-ads-
Home Terobosan Inspirasi dari Baduy

Inspirasi dari Baduy

Oleh: Joko Intarto

HUNIAN SEMENTARA. Huntara yang dibangun MDMC dan Lazismu di lokasi bencana NTB. MDMC for Rakyat Kalbar
HUNIAN SEMENTARA. Huntara yang dibangun MDMC dan Lazismu di lokasi bencana NTB. MDMC for Rakyat Kalbar

eQuator.co.id Ribuan pengungsi korban gempa di NTB itu masih butuh waktu lama untuk bisa tinggal di rumahnya lagi. Harus menunggu sampai selesai direnovasi. Dengan swadaya maupun paket bantuan pemerintah dan donatur. Mungkin perlu berbulan-bulan lagi.

Muhammadiyah Dissaster Management Center (MDMC) Bersama Lazismu telah menginisiasi pembengunan 26 hunian sementara atau huntara di lokasi bencana. Setelah ini, akan dibangun sekitar 50 unit huntara lagi.

Huntara tersebut dibangun sebagai model. Yang bisa ditiru siapa saja. Dibangun dengan material murah dan ringan namun cukup kuat. Rangkanya dari kayu. Dindingnya berbahan gypsum dan atapnya plastik gelombang.

-ads-

Bangunan berdimensi panjang 6 meter, lebar 4 meter dan tinggi 2,5 meter itu berbiaya Rp 4.225.000 per unit. Perlu waktu 3 hari untuk menyelesaikan satu unit huntara. Tapi bisa lebih cepat bila dilakukan dengan sistem pabrikasi menggunakan teknik precast. Semua sudah disiapkan. Di lokasi tinggal pasang. Mirip membuat bangunan dengan lego.

Huntara sebenarnya bisa dibangun menggunakan bahan kayu dan bambu yang banyak ditemukan di NTB. Arsitekturnya bisa mengadopsi rumah asli suku Baduy di pedalaman Banten.
Suku Baduy memiliki kearifan lokal dalam bidang arsitektur dengan bangunan berbahan kayu dan bambu yang ringan dan lentur sehingga tahan gempa. Kehebatan suku Baduy dalam membangun rumah kayu sudah sangat terkenal.

Dulu, rumah penduduk di pedesaan di Indonesia mayoritas berbahan kayu. Seiring dengan perkembangan zaman, bangunan kayu dan bambu berganti wujud. Menjadi rumah-rumah tembok. Atapnya pun berganti menjadi genteng.
Dari sisi kekuatan bangunan, rumah tembok jauh lebih baik. Tapi dari kelenturan bangunan, rumah kayu lebih unggul. Inilah yang membuat rumah kayu lebih aman. Khususnya terhadap guncangan gempa.
Untuk menjajaki kemungkinan implementasi gagasan membangun huntara berbahan kayu dan bambu, saya menghubungi Mas Bahrun. Arsitek di Bintaro, yang spesialisasinya pada green building.

Dari pria murah senyum itu, saya dikenalkan Mas Pon Purajatnika, arsitek yang mendalami konstruksi bambu. Mas Pon yang juga ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat itu kebetulan sedang berada di Sembalun, yang menjadi salah satu kawasan terdampak gempa dengan kerusakan sangat parah.

Mungkin jaringan telekomunikasi di Sembalun belum normal. Saya masih belum bisa berkomunikasi dengan Mas Pon. Tapi Mas Bahrun mengirimi saya sebuah panduan yang disusun Mas Pon, tentang bagaimana cara membangun rumah tahan gempa berbahan bambu.

Buku panduan itu sangat menarik dan mudah dipelajari karena menggunakan pesan-pesan visual. Panduan yang hanya beberapa lembar itu berisi ilmu yang penting. Untuk semua pemangku kepentingan dalam pertolongan korban bencana alam berskala luas. Terutama di Kawasan ‘’ring of fire’’. (jto)

Exit mobile version