Kapal Asing Ilegal Tenggelamkan

Indonesia Tak Gentar dengan Gertakan Vietnam

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. .Net

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan perang melawan penangkapan ikan illegal. Tidak gentar mendapat desakan dari negara manapun. Menurut dia, tindakan tersebut untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Insiden intimidasi terhadap kapal perang Indonesia oleh dua kapal pengawas perikanan Vietnam di Perairan Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu lalu (27/4) membuat Susi geram. Saat itu KRI Tjiptadi 381 ditabrak ketika menghentikan kapal  Vietnam BD 979 yang tengah menangkap ikan tanpa izin. Tak hanya itu, Kapal pengawas Vietnam itu membuntuti KRI Tjiptadi 381 untuk memberikan tekanan.

Sejak saat itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan menegaskan, semakin giat menenggelamkan kapal ikan asing illegal. Plt Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Agus Suherman mengatakan, pihaknya akan rencananya menenggelamkan 51 kapal pada 4 Mei mendatang. 38 kapal di antaranya berbendera Vietnam. ”Selain itu, ada 6 kapal Malaysia, 2 kapal Tiongkok, 1 kapal Filipina, dan 4 kapal milik asing berbendera Indonesia,” ucap Agus.

Biasanya oknum-oknum perusahaan asing menggunakan kapal laut lokal untuk menangkap ikan di laut Indonesia. Setelah itu, hasil tangkapan tersebut dibawa ke laut lepas untuk dipindahkan ke kapal asing.

Menurut dia, kapal asing yang tertangkap pasti ditenggelamkan. Kalau dilelang malah merugikan Indonesia. Sebab, berpotensi kapal-kapal itu nantinya malah digunakan kembali untuk kejahatan serupa.

Lebih detil, kembali Susi menjelaskan, kapal yang dilelang dengan harga sekitar Rp 100 -500 juta. Sementara, keuntungan perusahaan asing yang mngeruk kekayaan laut Indonesia mencapai Rp 2 miliar sekali melaut. ”Makanya kami banyak menemukan kapal residivis,” ujar menteri 54 tahun itu.

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hasil lelang masih terlalu kecil dibandingkan keuntungan perusahaan perikanan asing nakal. Tidak sepadan dengan kerugian ekonomi dan risiko keselamatan petugas patrol di lapangan. “Makanya saya tidak pernah setuju dengan kebijakan lelang untuk kapal ikan asing ilegal. Itu akan mengurangi ketegasan dan tekad kuat Indonesia di mata para pelaku illegal fishing,” kesal Susi.

Menenggelamkan kapal merupakan sikap tegas pemerintah agar memberikan efek jera. Selain itu, meningkatkan intensitas dan menambah kekuatan patroli di laut. Susi menegaskan, tidak ada tawar menawar dalam penegakkan hukum. Menjaga integritas aparat sangat penting. ”Tidak bisa kebijakan hari ini begini dan besok berbeda. Celah itu akan dimanfaatkan oleh para kriminal ini,” imbuhnya.

Dalam waktu setahun akhir, agresivitas intrusi kapal ikan asing khususnya di wilayah perairan Natuna meningkat. Tahun 2019 sudah empat kali kapal patroli maupun kapal perang tanah air diintimidasi kapal asing. Masing-masing dua kali oleh Malaysia dan Vietnam.

Sabtu lalu (27/4), KRI Tjiptadi 381 ditabrak ketika menghentikan kapal  Vietnam BD 979 yang tengah menangkap ikan tanpa izin. ”Itu wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita. Apa yang dilakukan TNI AL sudah benar,” tegas Susi. Mengingat, Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pasal 57 bahwa klaim ZEE 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.

Nah, Vietnam berasumsi bahwa perairan itu dalam garis batas kontinen mereka. Dasarnya mereka adalah perjanjian landas kontinen Indonesia-Vietnam tahun 2003. Padahal, belum ada kesepakatan dari perjanjian itu sampai sekarang.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pasal 74 ayat 1 menyatakan, mengatur penetapan batas ZEE antarnegara pantai harus berdasarkan persetujuan atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil. Selama persetujuan belum tercapai, ayat 3 menyebut, mewajibkan negara yang bersangkutan untuk bekerja sama. Serta, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. ”Ya berarti seharusnya tidak ada kegiatan perikanan di wilayah tersebut sampai dengan tercapainya kesepakatan dua pemerintahan. Begitu juga perbatasan ZEE seharusnya tidak disamakan dengan perbatasan landas kontinen,” ucap perempuan yang juga menjabat Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti Marine Product tersebut.

Praktis, tugas TNI AL menangkap kapal ikan di perairan Natuna secara prosedur sudah benar. Sekaligus menunjukkan Vietnam tidak menghormati kedaulatan maritim Indonesia. Vietnam juga dinilai tidak kooperatif dan menjunjung tinggi perjanjian yang berlaku.

Negara dengan ibu kota Hanoi itu juga baru saja terlepas dari kartu kuning oleh Uni Eropa lantaran penangkapan ikan ilegal. Susi sangat menyayangkan hukuman itu sudah lepas. Padahal, kapal-kapal Vietnam masih terus melakukan pelanggaran penangkapan ikan illegal.

Kini, 14 anak buah kapal BD 979 Vitenam yang berstatus non-yustisia akan dipulangkan. ”Sedangkan nahkoda dan teknisi masih menunggu putusan pengadilan. Seringkali korporasi tidak mau menebus ABK yang ditahan. Harusnya kapal-kapal besar dikejar sampai korporasinya,” tambah Agus.

Kasus pelanggaran teritori menjadi perhatian.  Agus mengungkapkan, perairan Laut Sulawesi Utara dan Laut Natuna Utara merupakan daerah paling sering terjadi pelanggaran. ”Di Laut Sulawesi Utara rawan masuknya kapal illegal dari Filipina. Sedangkan, perairan Natuna Utara banyak yang dari Vietnam dan Malaysia,” jelas Agus.

Penangkapan kapal ikan ilegal dilakukan melalui patroli yang terintegrasi. Baik melalui operasi udara (airborne surveillance) maupun informasi dari masyarakat melalui SMS Gateway. Cara tersebut nyatanya cukup ampuh memberantas praktik illegal fishing. ”Ada 19 hari operasi. Yang pertama di Pangkalan Operasi Natuna, Banjarmasin, Manado, dan Batam, meliputi Wilayah Penangakpan Perikanan (WPP) 711, 712, 713, dan 716. Hasilnya, ada 9 kapal yang ditangkap, ada penyitaan 12 alat tangkap terlarang, dan 9 rumpon yang kami potong di wilayah tersebut tahun ini,” urai Agus.

Penanganan kasus Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan (TPKP) sepanjang tahun 2014 hingga April 2019 telah mencapai 915 kasus. Khusus tahun ini, terpantau 33 kasus yang sudah berjalan. Tiga kasus masih incracht, dua kasus sudah P21, ada 11 kasus yang masih dalam penyidikan, dan sisanya dalam tahap pemeriksaan awal serta administrasi.

Dirjen PSDKP terus mengawasi pelanggaran melalui VMS (visual monitoring system). Sistem tersebut juga membantu mengawasi operasi kapal tanpa SIPI (surat izin penangkapan ikan), transshipment, dan pelanggaran di pelabuhan muat.

Namun, pemerintah Vietnam punya versi lain. Sebagaimana dilansir vnexpress.net, Le Thi Thu Hang, juru bicara menteri luar negeri Vietnam, Selasa lalu menyatakan bahwa insiden penabrakan itu terjadi di wilayah perairan Vietnam. Dia mengungkapkan, KRI-lah yang membuat kapal ikan Vietnam bernomor BD 97916TS tenggelam. ’’Kapal Indonesia nomor 381 menangkap dan menarik kapal Vietnam dengan kecepatan tinggi hingga menyebabkan kapal Vietnam tenggelam,’’ katanya.

Dalam media online papan atas di Vietnam itu, Hang menyatakan, insiden tersebut kemudian diketahui kapal pengawas perikanan Vietnam nomor 213 yang saat itu bertugas. Dua awak kapal yang tenggelam berhasil diselamatkan mereka. Kapal tersebut kemudian meminta KRI meninggalkan perairan Vietnam. ’’Tapi, ada 12 nelayan Vietnam yang dibawa ke perairan Indonesia,’’ katanya.

Pemerintah Vietnam telah mengirim nota diplomatik ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Hanoi. Isinya, meminta verifikasi dan investigasi atas insiden tersebut. Vietnam juga meminta Indonesia tidak membiarkan insiden serupa terjadi di kemudian hari. Mereka juga mendesak Indonesia segera membebaskan awak kapal yang ditahan.

Selain itu, Indonesia diminta memberikan kompensasi yang layak kepada para nelayan itu. Kedubes Vietnam di Indonesia juga diinstruksi untuk meminta informasi serta mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melindungi warga Vietnam. (Jawapos/JPG)