ke Pontianak, sebelum dipulangkan ke Aceh.

Komite II DPD RI asal Aceh, Sudirman yang datang ke Pontianak untuk menjemput mereka. Ia menjelaskan bahwa kasus yang menimpa sebelai warganya tersebut lantaran mereka ditipu oleh agen mereka. “Hasil kerja mereka dipotong lagi untuk makanan, tempat tidur, dan listrik serta untuk agen. Jadi sama juga bohong,” ungkapnya.
Status agen itu pun, kata Sudirman, seperti tak jelas. Jika memang agen resmi, tentulah memiliki mekanisme dan prosedur yang berlaku. Pembayaran tentu sesuai dengan kesepakatan. “Berarti itu bukan perusahaan yang betul-betul punya izin resmi,” lanjut Sudirman.
Dirinya juga mengaku akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian wilayah Aceh untuk memproses lewat jalur hukum kepada agen TKI ini. “Untuk agen saya titip pesan kepada personel kepolisian, ke mana pun dia lari, kejar sampai dapat. Ini mafia, ini penghisap darah namanya,” serunya.
Sudirman mengatakan, awalnya ia mengetahui kabar tersebut dari pemberitaan di media. “Saya baca berita, mereka terkatung-katung selama tiga hari tiga malam di hutan belantara, kehabisan bekal, tidak punya bekal sama sekali, baju hanya apa adanya saja, dan ini membangkitkan rasa simpati saya dan menggugah perasaan saya,” katanya.
Karena sudah beberapa hari dan tidak ada pihak yang merespon, saat itu Sudirman membicarakan hal ini kepada Ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang (OSO), selepas rapat Paripurna yang dihadirinya.
“Alhamdulillah beliau (OSO) menyambut baik dengan kondisi ini. Mereka ini harus kita bawa pulang di kampung halaman karena orang tuanya resah,” paparnya.
OSO dan Sudirman diketahui akan membayar seluruh biaya transportasi untuk para TKI ini. Sebelas orang tersebut pulang ke Aceh dengan menggunakan pesawat rute Pontianak-Medan kemarin siang. Dari Medan, mereka akan menuju rumah masing-masing dengan transportasi darat.
Setelah sampai di kampung halaman, Sudirman berkoordinasi dan meminta Dinas Sosial Provinsi Aceh untuk memantau kasus ini. “Saya tadi berbicara ke perwakilan Dinas Sosial Aceh, tentunya ini akan dibicarakan kepada Kepala Dinas Sosial, dan kemungkinan juga akan dibicarakan ke Wakil Gubernur Aceh,” paparnya.

Laporan: Andi Ridwansyah

Editor: Ocsya Ade CP