-ads-
Home Patroli Gaya Hidup Jerumuskan Artis ke Bisnis ‘Lendir’

Gaya Hidup Jerumuskan Artis ke Bisnis ‘Lendir’

Habiskan Sumber Daya Finansial Begitu Besar

ilustrasi.net

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Prostitusi online melibatkan artis Vanessa Angel (VA) dan Avriellya Shaqqila (AS) mencengangkan masyarakat Indonesia. Pasalnya, kasus esek-esek yang diungkap Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim di Hotel Town Square, Surabaya pada Sabtu (5/1) itu bertarif selangit.

Bagaimana artis yang biasanya hidup mapan dan berpenghasilan secara ekonomi bisa terjun ke dunia prostitusi? Menurut Pengamat Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Viza Julian, setiap kasus menimpa pasti beragam faktor yang mempengaruhinya. Secara umum prostitusi yang dilakukan artis lantaran permasalahan gaya hidup yang tidak seimbang dengan pendapatannya. Sebab, gaya hidup artis bisa menghabiskan sumber daya finansial yang sangat besar. “Sebaliknya, pendapatan artis tidak semuanya dan tidak selamanya besar,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar melalui pesan aplikasi WhatsApp, Senin (7/1).

Bisa menjadi masalah bagi artis mencoba bergaya hidup mewah. Sementara itu, masa jayanya mulai redup. Ingin seperti rekan artis yang lain, tapi pemasukan tidak seimbang.”Ini bisa mendorong pada terjadinya praktek prostitusi seperti yang kita temui,” jelasnya.

-ads-

Sebaliknya, industri penjajaan seks tidak pernah sepi. Ada banyak kelas di dunia prostitusi. Orang secara ekonomi mampu berupaya menggunakan jasa artis sebagai pemuas kebutuhan seksual. Meski sekali kencang bertarif Rp80 juta.

Bagi sebagian orang nilai tersebut terlihat besar. Namun sebenarnya banyak kelompok masyarakat yang bisa mengakses artis dengan tarif tinggi tersebut. Diantaranya pengusaha atau pejabat tinggi. “Kalau kita lihat dari sudut pandang kebanyakan penduduk Indonesia, maka Rp80 juta itu tentu mahal,” jelasnya.

Namun, tidak sedikit pula kelompok dengan kondisi ekonomi mumpuni rela mengeluarkan uang dengan jumlah besar dengan mudahnya. Bahkan mereka bisa menjadi bagian dari kesepakatan gratifikasi seksual. “Apalagi jika mereka pelaku korupsi,” sebut Viza.

Senada disampaikan Pengamat Sosial Pontianak, Syarifah Ema Rahmaniah. Meskipun artis pendapatan atau penghasilan besar, namun kebutuhan hidupnya juga sangat tinggi. Jika sudah tidak lagi booming di dunia entertainment, maka pilihan lain mendapatkan income terlibat industri seks. “Saya katakan industri, karena prostitusi online para artis ini terorganisir,” ungkapnya kepada Rakyat Kalbar melalui pesan aplikasi WhatsApp, Senin (7/1).

Menurutnya, jika kepolisian ingin tuntas investigasi, harus kejar sampai ke jaringan sindikatnya. Jaringan yang dimaksud adalah mucikari, germo, pekerja seks, pelanggan, mediator, preman pengaman, oknum pekerja hotel atau bahkan oknum sekuriti.

“Makanya, tarif pekerja seks ini besar, karena ntar dibagi-bagi ke jaringan yang ada,” jelasnya.

Sementara bagi pelaku seks itu sendiri, bersih-bersihnya paling dapat 40 persen dari bayaran pelanggannya. Karena kerja jaringan sindikat prostitusi mulai dari mucikari, pekerja seksnya, pelanggan dan pihak lain yang terlibat dalam bisnis hitam tersebut.

“Prostitusi online ini tidak hanya pada artis pelakunya, tetapi banyak juga anak-anak bawah umur, remaja dan mahasiswa yang jadi pekerjanya,” tutur Ema.

Kendati begitu, Ketua Pembina Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Pontianak ini juga meminta jika ada aksi penyergapan oleh aparat terharap para pelaku prostitusi, media tidak mem-blow up perempuanya, tetapi pelanggannya. Sebab, transaksi terjadi antara dua belah pihak. Perempuan dalam hal ini adalah korban dari komersialisasi seks. Tidak berdaya ketika dieksploitasi. “Dia (perempuan) dikomodifikasi, diperdagangkan,” tutup Ema.

Ketua Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar, Devie Tiamona turut prihatin dengan kasus prostitusi online yang melibatkan seorang publik figur cukup terkenal tersebut. Menurutnya, praktik prostitusi online memang sudah menjadi fenomena di tiga tahun terakhir ini. Bahkan, dalam catatannya, Polda Kalbar juga pernah membongkar prostitusi online di Kota Pontianak. “Memang, itu dampak sebuah penggunaan teknologi,” katanya.

Dikatakannya, para mucikari prostitusi online memang sangat rapi menjajakan ‘dagangan lendirnya’ ke para pemesan. Bahkan, kata dia, sangat susah dilacak. Sebab, saat betransaksi mereka menggunakan percakapan yang berkode khusus. “Pecakapan mereka itu ada kode-kode tertentu,” jelasnya.

Sejatinya kata Devie, kasus prostitusi online yang berhasil dibongkar polisi segilintir saja. Sebab, prostitusi berbasis digital ibarat fenomena gunung es. Permukaan saja yang tampak. Padahal di bawah jaringannya lebih besar.

Ia pun khawatir, jika polisi tidak serius menangani prostitusi online, maka akan banyak anak-anak yang menjadi korban sekaligus pelaku. Mengingat bandar-badar prostitusi online bisa menjerat siapapun. Tak peduli orang baik atau tidak. Apalagi penggunaan internet tidak ada batasannya. “Siapa saja bisa jadi korban,” ulasnya.

Khawatirkannya adalah anak pengguna internet yang polos. Mereka terjaring bandar-bandar prostitusi online. “Ketika anak tersebut masuk, mereka bisa jadi korban sekaligus pelaku. Ini yang menjadi kekhawartiran kita,” tuturnya.

Maka dari itu, dia mendorong Polri melalui unit cyber crime melakukan patroli intens di dunia maya. Menyisir penjahat-penjahat cyber crime. Dia juga berharap, Polri tidak pandang bulu dalam membongkar kasus prostitusi online. Jangan hanya menyasar ke orang-orang punya nama besar guna menarik perhatian.

Pemberantasan harus secara menyeluruh. Penegakan hukumnya juga harus dilakukan sama rata. Selain mucikari, pemesan harusnya juga ditindak tegas.

“Penerapan pasal hukuman kalau bisa jangan hanya menggunakan ITE. Tetapi, juga menggunakan pasal pornografi dan pasal perzinahan,” demikian Devie.

Terpisah, Akademisi Hukum Pidana Universitas Kapuas Sintang, FX Nikolas mengatakan, kasus prostitusi kemarin sangat menghebohkan dunia artis di Indonesia. Dia menilai, yang akan menjadi tersangka dalam kasus ini sudah pasti bordeelhouderij atau mucikarinya. “Karena dianggap sebagai pelaku yang menawarkan VA kepada pelanggan,” katanya saat dihubungi Rakyat Kalbar, Senin (7/1).

Dijelaskannya, di dalam KUHP, orang sebagai pemberi ruang atau kesempatan untuk melakukan suatu perbuatan asusilalah yang bisa dipidana. Seperti yang tertuang dalam pasal 296 dan 506 KUHP. Tapi dalam suatu peristiwa tidak serta merta menghilang hal-hal lain seperti pelaku, korban, dan pengguna khususnya dalam tindak pidana prostitusi. “Di dalam tindak pidana, pada intinya harus ada korban, bukan hanya pelakunya. Artinya dalam konsep hukum pidana jika korban tidak melaporkan peristiwa itu, maka tidak ada peristiwa pidana,” paparnya.

Dikatakannya, antara mucikari dengan VA secara otomatis telah saling mengenal. Dalam perkenalan ini, sudah pasti ada komunikasi kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan itu dapat di lihat dari jumlah booking dan fee untuk para pihak. “Artinya, tidak ada yang dirugikan dalam kasus ini,” pungkasnya.

Siapa yang menjadi korban? Menurut Nikolas, tidak ada yang menjadi korban. Karena berbicara asusila, harus ada korban. “Apakah pasangannya itu memperkosa atau memaksa? Kan tidak,” tuturnya.

Bila VA sebagai korban, jelas mercukari dan pelanggannya dapat dijadikan tersangka. Hal ini jelas diatur dalam KUHP. Apalagi didukung dengan UU ITE, maka status VA semakin kuat untuk dibebaskan. “Kalau melihat konsep KUHP dan UU ITE jelas VA bisa bebas, karena undang-undangnya begitu,” ulasnya.

Dalam teori Soejono Soekanto kata dia, salah satu faktor yang mempengaruhi hukum adalah produk hukumnya. Jadi, tidak bisa menjerat VA dan pelanggannya. “Dalam pasal ini yang bisa dijadikan tersangka hanyalah mucikarinya saja,” ujarnya.

Di sisi lain, bahwa rangkaian peristiwa ini tidak terlepas dari dua hal. Pertama, orang meminta mencarikan pelanggan. Kedua, menawarkan kepada pelanggan. “Hal itu harus dikaji dan menjadi hal yang menarik dalam kajian hukum,” jelasnya.

Contohnya kata Nikolas, A meminta kepada B untuk mencari seseorang yang mau membayar A dengan tarif tertentu. Kemudian B mencarikan. Apakah B dapat dipidana? Padahal A yang minta.

“Sekali lagi saya menyampaikan dalam konsep pidana yang harus terdapat orang yang dirugikan, baik yang bersifat materil maupun non materil. Itu jelas,” paparnya.

Mucikari dapat dijerat, terutama dengan pasal 296 dan 506 KUHP. Pasal 296 KUHP berbunyi, barangsiapa yang pencariannya atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp15.000. Tapi pasal ini harus melihat pasal sebelumnya, yaitu pasal 292, 295 dan 298. Walau pada pasal 295 itu berkaitan dengan anak. “Saya tidak menyebutkan UU ITE, saya lebih fokus pada KUHP,” sebutnya.

Apakah pasal perzinahan bisa dikenakan kepada pelanggan VA? Nikolas menyatakan tidak bisa. Karena Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan merupakan delik aduan. “Sekali pun tertangkap basah, tetap tidak bisa dikenakan karena dalam pasal itu tidak memuat masalah tertangkap tangan,” jelasnya.

Namun Nikolas mengatakan, masih ada kemungkinan pasal lain yang bisa dijatuhkan. Tergantung kepada pihak kepolisian.

“Kita serahkan kepada pihak kepolisian untuk mendalami kasus ini. Mengenai pasal-pasal yang akan dijatuhkan, kita lihat nanti,” tuntas Nikolas.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalbar Basri Har menegaskan, bahwa prostitusi merupakan perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Karena prostitusi mempermudah perzinahan. Dalam Islam jangankan berbuat zina, mendekati saja tidak boleh. Karena merupakan suatu kejahatan yang akan berakibat buruk.
“Berdasarkan hukum Islam, bagi gadis yang belum menikah dipukul 100 kali di depan orang ramai. Sedangkan perempuan yang sudah berkeluarga akan dikenakan rajam. Gali lubang lalu dimasukkan, tinggal kepala, lalu di lempari,” terangnya.
Basri sangat menyayangi masih adanya praktek prostitusi di Indonesia. Dia mengimbau kepada umat terutama orangtua agar ekstra menjaga anak-anaknya agar tidak mudah terpengaruh.
“Jangan sampai terpengaruh pergaulan bebas. Islam tidak mentolerir perbuatan ini,” lugasnya.

 

Laporan: Ambrosius Junius, Abdul Halikurrahman, Bangun Subekti, Maulidi Murni

Editor: Arman Hairiadi

 

Exit mobile version