Kapok Cari Makan di Negeri Orang

CERITA TKI DI MALAYSIA (BAGIAN 2)

CERITA CARA KABUR. Istiwaul dan Ningsih, dua TKI asal Kabupaten Tenggang dan Kota Cirebon ini mengisahkan proses kaburnya mereka dari negeri jiran di Unit Latihan Kerja Industri (ULKI) Sanggau, Selasa (8/12). OCSYA ADE CP

SELAMA menjadi budak di Kuching, Malaysia, Istiwaul dan 15 TKI lainnya selalu mencari kesempatan untuk bisa bebas dari rumah derita itu. Meski mereka rasa mustahil, penjagaan Sang Majikan atau disebut “Agen yang menampungnya begitu ketat.

Ocsya Ade CP, Entikong

eQuator – Jangankan untuk meminta bantuan dari keluarga di Indonesia, alamat tempat penampungan itupun tak mereka ketahui.

“Handphone kami disita Agen. Begitu juga paspor dan kartu pengenal lainnya,” cerita ibu kantin salah satu SD di Semarang yang nekat jadi TKI itu, saat tiba di Unit Latihan Kerja Industri (ULKI) Sanggau, Selasa (8/12).

Isti, biasa Istiwaul dipanggil, hanya “kerja rodi” dua bulan lebih. Tak berselang lama dari waktu kedatangannya di rumah derita itu, ternyata sejumlah TKI yang ditampung Sang Majikan berhasil kabur. “Kami ada 16 orang di rumah itu. Tujuh sudah kabur duluan,” tuturnya.

Tentu saja, Sang Majikan berang bukan buatan. Penjagaan pun semakin ketat. Centeng Sang Majikan ditambah jumlahnya.

Kaburnya tujuh TKI itu membuat mereka yang tersisa di sana bertambah berat bebannya. Sepulangnya bersih-bersih gedung perbelanjaan sebagai cleaning service, sembilan TKI lainnya masih didera dengan tugas membersihkan rumah penampungan itu. “Keringat kami benar-benar diperas,” ujar Isti.

Hidup di sana semakin berat, TKI yang tersisa harus menelan liur setiap hari. Sang Majikan menyantap beraneka ragam makanan, sementara Isti dan kawan-kawan hanya makan sekali sehari. Itupun ala kadarnya.

“Kami tidak pernah lihat uang, tak pernah digaji,” beber perempuan yang tergiur jadi TKI karena diiming-imingi RM 800 per bulan itu.

Rindu keluarga jelas dirasakan Isti. Selulernya yang disita membuat kontak dengan suami dan dua anaknya terputus. “Tidak tahu lagi apa yang keluarga rasakan. Saya ibarat hilang, seperti barang, begitu saja,” ucapnya.

Namun, akhirnya kesempatan Isti, untuk mengikuti jejak mereka yang kabur, terbuka juga. Pekan lalu, Isti dan seorang TKI lainnya, Nengsih, mencuri waktu saat Orang-orang negeri jiran tengah sibuk-sibuknya.

Saat itu, sekitar pukul 17.00 waktu Malaysia, penjagaan di lantai empat gedung perbelanjaan tengah landai. Tanpa memikirkan barang-barang yang masih ada di rumah penampungan, Isti dan Nengsih kabur. Mereka masih mengenakan pakaian cleaning service. “Kami lari terus tanpa tahu kemana arahnya,” terang dia.

Tak punya gambaran seperti apa Kota Kuching, dalam pelarian tersebut, Isti dan rekannya yang baru berusia 25 tahun itupun sampai di sebuah bengkel yang jaraknya cukup jauh dari tempatnya bekerja. “Kami takut dan bersembunyi di bengkel itu, milik orang Melayu di sana,” ungkapnya.

Mungkin itu memang suratan-Nya. Bersyukur Isti dan Nengsih masih bisa bertemu dengan orang baik. Si Pemilik Bengkel bahkan memberi uang RM 30 kepada mereka. Juga mencarikan taksi untuk mengantar keduanya. “Taksi itu mengantarkan kami ke Konsulat (KJRI, red). Alhamdulillah, kami selamat. Kami langsung diurus sama Bapak Konsulat,” jelas dia.

Alhasil, untuk sementara waktu, Isti dan Nengsih yang berasal dari Cirebon ditampung di shelter KJRI. Menunggu jadwal pemulangan ke tanah air bersama ratusan TKI lainnya.

Dan, Selasa (8/12) itu, sebanyak 287 TKI dipulangkan melalui PPLB Entikong, Sanggau. Mereka tak hanya TKI yang mencari pertolongan setelah kabur dari rumah majikan, sebagian besar adalah TKI yang sempat ditahan Pemerintah Malaysia karena melanggar aturan keimigrasian.

“Kapok saya. Saya mau jualan saja, biar pas-pasan, asal bahagia kumpul keluarga,” tukas Isti.

Sesampainya di kampung nanti, Isti bertekad mencari dan menuntut Si Sponsor yang menipunya. “Saya laporkan Polisi, biar dihajar. Bila perlu saya gorok saja sponsor itu,” geramnya.

Kisah ini, ingin dijadikannya sebagai pembelajaran bagi calon-calon TKI yang ingin mengadu nasib ke negeri orang. Ia pun berharap pemerintah menyediakan banyak lapangan pekerjaan agar tak lagi ada korban seperti dirinya.

“Teman saya masih ada tujuh orang di rumah majikan itu. Mereka juga tengah menunggu kesempatan untuk kabur,” tutup Isti. (*/bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.