eQuator – Sukadana-RK. Hari guru diperingati tiap 25 November merupakan hari paling bersejarah bagi seorang guru. Merupakan moment penting untuk merefleksi dan mengevaluasi perjalanan panjang yang telah dilakukan selama ia menjadi seorang guru.
Tentunya, banyak catatan hitam dan putih yang mesti dijadikan dasar dalam melangkah setahun kedepan sampai tanggal 25 Nopember tahun berikutnya. Mengenai guru, tentunya ada beberapa fenomena terkait prilaku guru selama ini sebagian guru tidak hadir ke sekolah pada jam efektif, hadir ke sekolah tetapi tidak tepat waktu (terlambat atau pulang sebelum waktunya, Red), hadir ke sekolah namun tidak masuk kelas, masuk kelas tetapi tidak tepat waktu, dan masuk kelas namun tidak mampu melakukan proses pembelajaran yang baik (berkualitas).
Kepala Bidang Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenumjur) Dinas Pendidikan Kabupaten Kayong Utara, Tasfirani, mengenai fenomena tersebut tentunya menjadi masalah mendasarkan bagi dunia pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab, sambung dia, guru merupakan garda terdepan sebagai pelaku atau subjek dalam memajukan dunia pendidikan.
“Karena, seorang guru yang melakukan proses pembelajaran berinteraksi dengan peserta didik. Bila guru tidak melakukan proses pembelajaran atau tidak mampu melakukan proses pembelajaran dengan baik dan berkualitas, maka peserta didik tidak akan memperoleh apa-apa, tidak terjadi perubahan pada diri mereka, berbagai potensi (multiple intelligence) yang dimilikinya tidak akan bisa berkembang secara optimal, dan akibatnya pendidikan menjadi tidak berkualitas,” ujar Tasfirani, baru-baru ini.
Menurutnya, banyak variabel menjadi penyebab terjadinya prilaku guru seperti tersebut. Variabel mendasar adalah keringnya internalisasi “makna guru” dalam dirinya. “Mungkin bagi mereka memaknai guru sebagai seseorang yang tugasnya hanya menyampaikan atau mentransfer ilmu materi kepada peserta didik (siswa.Red),” katanya.
Dilanjutkannya, banyak guru hanya sekedar melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang guru, datang ke sekolah, masuk kelas, menjelaskan materi, memberi latihan soal dan PR (Pekerjaan Rumah), kemudian menunggu jam pulang dan langsung pulang. Bahkan, sambung dia, masuk kelas tanpa melakukan persiapan apapun cukup hanya buku pegangan dan absen siswa. Yang seperti Ini guru hanya melaksanakan tugasnya sebagai “transfer of knowledge” atau melaksanakan fungsinya sebagai “transferring”, yaitu hanya memindahkan informasi yang disebut ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.
“Dalam hal ini, memang tidak sulit untuk menjadi seorang guru. Begitu gampangnya menjadi guru, sehingga mereka yang bukan lulusan kependidikan, bahkan yang hanya lulusan SMA pun sudah bisa menjadi guru. Dengan hanya sedikit kemampuan, bisa berdiri di depan kelas, bisa menyampaikan materi kepada siswa, kemudian bisa membuat tes sebagai alat evaluasi dan bisa membubuhkan nilai pada hasil tes peserta didik dengan proses pembelajaran seadanya,” ucapnya.
Padahal untuk bisa sebagai guru, menurutnya, tidak cukup hanya mampu mentransfer ilmu kepada siswa, membuat alat evaluasi dan memberi penilaian. Akan tetapi harus bisa melaksanakan fungsinya dalam “transfer of behavior dan “transfer of value” atau sebagai “transforming”, yaitu, mampu menanamkan nilai-nilai budaya positif, nilai-nilai kepribadian, dan nilai-nilai spiritual kepada peserta didik dan tidak cukup hanya dengan mengajarkan akan tetapi juga menjadi contoh dan suri tauladan bagi peserta didiknya.
“Guru yang melaksanakan fungsinya sebagai “transforming” inilah yang dikehendaki oleh kita semua. Siswa, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, bahkan yang diamanahkan oleh Undang-Undang Sisdiknas dengan pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional. Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, menyebutkan bahwa gurumerupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik,” terangnya.
Laporan: Kamiriludin