eQuator.co.id – Pontianak-RK. Dekan Fakultas Hukum Untan, DR. Syarif Hasyim Azizurrahman, SH, M. Hum dihadirkan oleh pihak kuasa hukum Frantinus Nirigi dalam lanjutan kasus candaan bom di Pengadilan Negeri Mempawah, Kamis (27/9). Hasyim dihadirkan sebagai saksi ahli hukum pidana.
Dalam kesaksiannya, Hasyim menjelaskan mengenai unsur-unsur tindak pidana. Menurutnya, ada dua unsur yaitu objektif dan subjektif. Objektif lebih menjelaskan kepada norma-norma. “Sementara subjektif lebih kepada sifat hukum,” kata Hasyim di hadapan majelis hakim.
Lanjutnya, suatu kasus harus dilihat mengenai locus delicti dan tempus delicti. Yaitu tempat dan waktu kejadian. Keduanya harus ada keterkaitan. Ditambah dengan alat-alat bukti, yaitu saksi. “Karena kasus ini adalah kasus penyampaian informasi,” ujarnya.
Hasyim mengatakan, untuk membuktikan adanya tindak pidana, maka salah satunya harus ada niat. Untuk mendeteksi niat tersebut, salah satu prosedurnya adalah mengetahui modus operandi pelaku. “Modus operandi ini terdiri dari perbuatan persiapan, perbuatan awal dan perbuatan akhir,” ucapnya.
Menurutnya, kasus Nirigi ini kemungkinan adalah kasus penyampaian informasi palsu. Namun yang Hasyim tangkap, persidangan ini masih membahas penyampaian informasi yang belum dipastikan apakah palsu atau tidak. “Perbuatan hukum yang sekarang dibahas adalah penyampaian informasi palsu melalui lisan,” jelasnya.
Dalam hal ini, perlu adanya keterangan saksi yang benar-benar mengetahui bahwa ada penyampaian informasi palsu tersebut. “Artinya, pihak pramugari selaku yang menyampaikan informasi harus punya saksi yang mendukung. Karena dalam pasal 184 KUHAP, alat bukti yang paling kuat di antara keterangan saksi, keterangan saksi ahli dan keterangan terdakwa. Maka keterangan saksi menduduki peringkat paling pertama. “Jadi saksi di sana harus bisa memperkuat pernyataan dari pramugari,” tukasnya.
Sementara dari pihak terdakwa kata dia, sudah dijelaskan ada dua saksi mengatakan, bahwa tidak ada bom yang diucapkan terdakwa. Saksi pun tidak boleh hanya satu orang, tapi dua. “Karena prinsip keterangan saksi adalah unus testis nullus testis. Satu saksi bukan saksi,” kata Hasyim.
Saat jaksa mempertanyakan kedudukan saksi Citra selaku pramugari senior yang mendapat informasi dari saksi Cindy sebagai saksi de audito (saksi yang mendengarkan), Hasyim menjawab tidak bisa. Cindy seperti di awal, harus bisa memperkuat keterangannya dengan adanya saksi pendukung. Karena kasus ini adalah penyampaian informasi palsu oleh terdakwa. “Sementara itu, kita belum mengetahui apakah terdakwa mengatakan ‘bom’ atau ‘Bu. Bila masih memperdebatkan ini, maka informasi palsu itu belum bisa dibuktikan,” ungkapnya.
Sebelum menutup kesaksiannya, Hasyim sempat mengatakan pernyataannya saat ditanya apakah pernyataan Nirigi yang meminta maaf pada media massa bisa dijadikan sebagai alat bukti. Ia mengatakan bahwa pernyataan Nirigi pada koran tidak bisa dijadikan alat bukti.
“Karena sesuai pasal 184 KUHAP, sudah ditentukan apa saja alat-alat bukti untuk kasus pidana, yang mana koran tidak bisa dijadikan alat bukti penyelidikan. Bahkan keterangan polisi dalam BAP pun tidak bisa digunakan,” terang Hasyim.
Ditemui usai sidang, kuasa hukum Nirigi, Andel, SH, MH mengatakan bahwa saksi ahli tadi untuk mengupas keterangan Nirigi yang mengatakan bahwa di dalam tasnya ada laptop atau bom.
“Menurut keterangan saksi ahli, untuk membuktikan bahwa pramugari mengatakan ada bom di tas Nirigi maka harus ada saksi yang benar-benar melihat dan mendengar Nirigi berkata demikian,” kata Andel kepada Rakyat Kalbar.
Dalam keterangan selama persidangan, lanjut Andel, pernyataan Nirigi yang mengatakan bahwa di tasnya ada tiga laptop telah didukung oleh saksi yang berada di pesawat dan security. Yang mengatakan bahwa di tas Nirigi hanya ada laptop.
“Dengan ini, keterangan pramugari yang mengatakan ada bom di tas terdakwa tidak kuat,” pungkas Andel.
Laporan: Bangun Subekti
Editor: Arman Hairiadi