IPW: Bukan Sekadar Retorika, Apalagi pencitraan

Debat Perdana Capres-Cawapres Belum Mencerdaskan

NOBAR. Nonton bareng debat kandidat capres-cawapres di Cafe Ballena, Sambas, Kamis (17/1). Sairi-RK

eQuator.co.id – SAMBAS-RK. KPU telah melaksanakan debat perdana pasangan calon Presiden dan Wakil presiden, Kamis (17/1) malam. Jalannya debat kemarin mendapatkan banyak kritikan.

Koordinator Wilayah (Korwil) Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Demokrasi, Singkawang, Bengkayang, dan Sambas, Rizki Imanuddin mengatakan, jalanan debat harusnya lebih banyak tentang ide dan gagasan untuk membangun bangsa. Sementara yang ia saksikan justru lebih banyak saling sindir-menyindir. “Jauh dari yang pihaknya harapkan. “Kita berharap debat lebih kepada saling argumen tentang ide dan gagasan untuk membangun Indonesia,” jelasnya, Jumat (18/1).

Menurutnya, debat mempunyai peranan besar dalam penentuan kepemilihan. Seharusnya dapat lebih meningkatkan wawasan masyarakat mengenai para calon pemimpin. “Maka dengan itu, ada pencerdasan kepada masyarakat, sehingga rakyat akan tahu siapa yang akan mereka pilih,” tutur Rizki.

Senada disampaikan salah seorang warga, Dede Aswad. Dia

menilai, debat tidak menyentuh subtansi dari permasalahan yang ada. “Ada beberapa sub tema debat yang masing-masing Paslon tidak menyentuh,” ungkapnya.

Meski demikian, mahasiswa semester akhir ini mengakui di beberapa sub tema debat juga sudah ada yang mengena.

Seperti penanganan terorisme yang tidak bisa hanya dengan hukuman preventif. “Namun kebanyakan belum menyetuh tema debat,” pungkas Dede.

Terpisah, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (ICW) Neta S Pane mengatakan, debat pertama di Pilpres 2019 sangat normatif. Tidak menyentuh hal-hal esensial dalam bidang pembenahan hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.

“Dari debat terlihat, baik Jokowi sebagai petahana maupun Prabowo sebagai penantang tidak punya konsep yang jelas, terutama dalam penegakan supremasi hukum,” terang Neta berdasar rilisnya yang diterima Rakyat Kalbar.

Menurutnya, persoalan utama dalam penegakan supremasi hukum di negeri ini ada empat. Pertama, buruknya moralitas aparatur akibat tidak jelasnya reward and punishment. “Sehingga sikap konsistensi aparatur lenyap, sikap diskriminasi berkembang pesat,” tuturnya.

Tolok ukur aparatur hukum selalu uang. Akibatnya mafia hukum tidak terkendali. Diperparah dengan lembaga pengawas yang tidak berfungsi. “Hukuman bagi aparatur yang brengsek tidak maksimal . Yang terjadi justru saling melindungi,” sebutnya.

Artinya kata dia, perlu keberanian dari rezim berkuasa. Untuk memberikan sanksi berat bagi aparatur penegak hukum yang mempermainkan penegakan supremasi hukum. “Di antaranya menjatuhkan hukuman mati bagi aparatur yang mempermainkan hukum,” lugasnya.

Kedua, gaji dan tunjangan harus menjadi perhatian serius pemerintah berkuasa. Sehingga kesejahteraan aparatur negara, khususnya aparatur penegak hukum terjaga. Ketiga, fasilitas dan dana operasional aparatur sesuai dengan tuntutan kerja. “Agar aparatur penegak hukum tidak menegakkan hukum dengan melakukan pelanggaran hukum,” jelasnya.

Sedangkan terakhir, rezim yang berkuasa harus mendorong agar aparatur penegak hukum mampu membangun budaya kesadaran hukum di lingkungan kerjanya maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa. Keempat hal itu perlu dilakukan simultan dan terukur agar membuahkan hasil maksimal. “Membangun penegakan supremasi hukum tidak bisa hanya dengan retorika,” lugasnya.

Apalagi kata dia, dengan retorika yang tidak jelas, tidak fokus, dan tidak terarah. Seperti yang ditampilkan Jokowi dan Prabowo pada debat pertama.

“Penegakan supremasi hukum memang harus bertahap, tapi harus ada progres yang terarah menuju perbaikan dan bukan sekadar retorika, apalagi pencitraan,” paparnya.

IPW berharap dalam debat selanjutnya, Jokowi dan Prabowo berani mengatakan “saya minta KPU mencatat janji janji saya, jika saya terpilih sebagai presiden dan saya tidak menepati janji-janji kampanye dan janji di debat ini, KPU bisa menggugat saya atau melakukan mosi tak percaya pada saya”. Dengan begitu debat dan kampanye paslon tidak sekadar menembak awan. Tapi ada tanggung jawab moral yang terukur bagi calon terpilih untuk mewujudkan janji-janjinya. “Dan KPU sebagai penyelenggara Pilpres ada tanggung jawab moral pada Pilpres yang diselenggarakannya,” ucapnya.

Jika pun capres terpilih tidak mewujudkan janji kampanyenya, ada penjelasan mengenai kendalanya. Sehingga rakyat yang sudah mencatat janji kampanye capres tersebut tidak merasa dibohongi. Terutama dalam hal penegakan hukum dimana Polri adalah garda terdepannya, para capres harus paham bahwa penegakan hukum adalah payung sebuah bangsa. “Agar keteraturan sosial dan rasa keadilan publik terpelihara,” tutup Neta.

 

Laporan: Sairi, Andi Ridwansyah

Editor: Arman Hairiadi