eQuator.co.id – Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, dulu pernah berjaya berkat kekayaan alamnya. Mulai dari sektor kayu sampai ekosistem air payau di sana. Pelabuhan Teluk Air di kecamatan itu sempat terkenal, tempat bersandar kapal mancanegara. Sekarang?
Ocsya Ade CP, Batu Ampar
Sejak belasan tahun silam, semua segi kehidupan di Batu Ampar merosot tajam. Mulai dari ekonomi masyarakat sampai pembangunan desa. Jalan di tempat. Hal ini seiring eksploitasi hutan oleh mereka yang disebut investor.
Warga setempat yang tadinya mereguk kenikmatan hasil laut, kini tak bisa lagi menikmati. Ekosistem air payau di Batu Ampar mulai raib akibat pembabatan hutan mangrove secara brutal. Investor menggenjot hasil hutan mangrove dengan mengandalkan perizinan dari pemerintah pusat.
Desa Batu Ampar terdiri dari tujuh dusun. Diantaranya Sungai Limau, Batu Ampar Tengah, Teluk Mastura, Kemuning, Teluk Air, Cabang Ruan, dan Batu Ampar Simpang. Desa ini memiliki hutan seluas 40 hektar lebih. Sekitar 70 persen darinya adalah mangrove. Tak ada pilihan lain, masyarakat Batu Ampar pun memilih jalan hidup sebagai pelaku penebang hutan mangrove yang kemudian diolah menjadi arang.
“Ini masalah perut. Kami tidak ada kerjaan lain, kecuali ada pengalihan pekerjaan kami,” seru warga dalam pertemuan di Kantor Desa Batu Ampar bersama anggota Lembaga Perlindungan Hutan Desa (LPHD) dan JARI Borneo Barat, Jumat (3/6).
Malam itu, Kepala Desa Batu Ampar, Junaedi Abdullah juga hadir dalam pertemuan. Ia mengatakan, masyarakatnya sudah turun termurun memanfaatkan hutan desa tersebut. Meski ditebang secara manual, masyarakat tetap menjaga kearifan lokal.
“Ada aturannya dalam pengambilan pohon mangrove untuk dijadikan arang itu. Sehingga menurut saya, sangat kecil sekali dampaknya,” tuturnya.
Justru, ia melanjutkan, eksploitasi hutan dari investor yang lebih mengerikan. Sebab, dikatakannya, pihak investor menggunakan alat berat. Dampaknya berskala besar bagi hutan. Bahkan, bagian kecil dari pohon mangrove pun ‘disikat’ habis.
“Kadang, celah investor itu sudah mempunyai izin langsung dari kementerian. Kami ingin untuk saat ini kalau bisa izin itu dari bawah, dengan melibatkan masyarakat setempat. Selama ini, kita tidak tahu, tiba-tiba ada investor sudah memilik i izin,” kesal Junaedi.
Penebangan mangrove yang dilakukan masyarakat, menurutnya, semata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang warga menjadi kambing hitam. Untuk itu, melalui program perhutanan sosial dari pemerintah pusat, aparatur Desa Batu Ampar mengajukan kawasan hutan desa seluas 30 hektar lebih sejak 2013 lalu.
Tujuannya hanya untuk melindungi hutan dengan adanya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa diberi mandat mengatur wilayahnya sendiri. “Kami membentuk hutan desa ini karena kami tak ingin secara tiba-tiba ada izin dari pusat ada kawasan perusahaan. Intinya, kami ingin memproteksi hutan dari investor-investor. Usulan sudah disampaikan dan sudah diverifikaksi. Tinggal menunggu SK penetapan areal kerja oleh kementerian,” tegasnya.
Pengajuan hutan desa ini juga didukung penuh masyarakat melalui LPHD. Separoh darinya adalah aparatur desa.
“Masyarakat mulai tampak sadar akan pentingnya hutan. Kami terus melakukan sosialisasi, meskipun tak semudah membalikan telapak tangan,” ungkap Junaedi.
Kini, dipaparkannya, masyarakat yang tergabung dalam LPHD akan terus melakukan pengawasan lebih ketat terhadap investor dalam memberikan izin serta pemberian solusi terhadap warga setempat memanfaatkan hasil hutan desa nonkayu.
“Selalu kami tekankan kepada pemerintah untuk tidak menyetop masyarakat yang menebang mangrove untuk produksi arang. Sebelum ada solusi pengganti pekerjaannya itu. Sekali lagi, ini urusan perut. Jika dihalangi mereka tidak bisa makan,” tekannya.
Sebenarnya, selain memanfaatkan mangrove untuk arang, berbagai metode pemanfaatan hutan nonkayu disosialisasikan pemerintah desa. Seperti pembudidayaan madu hutan, mengolah buah bakau menjadi tepung, buah nyirih menjadi bedak, buah nipah menjadi dodol dan sirup, kerupuk udang dan kepiting, dan lain-lain.
“Semua ini dalam tahap uji coba dan sebagian sudah berjalan,” tukas Junaedi.
Jika segala upaya yang dilakukan itu berhasil, dia yakin hutan desa lestari. Dengan catatan, ya itu tadi, tanpa eksploitasi. Junaedi mengingatkan, kalau hutan lestari, ekosistem di sekitarnya juga terjaga dan akan meningkatkan potensi yang ada.
“Otomatis penghasilan masyarakat juga bisa bertambah dan Batu Ampar kembali jaya seperti dulu. Dorongan ini yang kita butuhkan dari masyarakat dan pemerintah. Asas permanfaatan bersama dan perlindungan. Itu yang diutamakan. Demi cucu-cucu kita nantinya,” pungkasnya.
Pemanfaatan hutan desa di Batu Ampar ini menjadi target jurnalis trip JARI Borneo Barat setelah sebelumnya menggarap permasalahan rehabilitasi pascakebakaran hutan di teluk Empening, Terentang, Kubu Raya. Koordinator lapangan JARI Borneo Barat, Khairul Sani menyatakan pihaknya akan mendorong pemerintah terkait kebijakan dan komitmen mereka terhadap hutan desa yang ada, umumnya di Kalbar dan khususnya di Batu Ampar.
“Kawan-kawan wartawan akan memberitakan yang terjadi di sini. Sementara JARI sendiri mengkaji advokasi dan alokasi anggaran pemerintah terkait komitmen pengembangan maupun pelayanan hutan desa,” tuturnya.
Kehadiran tim jurnalis trip sendiri disambut antusias masyarakat beragam etnis dan budaya yang hidup berdampingan di desa itu. Mereka menyampaikan semua permasalahan terikat eksploitasi hutan oleh pihak luar yang selama ini terjadi.
Sabtu (4/6) pagi, menggunakan dua sampan robin, tim jurnalis trip bersama tokoh masyarakat Desa Batu Ampar meninjau lokasi hutan mangrove yang diajukan menjadi hutan desa. Udara pagi yang masih bersih menyemangati perjalanan mengelilingi belantara itu.
Sebelum sampai ke lokasi tujuan, pemandangan bukit yang asri menemani perjalanan. Sayangnya, ketika tiba di hutan mangrove tersebut tak banyak keindahan pohon bakau yang kokoh dapat dinikmati. Kebanyakan rusak, sisa ditebang.
Kepala Dusun Teluk Air, Mokhtar mengatakan, di daerahnya terdapat 300 hektar yang masuk dalam program penanaman ulang hutan yang rusak. Kawasan itu merupakan kawasan gambut. Penyebabnya bervariasi. Mulai dari pemanfaatannya, serta kebakaran hutan dan lahan yang memang menjadi langganan setiap tahunnya.
“Dorongan dari pemerintah daerah maupun pusat sangat diperlukan. Karena langkah kita untuk masalah hutan ini sudah sangat serius,” tuturnya.
Menurut dia, perlu ada penyeimbang dalam memperbaiki hutan. Selain kebersamaan, butuh dorongan dana dari pemerintah. Setidaknya memulai perbaikan hutan serta mengalihkan profesi masyarakat agar memanfaatkan hutan dengan kreatif.
“Kesadaran masyarakat untuk perlindungan hutan sosial atau hutan desa ini sudah terbangun. Namun, keterpaksaan pemenuhan hidup, menuntut mereka harus bekerja sebagai penebang sebelum ada opsi beralih ke pekerjaan lain,” papar Mokhtar.
Ditambahkan Kepala Dusun Batu Ampar Simpang, Mohrudin. Kata dia, kondisi hutan desa yang telah diajukan kini semakin memprihatinkan. Terutama karena setiap harinya dibabat untuk dijadikan arang oleh penduduk setempat. Tapi, kerusakan terparah ditimbulkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tersebut.
“Itu tadi, ini semua soal perut. Kalau saja ada pengalihan pekerjaan untuk masyarakat, mereka tentunya tak mau kerja menebang mangrove,” terangnya.
Mohrudin menjelaskan, kerja sebagai penebang mangrove beresiko besar. Beberapa dari pekerja ada yang meninggal dunia akibat tertimpa dan tertusuk potongan mangrove. Soal luka ringan hingga cacat, sudah tak terhitung lagi.
“Ini menjadi PR kita bersama bagaimana memulihkan hutan ini. Kelestarian hutan mengrove inikan membuat ekosistem semakin baik, menjadi salah satu ekowisata. Dampaknya tentu terhadap masyarakat dan kemajuan daerah kedepannya,” ungkap dia. (*/bersambung)