Sekadau-RK. Akhmad Surya Ghana menghirup nafas pertama di dunia tak berapa lama usai gerhana matahari total (GMT) selesai menampakkan diri. Bagi Sang Ayah, Salehan, kelahiran itu sebuah anugerah.
“Rasanya bahagia sekali. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ucap Amel, sapaan akrab Salehan, saat dijumpai Rakyat Kalbar di kediamannya, kampung Darussalam, KM 6,5 Jalan Sekadau-Sintang, Desa Mungguk, Sekadau, Rabu siang (9/3).
Sebagai tanda syukur, tiga suku kata di nama anaknya itu semua berkaitan dengan gerhana. “Akhmad artinya Muhammad, Surya artinya matahari, dan Ghana artinya gerhana. Namanya saya berikan seperti itu karena anak kami tersebut lahir pas hari terjadi gerhana,” paparnya.
Memang, Ghana keluar dari kandungan tak bertepatan dengan detik-detik terjadinya puncak GMT. Bayi berbobot 3,3 kilogram itu lahir pada pukul 09. 25 WIB. Proses gerhana matahari di Kalbar sendiri berlangsung sejak pukul 06.20 WIB hingga 08. 30 WIB.
Di Sekadau, proses terjadinya gerhana matahari tidak terlihat jelas. Sekadau tak masuk dalam lintasan GMT. Namun, Ghana yang lahir dengan panjang 50 centimeter itu tetap istimewa bagi pasangan Amel dan Yanti. Anak pertama mereka bernama Wahyu Febrian yang sekarang sudah berumur 4 tahun.
Diakui Amel, dirinya bersama sang istri tidak menyangka kalau anaknya akan lahir bertepatan dengan hari terjadinya gerhana ini. Saat USG tiga bulan lalu, dokter di Klinik Setia, Sekadau, memprediksi Ghana akan lahir 25 Maret mendatang. Saat konsultasi dengan bidan, diperkirakan Ghana akan lahir 10 Maret (hari ini, red).
“Waktu USG, dokter juga mengatakan anak kami berjenis kelamin perempuan. Tahunya laki-laki,” ucap Amel.
Yati, Ibunda Ghana berkata senada. Dua hari lalu, ia sempat merasa luar biasa letih dan sakit pada pinggang bagian belakang. Ia baru sadar akan melahirkan saat bangun tidur, setelah buang air kecil. “Tiba-tiba ada cairan seperti orang mau melahirkan. Saya pun langsung bangunkan suami saya untuk panggilkan bidan,” cerita Yati.
Tak berapa lama, Bidan Heminingsih pun datang ke kediamannya. “Alhamdullillah, proses persalinan berlangsung lancar. Tidak lama,” tukas Yati dengan mata berbinar.
Gerhana matahari merupakan fenomena langka yang sering dikaitkan dengan ibu hamil. Konon, ibu hamil pantang melihat gerhana matahari. Apabila ibu hamil keluar rumah saat gerhana matahari, maka dapat membuat bayi lahir dalam keadaan cacat atau terdapat tanda di tubuh bayi nantinya.
Jika tidak ingin anak terlahir dalam kondisi seperti itu, calon ibu diharuskan mandi sambil duduk di atas lesung dengan kepala yang ditutupi daun keladi dan dijaring dengan jala atau pukat. Tentu saja, ditakut-takuti dengan hal tidak benar seperti itu bisa membuat kaum hawa takut. Kelahiran Ghana yang sehat walafiat tentu menepis mitos tersebut.
Klenik lainnya seputar gerhana matahari dan ibu hamil adalah larangan menggunakan pisau, gunting, maupun jarum selama fenomena itu berlangsung. Dipercaya akan membuat bayi lahir dengan bibir sumbing.
Ada lagi yang bilang tak boleh makan dan minum selama gerhana terjadi. Padahal, tidak minum dalam waktu yang lama dapat memicu dehidrasi. Tidak makan dapat membuat ibu hamil pusing dan lemas.
Sesthya Wara Winnia (25), seorang wanita asal Kubu Raya yang tengah hamil santai saja keluar rumah di saat GMT kemarin. “Mau salat gerhana matahari, bukan untuk melihat gerhana itu. Pun lagi salat, bagaimana mau melihat gerhana, cuma terasa gelap saja cuacanya,” kata wanita yang usia kandungannya sudah delapan bulan ditemui usai Salat Khusuf di Masjid Mujahidin, Pontianak.
Rara, sapaannya, menepis jauh-jauh hal-hal tak masuk akal seputar gerhana. “Itukan hanya cerita orang yang bilang ibu hamil tidak boleh keluar rumah. Dari segi medis belum ada anak lahir cacat atau belang seperti mitos-mitos yang beredar. Mungkin itu hanya kebetulan. Pada intinya itu semua kuasa Allah SWT dan kepercayaan masing-masing,” tutur dia.
Tak hanya untuk ibu hamil, peristiwa gelapnya jagat raya ini juga membesut isu miring se-Nusantara. Secara garis besar, mitologi gerhana yang dituturkan dari generasi ke generasi memiliki kemiripan meskipun berasal dari beragam daerah.
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Kalbar, Drs. H. Syahrul Yadi, tersenyum ketika diwawancarai seputar tahayul gerhana matahari. Ia mengakui, banyak masyarakat yang belum paham.
“Maka perlu kita beri pemahaman bahwa tidak ada istilah gerhana itu sebuah tanda, misalnya ada ulama besar meninggal atau lahir, bahkan sebagai tanda marabahaya,” tegasnya ditemui usai salat.
Hanya saja, kata dia, dari segi kesehatan gerhana matahari memang membahayakan pancaran ultravioletnya. “Yang perlu dipahami itu harus menggunakan kaca mata khusus untuk melihatnya,” papar Syahrul.
Dengan adanya gerhana ini, ia melanjutkan, juga menjadi momen silaturahmi masyarakat Muslim. “Bayangkan saja, Salat Khusuf ini semeriah dan seramai, hampir 5000 orang, Salat Ied, dengan petugas salatnya lulusan Timur Tengah. Positifnya juga kita mengembalikan diri kepada hadrad Illahi,” terangnya.
Menurut dia, gerhana matahari salah satu kebesaran dan kekuasaan Allah SWT serta fenomena alam yang baru terjadi kembali sejak 33 tahun lalu. “Kita ini hanya manusia. Sebagai salah satu bentuk rasa syukur sekaligus ungkapan rasa kagum kita atas kekuasaan Sang Pencipta Alam Semesta serta ketundukkan kita kepada-Nya, maka kita gelar salat gerhana berjamaah di Masjid Mujahidin ini. Diikuti dengan doa, istifar, dan Insya Allah berbuat baik,” ungkap Syahrul.
Hikmah dari fenomena ini, dikatakannya, semua umat Islam paling tidak harus menyadari tidak yang abadi di dunia. Melalui gerhana matahari inilah Allah SWT mengingatkan umatnya.
“Termasuk alam juga mengalami dengan istilah kita ‘sangsut’ atau alam semesta yang begitu besar tidak selalu mengalami perjalanan yang normal. Itu semua sistem yang telah Allah SWT atur sedemikian rupa. Apalagi kita pasti ada kelemahan dan kekurangannya,” pungkas dia.
Laporan: Abdu Syukri dan Ocsya Ade CP
Editor: Mohamad iQbaL