eQuator.co.id – Tiga kali main, sekali imbang, dan dua laga lainnya mampu dimenangi oleh timnas Inggris. Begitulah rapor impresif Gareth Southgate ketika melahap tiga laga yang jadi bahan ujiannya sebagai karteker di The Three Lions – julukan timnas Inggris. Sebab itu, inilah saatnya berharap hadiah terindah dalam karirnya.
Hadiah apa itu? Hadiah dipermanenkan kontraknya sebagai pelatih timnas Inggris. Apalagi, Sabtu dini hari kemarin WIB (12/11) Southgate mampu memenangi laga paling penuh gengsi melawan tetangganya, Skotlandia. Ya, Inggris melumat Skotlandia tiga gol tanpa balas di Wembley, London.
Catat, ini adalah kemenangan terbesar Inggris dalam rivalitas 144 tahunnya kontra Skotlandia sejak Mei 1975. Ketika itu, Inggris mengalahkan Skotlandia 5-1. Uniknya, di laga ini ketiga gol semuanya tercipta dari sundulan. Mulai dari heading Daniel Sturridge (menit ke-24), Adam Lallana (54), dan Gary Cahill tujuh menit kemudian.
Sebenarnya, ada empat laga ujian bagi Southgate. Bedanya, ujian terakhir bertensi lebih rendah karena hanya laga uji coba kontra Spanyol, Rabu nanti WIB (16/11). Media di Inggris sudah banyak yang menyebut setelah kemenangan kemarin itulah saatnya bagi Southgate berharap mimpinya jadi kenyataan.
Hingga tadi malam WIB, belum ada rilis resmi dari FA terkait masa depan mantan pelatih Middlesbrough itu. ”Saya senang melatih timnas Inggris. Yang ada di benak saya kami menang malam ini, dan itu yang paling penting. Soal itu (masa depannya) FA yang akan membuat keputusan. Saat ini saya hanya ingin menikmati kemenangan malam ini,” ujar pelatih 46 tahun itu dalam situs resmi FA.
Dibandingkan statistik dua laga Southgate sebelumnya, penampilan kemarin tidak jauh berbeda. Inggris tetap dominan dalam penguasaan bola di atas 60 persen. Lantas, di sisi akurasi passing-nya juga masih terjaga di atas 80 persen. Bedanya, secara efektivitas serangan ini yang terbaik.
Opta mencatat, ini kali pertama dalam dua tahun terakhir Inggris mencatatkan 100 persen efektifivasnya. Menciptakan tiga gol dari tiga shot on target-nya. Tetapi tidak ada yang sempurna pada laga ini. ”Terutama di lini pertahanan,” ungkap Southgate. Michael Cox dalam analisisnya melihat banyak kesalahan dari John Stones dan Cahill.
Keduanya kerap terlalu tinggi naik. Bahkan Eric Dier yang berperan sebagai poros ganda pun harus turun ke belakang. Dengan Dier ke belakang, maka Dier memberi celah bagi dua rekan seklubnya di Tottenham Hotspur Danny Rose dan Kyle Walker berlari ke depan.
Bukan hanya memperkuat serangan dari sisi sayap, kedua pemain ini pun berhasil membuat assist. Dier yang mundur, Jordan Henderson naik. Sehingga ada celah di depan pertahanan Inggris. Untungnya, tidak banyak ancaman yang dilakukan oleh Tartan Army – julukan Skotlandia. Hanya dua kali tembakan dari 12 yang tepat sasaran.
Southgate mengakui dirinya ingin membangun serangan dari lini belakang. ”Tapi, kami masih lemah di sisi itu. Kami seperti membuat persoalan dalam diri kami sendiri. Ini yang semestinya jadi hal yang perlu kami tingkatkan lagi,” sebut Southgate. Dalam laga kemarin, Inggris tetap bermain dengan 4-2-3-1.
Bukan hanya Rose dan Walker, peran Lallana dan Raheem Sterling ikut memberi ketajaman serangan dari sayap Inggris. Diwawancarai ITV, Lallana mengaku permainan dia dan rekan-rekannya tidak semudah dari hasil akhir. Tiga gol itu menurutnya didapat dengan susah payah.
”Terutama di babak pertama, kami mengawali laga dengan buruk. Meski mampu membuat gol,” ungkap pemain Liverpool tersebut. Tercatat, hanya tiga kali ancaman ke gawang Craig Gordon dilakukan Wayne Rooney dkk. ”Dan, di babak kedua kami main lebih nyaman,” lanjutnya.
Ditanya tentang masa depan pelatihnya, Lallana mengaku semua pemain Inggris saat ini berada di belakang Southgate. ”Dia (Southgate) belum lama bersama kami. Tapi dia mampu memberikan stabilitas yang baik bagi tim ini. Sayang, masa depannya tidak di tangan kami,” tegasnya. (ren)