Gara-gara Regulasi Pusat, Sekolah di Tapal Batas Dinilai Ilegal

Petualangan Jarot Winarno CS ke Pedalaman Sintang (5)

TEKAD MAJUKAN PENDIDIKAN. Bupati Sintang Jarot Winarno meninjau proses belajar-mengajar di SMPN 1 Sintang, belum lama ini. Jarot sangat menginginkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan sampai ke warga di perbatasan Sintang-Sarawak. Achmad Munandar-RK

Perjalanan Jarot Winarno ke daerah terhulu kabupaten yang dia pimpin tak hanya memantau infrastruktur jalan, jembatan, listrik, dan pariwisata saja. Soal pendidikan pun jadi perhatian Bupati Sintang itu.

Achmad Munandar, Nanga Seran

eQuator.co.id – Sejak lama masyarakat di Desa Nanga Seran, Ketungau Tengah, mengharapkan sekolah berdiri di sana. Pemerintah desa, bahkan, telah menghibahkan dua hektar lahan pembangunan sekolah tingkat menengah atas (SMA).

Apa daya, nasib belum berpihak kepada warga di sana. Dengan terpaksa, masyarakat setempat menyekolahkan anaknya setelah menyelesaikan tingkat SMP ke pusat kecamatan Ketungau Tengah, Desa Nanga Merakai.

Kabar menggembirakan sempat muncul. Pada 2016, dibangun bangunan sekolah dengan ruang kelas satu pintu. Pemerintah Sintang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang membuat program pembangunan itu.

Sebagai informasi, Desa Nanga Seran berpenduduk kurang lebih 1.600 jiwa terbagi atas 420 kepala keluarga. Jaraknya dengan Malaysia hanya 12 kilometer.

Dibukanya SMA di Nanga Seran disambut antusias oleh warga. Tercatat 20 murid diterima di sekolah di kawasan tapal batas Indonesia tersebut.

Seiring berjalannya waktu, harapan itu memudar. Gara-gara pemerintah mengubah regulasi. Kewenangan mengurus SMA menjadi milik pemerintah provinsi yang artinya pemerintah kabupaten tidak punya hak lagi untuk mengelolanya. Pemerintah Sintang hingga kini masih berkoordinasi intens dengan Pemerintah Provinsi Kalbar agar SMA di Nanga Seran dapat dilanjutkan pembangunannya melalui dana APBN.

Perubahan aturan ini sangat berdampak bagi masyarakat setempat. Dari 20 siswa yang sempat diterima oleh sekolah itu, setakat ini hanya tersisa separuhnya yang masih menuntut ilmu.

“Sekarang hanya sepuluh orang muridnya. Sepuluhnya lagi lebih memilih meninggalkan SMA itu,” tutur Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sintang, Yustinus.

Sepuluh orangtua murid yang menarik anaknya dari sekolah tersebut disebabkan status sekolah yang mengambang. Belum memiliki nomor pokok sekolah negeri (NPSN).

“Mereka, orangtua murid, beralasan kalau sekolah SMA Nanga Seran itu ilegal atau tidak jelas status sekolahnya,” terang Yustinus.

Yustinus telah berupaya memberikan pemahaman kepada para orangtua murid itu. Tapi, tidak membuahkan hasil. Pasalnya, sebagian murid ada yang memang enggan melanjutkan belajar dan ada juga yang pindah ke sekolah negeri lain.

“Penjelasan sudah kita berikan. Tapi mereka tetap tidak mengerti. Jadi inilah kondisi riil persoalan yang sedang dan tengah kita hadapi di dunia pendidikan yang ada di perbatasan,” bebernya.

Intinya, lanjut dia, pihaknya bukan tidak  memiliki dana untuk membangun gedung sekolah di Nanga Seran. Tapi, duit yang ada tidak bisa digunakan.

“Dana sudah ada sejak lama. Bahkan, pemerintah pusat menganggarkan Rp2,5 miliar untuk membangun gedung SMA Nanga Seran itu,” ungkap Yustinus.

Dan ternyata, belakangan baru diketahui, lokasi lahan yang disediakan pemerintah desa Nanga Seran itu masuk kawasan hutan lindung. “Persoalan kembali muncul,” akunya.

Masalah ini terkuak saat melakukan pengurusan sertifikat. BPN Sintang tidak dapat menerbitkan sertifikat atas lahan dua hektar itu. Meskipun demikian, Yustinus mengklaim akan tetap mempertahankan dan memperjuangkan SMA di Nanga Seran tersebut agar tetap dibangun.

Berbagai langkah telah diambil. Termasuk melakukan koordinasi agar bisa mengeluarkan dua hektar tanah hibah itu dari status kawasan hutan lindung. Koordinasi dilanjutkan dengan Pemprov Kalbar. Kata Yustinus, ngototnya Pemkab Sintang memperjuangkan SMA Nanga Seran karena menilai minat anak-anak di perbatasan untuk mengenyam pendidikan masih tinggi.

Sebenarnya, dia punya masalah lain. Kalau sekolah itu berdiri, tenaga pengajarnya dari mana? Di perbatasan bukan hal aneh jika satu sekolah hanya memiliki seorang guru yang berstatus aparatur sipil negara.

Untuk mensiasatinya, Yustinus menyebut, pihaknya memang terpaksa merekrut tenaga honorer sebagai tenaga pengajar. Dengan latar pendidikan beragam. Sunggu beruntung jika bisa mendapatkan pengajar dari lulusan strata satu (S1).

“Yang direkrut ada tamat SMA ikut mengajar,” tandasnya.

Kepala Desa Nanga Seran, Juswardi menyatakan, pihaknya tidak tahu tanah yang dihibahkan itu masuk kawasan hutan lindung. “Kami di sini ingin bangunan SMA ada dan berdiri di Nanga Seran. Kita minta bantu kepada pemerintah agar dapat mencarikan solusi terkait lahan dua hektar yang dihibahkan itu,” pinta dia.

Sebelumnya, mendengar hal ini, Bupati Sintang Jarot Winarno sempat terlihat terguncang. “Rekrut kembali murid yang keluar itu. Jangan sampai mereka kabur apalagi putus sekolah,” ucapnya yang ditujukan kepada Yustinus di Desa Nanga Seran, sebelum dia menutup turnamen bola setempat, Kamis (25/5) petang.

Kata Jarot, tidak boleh sampai murid SMA Nanga Seran kabur atau keluar dari sekolah yang sudah ada. “Beri pemahaman kepada orangtua muridnya. Saya juga minta Kades berperan dalam hal ini. Agar SMA kita bisa ramai. Tidak boleh sekolah itu sampai tidak ada muridnya,” tegas dia.

Bupati memastikan persoalan yang tengah dan sedang dihadapi ini segera dicarikan solusinya. Pasalnya, lanjut dia, Pemerintah Sintang benar-benar ingin membangun pendidikan di wilayah perbatasan yang merupakan garda terdepan bangsa dan NKRI.

“Pendidikan penting bagi anak-anak perbatasan kita. Maka kita serius membangunnya,” tandas Jarot.

Memang, keadilan dalam jendela pemerataan pembangunan bagi masyarakat pedalaman maupun perbatasan masih timpang. Tak usah heran bila lama-kelamaan nasionalisme warga di sana kian memudar akibat kekecewaan akan kesenjangan di berbagai bidang pembangunan. (*/habis)