eQuator – Nanga Pinoh-RK. Kebun karet di Kabupaten Melawi masih menerapkan pola perkebunan monokultur. Sebenarnya, karet bisa saja ditumpangsarikan dengan kopi. Tentu saja hal tersebut akan menambah pendapatan petani.
“Karet bisa saja ditumpangsarikan dengan kopi. Sebagaimana halnya tumpang sari antara kelapa dalam dengan kopi,” ujar penyuluh revitalisasi perkebunan karet, Sukoyo, kemarin.
Sifat dari kopi sendiri merupakan tanaman yang perlu naungan. Kanopi pohon tidak terlalu tinggi. Sementara karet merupakan pohon yang memerlukan pencahayaan penuh yang badang pun tinggi. Hingga tumpangsari kopi dengan karet sangat padu.
Lantas, dijelaskan Sukoyo, dalam tumpangsari, karet ditanam dengan jarak yang lebar dan luas. Tanpa tumpangsari, karet ditanam 3 meter x 7 meter. Dengan tumpamg sari paling tidak 3 meter x 8 atau 10 meter. Jarak seperti ini akan membuat populasi karet agak sedikit. Namun, tidak akan mengurangi jumlah produksi karet. Hanya saja perlu penggunaan pupuk secara optimal. Bahkan, bisa membuat produksi karet menjadi tinggi.
Keuntungan bagi petani akan ada tambahan penghasilan dari kopi. Saat ini harga biji kopi kering berkisar Rp40 ribu per kilogram. Bila ditumpangsarikan, satu hektar sekitar 200 populasi kopi. Satu kali panen bisa sekitar 100 kilogram. Dalam satu tahun, bisa 4 kali panen. Hingga dalam satu tahun bisa penambahan penghasilan yang cukup lumayan.
“Setelah panen karet, warga tidak ada aktivitas yang produktif. Kalau ada kopi, petani akan bisa lebih produktif lagi. Akan ada penambahan penghasilan yang cukup lumayan bagi warga,” ujarnya.
Memang setelah menoreh, kebanyakan warga tidak ada aktivitas lain. Biasanya pukul 07.00 pagi sudah selesai. Kalau ada kopi, warga bisa merawat dan panen kopi yang dimiliki. Kalau harga karet anjlok maka kopi bisa menjadi penghasilan utama bagi warga.
“Saat ini kopi dan karet mahal. Kalau karet murah, kopi mahal maka pemasukan warga masih ada. Begitu sebaliknya, kopi mahal dan karet murah maka petani pun masih ada penghasilan,” paparnya. (aji)