eQuator.co.id – Anak memang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Sehingga, Maraknya kekerasan seksual terhadap anak mesti menjadi perhatian semua pihak. Terlebih, perbuatan keji tersebut akan membuat masa depan korban suram akibat trauma mendalam.
Setakat ini, pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya orang tak dikenal ataupun orang jauh. Banyak kasus, pelakunya justru orang-orang terdekat. Dan tidak jarang pula terduga pelakunya orang-orang berpendidikan, dari dosen hingga kepala sekolah.
Miris dengan keadaan tersebut, Presiden Joko Widodo memang mengeluarkan Perppu terkait hukuman pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Isinya memberikan kewenangan kepada hakim menghukum tambahan Si Pelaku berupa kebiri. Tujuannya tidak lain agar Republik ini terbebas dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Kabupaten Melawi belakangan kerap dihebohkan terjadinya pencabulan disertai kekerasan terhadap anak di bawah umur. Banyak korbannya yang tidak ingin melanjutkan sekolah karena mengalami trauma.
Kepala Seksi Perlindungan Anak, P3AKBD Melawi, Supridayanti mengungkapkan, rata-rata korban pencabulan yang ia dampingi tidak melanjutkan sekolahnya. Padahal, sebenarnya banyak dari mereka yang duduk di bangku SMP atau SMA. Di tahun 2016 ini, satu orang yang diberikan pendampingan dan baru kali ini berniat melanjutkan sekolah.
“Upaya dari kami, kalau memang bisa bersekolah, kita harapkan ya bisa terus dilanjutkan. Dorongan dari keluarga sangat besar,” ucap Yanti, karib ia disapa, di kantornya, Senin (25/7).
Menurut Yanti, persoalan putus sekolah pada pelajar perempuan karena kasus kehamilan di luar nikah yang disebabkan hubungan bebas juga masih jadi persoalan. “Untuk itu, perlu ada perhatian penuh dari pihak keluarga, apalagi mengingat anak SMP dan SMA 75 persen pergaulannya berada di luar rumah,” tuturnya.
Senada, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Melawi, Joko Wahyono mengatakan, pihaknya mendorong agar korban melanjutkan sekolahnya. “Penanganan hal tersebut (perbuatan asusila) tentu akan kita serahkan pada pihak sekolah, karena sekolah punya aturan yang telah disepakati bersama orangtua. Biasanya, agar korban tak malu karena jadi pembicaraan, sekolah akan meminta yang bersangkutan untuk pindah sekolah atau keluar,” tuturnya.
Kendati demikian, lanjut Joko, pelajar tersebut bisa mendapatkan pendidikan melalui lembaga informal. Mengikuti program paket B atau paket C yang diselenggarakan berbagai PKBM di Melawi.
“Itu masih bisa memberikan kesempatan dan ruang bagi mereka, termasuk korban yang hamil di luar nikah,” ujarnya.
Ia mengatakan, dalam kasus pelajar hamil karena hubungan di luar nikah, sebenarnya di dalam aturan masih diperbolehkan untuk mengikuti pembelajaran di waktu yang tersisa serta ikut ujian nasional. Hanya saja, kebanyakan, pelajar ini biasanya mengundurkan diri dengan sendirinya tanpa memberikan informasi.
Jangankan Melawi, di Ibukota Provinsi Kalbar, pemerintah setempat tidak berani menjamin wilayahnya nihil kekerasan seksual terhadap anak. Cuma ada kata sepakat bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya.
“Harus nol? Ya tidak juga bisa seperti itu. Pelakunya harus ditindak tegas supaya yang punya niat berpikir seribu kali,” ungkap Edi Rusdi Kamtono, Wakil Wali Kota Pontianak usai apel peringatan Hari Anak Nasional (HAN) di halaman Kantor Wali Kota, Senin (25/7) pagi.
Menurut dia, jika tidak ditangani dengan baik, jiwa anak-anak korban kekerasan seksual menjadi terganggu. Tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan kelak berperilaku sama.
“Kemudian ini biasanya menular, waktu anak-anak dia sebagai korban dan saat dewasa dia menjadi pelaku. Umumnya seperti itu, karena itu adalah faktor kejiwaan atas hasil temuan sejauh ini,” ulas Edi.
Ia berharap masyarakat selalu mewaspadai kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga kasus-kasus serupa secara berangsur berkurang, bahkan akhirnya zero (nol).
“Intinya kita harus menghilangkan, karena yang namanya pelecehan itu banyak terjadi dan faktornya pun sangat banyak,” ujarnya.
Mencegah kekerasan seksual anak tak hanya jadi tugas pemerintah. Orangtua lah yang lebih berperan dalam pengawasan anak-anaknya. Keluarga harmonis, kata Edi, juga sangat ampuh menangkal kekerasan seksual terhadap anak.
“Kalau pengawasan dan pantauan kita lemah, itu bisa terjadi. Bahkan dari orang dekatnya sekalipun bisa terjadi,” paparnya. Keharmonisan juga dapat membangun hubungan emosional yang kuat sehingga niat untuk melakukan pelecehan seksual setidaknya bisa diminimalisir. (*)
Gusnadi (Pontianak) dan Dedi Irawan (Nanga Pinoh)