Full Day Fun, Sistem dan Guru

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Sekolah full day? Sekolah setengah hari? Sekolah suka-suka? Aduh, ngerinya jadi orang tua di negara kita sekarang ini. Bayangkan, hampir 71 tahun setelah merdeka, sistem pendidikan tidak ada kepastiannya. Ganti menteri, ganti kebijakan. Rameeee…

Sepuluh tahun lalu mungkin saya tak terlalu ambil pusing soal itu. Sekarang, saat sudah punya anak yang duduk di bangku SD, kok jadi malah ketakutan ya? Dan rasanya saya tidak sendirian.

Beberapa tahun lalu saya pernah berdiskusi dengan seorang menteri pendidikan. Kebetulan ketemu di bandara, menunggu boarding pesawat yang sama. Kebetulan bicara soal sistem pendidikan.

Dan dengan penuh percaya diri, menteri itu bilang sedang menyiapkan program untuk generasi 100 tahun kemerdekaan alias generasi 2045. Alamak jauhnya.

Dan alamaknya lagi, program itu lantas berubah ketika dia tidak menjabat lagi. Lalu berubah lagi dan berubah lagi.

Jangankan memikirkan yang 2045. Yang 2016 dan dalam waktu dekat aja kok rasanya tidak ada yang jelas.

Alamak berikutnya, apa pun kebijakan yang disampaikan, respons masyarakat (atau mungkin respons media sosial, yang belum tentu mewakili seluruh masyarakat) sudah ramai tidak keruan. Jadi orangtua rasanya makin pusing.

Apakah full day school lebih baik? Apakah seperti sekarang, saat kebanyakan pulang sekolah pukul 13.00, lebih baik?

Ada teman bilang, isi kepala saya ini seperti supermarket, ada saja ide atau pemikiran tentang segala hal. Komentar itu bikin saya takut. Saya takut itu bikin saya besar kepala, sok tahu tentang segalanya. Apalagi kalau membaca berbagai komentar di medsos, rasanya semua orang kok pakar dalam segala hal ya?

Jadi, sebelum saya menyampaikan pemikiran saya di bawah ini, saya ingin menyampaikan pula sebuah disclaimer: Saya bukan pakar. Apa yang saya tulis ini hanya bagian dari kegelisahan saya sebagai orang tua, yang anaknya terancam mengalami masalah pendidikan karena akan gonta-ganti sistem pendidikan dalam 15 tahun ke depan.

Bayangkan, kalau dalam 15 tahun ke depan ada tiga presiden berbeda, enam menteri pendidikan yang berbeda, berapa sistem pendidikan yang harus dijalani oleh anak saya? Sekarang saja bingung luar biasa memilih sekolah. Masuk ke sini sistem begini, masuknya begini. Masuk ke sana sistem begitu, masuknya begitu.

Memilih sekolah jadi seperti ikut lotre. Siapa tahu beruntung, tidak salah pilih, dan anaknya selamat sampai tujuan. Apa pun tujuannya.

Kembali ke alamak (permasalahan) utama: Pilih sistem mana? Sampai SMP, saya termasuk produk sistem tidak full day. Kadang masuk pagi sampai siang, kadang masuk siang sampai sore. Ketika SMA, saya beruntung karena dapat beasiswa ke Amerika, jadi dapat pengalaman full day lima hari.

Enak mana? Sama saja. Masuk pagi sampai siang, pulang ke rumah bisa tidur siang atau melakoni hobi. Entah itu main Nintendo (zaman dulu banget ini) atau main sepak bola sampai magrib (sampai dimarahi supaya berhenti).

Ada hari ikut sekolah sepak bola, ada hari ikut klub bulu tangkis. Banyak hari bertanding sepak bola melawan kampung sebelah atau menantang RT tetangga.

Masuk siang sampai sore, bangunnya bisa agak siang. Buat anak sekolah, itu jelas enak. Mengerjakan PR bisa pagi hari. Jadi, kalau malam bisa nonton TV atau bermain dengan tetangga sampai agak larut. Susahnya, tidak bisa main bola di sore hari. Dan harus berhenti ikut klub badminton yang jam latihannya sore.

Ketika sekolah full day? Juga enak. Karena full day-nya Amerika kan tidak sampai pukul 17.00. Start pada pukul 08.00, berakhir pada pukul 15.00. Di tengah-tengah ada break makan siang dan makan siang di sekolah menyenangkan.

Selesai pada pukul 15.00 tidak berarti langsung pulang. Pukul 16.00–18.00 adalah jadwal kegiatan di luar kelas. Dulu, saat musim semi, saya ikut tim track and field (atletik), bagian lari 2 mil alias 3,2 km. Musim gugur sempat ikut latihan tim football (American football) sebagai kicker, juga pernah ikut tim lari cross country. Di hari lain sibuk di koran sekolah.

Karena saat ”full day” itu Sabtu dan Minggu-nya libur, Sabtu saya sempat cari uang saku dengan melatih sepak bola anak SD. Atau ikut membantu orang tua angkat mengerjakan koran lokal (mereka pemiliknya). Atau ikut tim olahraga sekolah bertanding, menjadi fotografer bagi tim basket, tenis, golf, dan cabang-cabang lain.

Mungkin setelah membaca lima paragraf sebelum ini, Anda bingung, lho soal pelajarannya bagaimana? Hehehe… Terus terang, saya tidak terlalu peduli soal pelajarannya. Mungkin karena saya beruntung dan diberkati, tidak perlu belajar serius untuk dapat nilai baik. Yang penting tidak pernah bolos, hanya absen kalau sakit, dan mengerjakan semua tugas. Beres.

Karena bagi saya, setengah hari atau full day, yang mungkin paling penting adalah kegiatan non pelajarannya. Tidak semua anak suka sekolah, tidak semua anak mudah menerima pelajaran, tapi mereka bisa unggul dalam hal-hal yang non pelajaran. Dan itu baik-baik saja.

Kalau tidak full day, sebisa mungkin sekolah menyediakan program ekstra yang sesuai kesukaan. Kalau sampai full day, ya jangan sampai kegiatan ekstranya diabaikan.

Buat apa belajar matematika terlalu serius kalau sekarang ada berbagai macam software dan kalkulator? Buat apa belajar berbagai keilmuan terlalu jauh dan mendalam kalau sekarang ada Mbah Google dan Om Wikipedia plus Mbak YouTube yang mungkin lebih pintar daripada semua guru? Full day atau tidak full day, harus bisa full day fun.

Lagi pula, yang paling urgen sekarang mungkin bukanlah sistem pendidikannya. Melainkan kemampuan gurunya.

Saya pernah menyinggung soal itu, entah Happy Wednesday edisi berapa. Bagi orang tua yang kebetulan mampu, mungkin tidak masalah. Bisa membayar sekolah yang mahal dengan guru yang lebih berkualitas atau bahkan dari luar negeri. Atau kalau memang tidak puas, selalu ada opsi mengirimkan anak ke luar negeri.

Tapi, kebanyakan kan tidak bisa seperti itu. Ngeri rasanya melihat kualitas mengajar di kota-kota kecil, apalagi di pedesaan. Ngeri rasanya melihat ada sekolah negeri di mana kepala sekolahnya lebih mengutamakan pembangunan masjid yang megah daripada laboratorium atau fasilitas olahraga yang canggih.

Bisa nggak ya kita tidak memusingkan soal sistem pendidikan, tapi berfokus dalam beberapa tahun ke depan meng-upgrade kemampuan guru berikut kesejahteraannya? Guru yang pintar yang sejahtera kan pilar yang lebih baik daripada sistem apa pun.

Katanya, dulu sistem pendidikan di Indonesia ini lebih baik daripada Malaysia sehingga mereka mengimpor banyak guru dari Indonesia. Nah, sekarang justru kita mengirim banyak anak untuk sekolah di Malaysia, karena katanya di sana kualitas lebih baik.

Saya bahkan sempat berpikir radikal. Bagaimana kalau kita impor saja guru-guru bule sebanyak mungkin, menempatkan mereka di semua sekolah negeri, sebagai benchmark atau alat untuk membantu mengembangkan kemampuan guru-guru kita.

Sambil jalan, manfaatkan uang negara –yang katanya banyak untuk pendidikan itu– benar-benar untuk mengembangkan kemampuan dan wawasan guru. Gunakan untuk menaikkan gaji guru sehingga lebih tinggi daripada pegawai normal di berbagai industri (apa pun pengertian normal itu). Karena guru yang hidupnya sejahtera –atau bahkan lebih makmur dari pekerjaan kebanyakan– bisa punya kemampuan untuk mengembangkan diri sendiri lebih jauh lagi tanpa harus disubsidi.

Nantinya, setelah sekian tahun, ketika kemampuan guru-guru kita jadi lebih baik dan hidupnya lebih sejahtera, baru kita memikirkan what’s next. Di masa depan (seharusnya masa sekarang), seharusnya sudah tidak ada ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa, Oemar Bakri, dan lain-lain yang menggambarkan bahwa pekerjaan guru itu pekerjaan yang tidak sejahtera.

Mohon maaf apabila tulisan ini menyinggung perasaan. Sekali lagi, saya bukan pakar. Saya hanya orangtua yang khawatir dengan pendidikan anak saya dalam 15 tahun ke depan… (*)