eQuator.co.id – Kesultanan Demak selalu identik dengan Masjid Agung Demak (MAD). Di sekitar masjid tersebut masih mudah ditemui tetenger yang mengingatkan akan kebesaran kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa itu. Salah satunya Kampung Kauman Demak.
Matahari bergerak perlahan meninggalkan posisinya di ufuk timur. Menabur kehangatan di kolong langit Demak. Di salah satu sudut kota, warga baru saja melakoni cerita kehidupan mereka pada hari yang baru. Berbagai ekspresi pun dipamerkan.
Ibu-ibu rumah tangga melanjutkan pekerjaan mereka yang sempat terhenti karena melepas suami bekerja dan anak ke sekolah. Beberapa pria menyeruput kopi di salah satu warung sederhana. Sesekali diskusi ringan terlontar dengan beragam tema. Sekitar 20 meter di depan warung itu, tampak beberapa warga yang masih berlari-lari kecil dan bersenam di alun-alun kota, persis di depan MAD.
Jalan Kauman II, Bintoro, Demak, menampilkan atraksi kehidupan yang normal pagi itu. Berlangsung tanpa cela. Bahkan dimeriahkan lantunan ayat suci Alquran yang terdengar nyaring diantar pengeras suara dari kejauhan. Dari suaranya, sudah bisa ditebak ayat suci tersebut dilantunkan perempuan. Burung-burung berhenti terbang dan berbaris di atas dahan pohon di depan rumah warga. Semua ikut mendengar. Menghayati setiap kalam Tuhan yang dibacakan dengan penuh syahdu.
Suara itu ternyata bersumber dari salah satu tempat yang masih berada di Jalan Kauman II. Bangunan sederhana yang berada di halaman Makam Sentong Ratu. Di dalam ruangan bercat putih berukuran 5 x 8 meter tersebut, tampak empat perempuan khidmat membaca Alquran.
Mereka bergantian menggunakan satu-satunya mikrofon di tempat itu. Sesekali perempuan yang mendapat giliran mengaji harus mengatur ulang jarak mikrofon dengan mulutnya karena kabel alat pengeras suara tersebut ditarik-tarik dua anak kecil. Ya, dua di antara empat perempuan berkerudung itu memang menyertakan anak-anaknya untuk berada bersama mereka.
Makam Sentong Ratu salah satu tempat sakral di Jalan Kauman II, Bintoro. Di dalamnya terkubur jasad perempuan hebat yang memiliki andil besar terhadap laju sejarah Kabupaten Demak. Dia adalah Ratu Ayu Kasmoyo atau Mbah Ratu. Perempuan yang juga dikenal dengan sebutan Nyai Lembah tersebut merupakan adik satu ayah beda ibu dari Raden Patah, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Demak. Nyai Lembah-lah orang pertama yang ditemui dan dimintai petuah oleh Raden Patah sebelum merintis daerah yang di kemudian hari menjadi Kerajaan Demak.
Awalnya Demak merupakan kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebelum berstatus kadipaten, wilayah itu dikenal dengan sebutan Glagah Wangi. Nah, di Glagah Wangi itulah terdapat tokoh perempuan yang bernama Nyai Lembah atau Siti Aminah.
Atas saran Nyai Lembah, Raden Patah bermukim di Desa Glagah Wangi yang selanjutnya berganti nama menjadi Bintoro Demak. ”Tak heran jika Nyai Lembah ini dikenal sebagai peletak pertama cikal bakal lahirnya Kerajaan Demak,” ujar Imaduddin, kepala Museum MAD, saat ditemui Jawa Pos di salah satu musala yang berjarak sekitar 10 meter dari Makam Sentong Ratu, Kamis (2/6).
Ada banyak cara spesial yang dilakukan masyarakat Kauman II, Bintoro, untuk menghormati jasa Nyai Lembah. Salah satunya yang dilakukan empat perempuan itu. Perempuan-perempuan tersebut merupakan orang terpilih. Mereka adalah hafizah –sebutan bagi penghafal Alquran perempuan– yang bacaannya tidak perlu diragukan lagi. Mereka dipilih untuk mengantar doa suci bagi Nyai Lembah dari bumi agar bisa menembus langit ketujuh.
”Sekarang nyadran berjamaah sekali dalam setahun,” ucap Imaduddin.
Nyadran atau ruwahan memang tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Jawa menjelang Ramadan. Namun, yang membuat nyadran khusus Nyai Lembah teramat istimewa adalah dilakukan para hafizah. Dari bibir para perempuan itu diyakini mengalir sungai doa. Arusnya sangat deras.
Menghanyutkan segala harapan keselamatan bagi perempuan yang sangat dicintai dan dipuji para makhluk bumi. Bagi masyarakat, hanya doa yang bisa mereka persembahkan untuk perempuan yang telah berjasa membangun peradaban Demak tersebut.
Jarum jam di dinding musala tak henti bergerak. Bersamaan dengan itu pula, bacaan ayat suci Alquran terus dilantunkan. Sampai akhirnya suara itu tidak terdengar lagi sekitar pukul 11.00. Menurut Imaduddin, sudah waktunya para hafizah beristirahat sementara waktu sebelum mengaji lagi pukul 12.00.
Kesempatan itu pun tidak disia-siakan koran ini untuk berbicara dan mengenal langsung perempuan-perempuan hebat tersebut. Dari perkenalan itu, koran ini mengetahui nama-nama mereka. Yaitu Muthoharoh, Masruroh Rahman, Nailatul Muna Ulum, dan Sholihatus Sofiah Faizin.
”Sebenarnya tahun lalu kami berlima, cuma satu orang lagi sedang di luar kota,” jelas Muthoharoh.
Bagi Muthoharoh, nyadran untuk Nyai Lembah merupakan kesempatan mulia yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Banyak warga Kauman II yang ingin melakukan kegiatan serupa, tapi tidak percaya diri dengan bacaan Alquran mereka. Karena itu, empat tahun ikut nyadran adalah momen yang mesti disyukurinya. Harus terus berlanjut di tahun-tahu berikutnya. Dia pun bertekad terus mengasah kemampuan tentang ilmu Alquran agar bacaan yang dilantunkan semakin mengandung kekuatan ajaib.
”Lagi pula, hati juga tentrem bisa kirim doa untuk Nyai (Lembah),” ungkap perempuan berkacamata itu sembari tersipu.
Peran Nyai Lembah memang telah tercatat rapi dalam sejarah Kerajaan dan Kabupaten Demak. Lebih khusus lagi di Jalan Kauman II. Sahih. Tidak ada argumen yang sanggup membantahnya. Meski begitu, tugas generasi setelahnya tidak boleh berhenti hanya dengan membaca dan mengagumi peristiwa yang menyejarah.
Karena kehidupan masih terus berlanjut, sejarah kebaikan harus pula dilanjutkan. Salah satunya dengan belajar dari rekam jejak yang diwariskan Nyai Lembah. Dan Muthoharoh beserta kawan-kawan telah memulainya untuk kita.
Tentukan Niat, Nikmati
Setiap Tetes Airnya
Demak memang dikenal sebagai salah satu daerah kaya sejarah. Peradaban dan kerajaan Islam serta ulama terkemuka bermunculan di atas tanahnya. Aroma sejarah Islam bahkan masih semerbak di langitnya hingga kini. Selain makam Nyai Lembah dan Raden Fatah, tentu saja yang paling familier di masyarakat adalah makam Sunan Kalijaga. Tak heran, salah satu kabupaten di Jawa Tengah tersebut dikenal dengan sebutan Kota Seribu Wali.
Makam Sunan Kalijaga berada di Kauman Kadilangu. Jaraknya hanya kira-kira 2 kilometer dari Kauman II Bintoro. Tak ada yang ingin menyia-nyiakan kesempatan melihat dari dekat makam salah satu Wali Sanga itu. Becak bisa jadi pilihan sebagai kendaraan untuk membelah kota mengantar ke peristirahatan terakhir Sang Sunan. Selain lebih santai, menggunakan kendaraan roda tiga itu mengesankan sisi tradisionalitas di kota bersejarah.
Terik matahari siang yang mulai menyengat ubun-ubun takluk oleh pesona kota yang rupawan. Rumput alun-alun ceria dengan jubah kehijauan memancarkan kesejukan. Di sekelilingnya berjejer bangunan yang menyimpan sejarah kejayaan kota. Mulai Masjid Agung Demak, museum, kantor pemerintahan, hingga penjara.
Melewati Pasar Bintoro, warga sibuk bertransaksi. Pasar tersebut merupakan pusat perniagaan terbesar di Demak. Kita tidak akan menjumpai pusat perbelanjaan modern alias mal seperti yang kerap merayu orang-orang saat bepergian ke Surabaya dan Jakarta.
Setelah sekitar 15 menit, tibalah ke makam Sang Sunan. Kebesaran nama Sunan Kalijaga sudah terasa sesaat setelah tiba di pintu masuk menuju Kauman Kadilangu. Bus-bus dengan ukuran besar parkir rapi di pinggir-pingir jalan. Kendaraan itu membawa peziarah yang berasal dari luar kota. Bahkan, menurut beberapa orang yang diajak bicara di sana, tidak sedikit peziarah yang berasal dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Para peziarah rela berdesak-desakan di lorong sepanjang sekitar 200 meter menuju makam Sunan Kalijaga. Di sepanjang lorong itu, para peziarah disuguhi pemandangan meriah di kanan dan kiri dengan hadirnya pedagang yang menjual aneka macam barang. Mulai tasbih, baju, hingga jambu air yang menjadi salah satu identitas Kabupaten Demak. Setelah puas dengan pemandangan tadi, sejenak peziarah melupakan segala pernik-pernik duniawi itu. Fokus ke haribaan Sang Pencipta lewat doa dan zikir di makam Sunan Kalijaga.
Setelah memanjatkan doa, peziarah melanjutkan rangkaian wisata religinya dengan mendatangi tempat yang berada persis di sebelah kanan makam Sunan Kalijaga. Namanya gentong air barakoh padasan peninggalan sang sunan. Para peziarah antre untuk mendapatkan air yang sudah disediakan petugas makam dalam gelas plastik berwarna- warni. Ada yang meminumnya, ada pula yang menggunakannya untuk mencuci muka. Bahkan, tidak sedikit peziarah yang membawa pulang air barokah tersebut dengan menggunakan botol dan jeriken kecil.
Gentong tersebut merupakan warisan sejarah yang sebelumnya digunakan Sunan Kalijaga untuk berwudu. Air di dalam gentong berasal dari Sungai Kalijajar yang jaraknya sekitar 300 meter dari area makam. Peziarah tidak perlu khawatir terhadap kualitas air sungai itu karena sudah melewati penyaringan.
Bertujuan memelihara keluhuran gentong tersebut, air sungai yang disaring harus dipikul beberapa petugas makam. Tidak boleh menggunakan bantuan slang layaknya perusahaan air bersih yang memuaskan pelanggannya. ”Ya, memang harus dipukul. Ndak boleh cara laen,” jelas Prayitno, juru kunci makam Sunan Kalijaga.
Prayitno enggan memaparkan khasiat khusus air tersebut. Dia tidak ingin kepastian khasiat air itu ditafsirkan berbeda oleh beberapa pihak. Termasuk potensi adanya unsur-unsur mistis di dalamnya. Yang jelas, kata dia, gentong tersebut merupakan peninggalan manusia dan ulama terpuji sekelas Sunan Kalijaga. Biarlah peziarah yang merasakan sendiri khasiat dahsyat yang tersimpan di setiap tetes air gentong itu. ”Tapi, tetap semua atas izin Allah,” tegas Prayitno.
Belum puas dengan penjelasan Prayitno, petugas yang setiap hari dekat dengan air barokah itu ditemui. Namanya Syafa’at. Pria berusia 37 tahun tersebut sudah setahun lebih mengabdikan dirinya untuk menerima tamu sang sunan. Dia terlihat cekatan melayani setiap peziarah yang membutuhkan air. Gelas-gelas yang kosong karena isinya baru saja diminum peziarah langsung diisi lagi. Harus terus terisi agar ”tuan rumah” tidak kecewa mengetahui tamunya tidak dilayani dengan baik.
”Sunan pasti bangga banyak tamunya yang datang, maka tugas saya untuk melayani setiap tamu yang datang itu,” ungkap Syafa’at sembari matanya terus memperhatikan gelas-gelas kosong untuk segera diisi lagi.
Sudah jutaan orang dari lintas kalangan yang dahaganya dibasahi oleh air barokah itu. Mulai masyarakat biasa, guru, kiai, tabib, hingga para pejabat dan politikus. Semua orang itu berangkat dari niat yang berbeda-beda dalam memperlakukan air tersebut.
Beberapa politikus meyakini air dari gentong barakoh memiliki kekuatan agar mereka mulus dalam menapaki jenjang karir politik. Beberapa tabib menggunakan air barokah untuk mengobati penyakit yang diderita pasiennya. Dan, seakan ingin ada campur tangan mistis dalam dunianya, beberapa anak muda memercayai air barokah untuk melenggangkan hubungan dengan pacar.
”Sebelum nikah pun datang, mungkin biar aura wajahnya kelihatan bersinar sebagai calon pengantin baru,” kata Syafa’at, lantas tersenyum.
Sama halnya dengan Prayitno, Syafa’at tidak ingin terlibat dalam diskusi apakah air itu memiliki khasiat khusus atau tidak. Biarkan setiap orang yang telah menikmati menemukan kesimpulannya sendiri-sendiri. Yang jelas, dia hanya melihat bahwa setiap orang yang dilayaninya punya niat berbeda-beda saat meminum air itu. Dengan kata lain, peziarah menentukan niat, selanjutnya menikmati setiap tetes airnya. (*/Jawa Pos/JPG)