Frantinus Nirigi Tak Sebut Kata Bom

Kuasa Hukum Minta Hadirkan Barang Bukti Pesawat

MINTA KETEGASAN. Kuasa hukum Fran, Andel minta ketegasan kesaksian dari saksi Cindy setelah mendengar kesaksian dari Edi dalam sidang agenda mendengarkan keterangan saksi di PN Mempawah, Senin (10/9)—Ocsya Ade CP

eQuator.co.idMempawah-RK. Sidang lanjutan kasus candaan bom yang melibatkan terdakwa Frantinus Nirigi masih bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah. Senin (10/9) kemarin, merupakan sidang keenam dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Mempawah.

Dalam sidang yang dimulai pukul 13.30 WIB hingga pukul 21.30 WIB ini, sempat berlangsung alot. Pasalnya, ada beberapa keterangan dari sejumlah saksi yang berbeda antarsatu sama lainnya.

Dalam persidangan perkara yang terjadi di pesawat Lion Air JT-687 saat akan lepas landas dari Bandara Internasional Supadio Kubu Raya ini, sejatinya JPU akan menghadirkan sebelas saksi. Namun hanya sembilan saksi yang bisa hadir dan memberikan kesaksian. Diantaranya, lima pramugari dan co-pilot pesawat Lion Air JT-687, serta pihak sekuriti Bandara (Avsec).

Saksi pertama yang dimintai keterangan adalah pramugari atas nama Cindy Veronika Muaya. Cindy merupakan pramugari pertama dan yang berhadapan langsung dengan Fran sebelum semua peristiwa 28 Mei itu terjadi. Dalam kesaksiannya, Cindy menyebutkan kala itu jaraknya dengan Fran hanya sekitar satu langkah.

Saat itu, sebut Cindy, dia melihat Fran datang ke dalam pesawat dan terlihat kebingungan ketika melihat bagasi di atasnya untuk menyimpan barang yang dibawanya. Cindy pun saat itu juga baru selesai merapikan bagasi penumpang lainnya.  Cindy kemudian meminta Fran untuk meletakkan barang bawaannya ke bagasi. “Bapak silakan barangnya diletakkan di sini, hati-hati,” ungkap Cindy.

Lanjut Cindy memberikan kesaksian, saat meletakkan tas tersebut, sambil tersenyum Fran mengatakan bahwa di tasnya ada bom. “Di tas ada bom. Saya mendengar itu sangat jelas, sangat pasti dan fasih. Saya langsung bilang, Bapak jangan bercanda seperti itu dalam pesawat,” ucap Cindy.

Kemudian, Cindy juga memberitahukan hal tersebut ke pramugari senior, Citra Novita Anggelia Putri. Juga kepada Edi Subaidi, sekuriti Bandara (Avsec). Edi juga dijadikan saksi dalam perkara ini. Karena dia yang pertama kali melakukan pemeriksaan terhadap Fran usai menerima laporan dari Cindy.

Dalam kesaksiannya, Edi menyebutkan bahwa Fran tidak ada menyebutkan kata bom saat peristiwa tersebut. Fran, kata Edi, hanya menyebutkan ‘ada tiga laptop bu’ dalam aksen logat orang Papua. “Waktu saya tanya, saudara Nirigi bilang ‘ada tiga laptop bu’,” ungkap Edi di hadapan peserta sidang.

Edi melanjutkan, usai memeriksa isi tas dan memang mendapati barang-barang seperti yang dikatakan Fran. Dia pun kembali menemui Cindy dan menyampaikan adanya kekeliruan pendengaran tersebut.

Kesaksian Edi, diperkuat oleh kesaksian atasannya yang juga menjadi saksi, Rudi Sanjaya. Rudi, menyebutkan bahwa dirinya turut melakukan interogasi awal pascaperistiwa tersebut.

Menurut Rudi, Fran sama sekali tidak ada menyebutkan kata bom. Fran juga berulang kali hanya menyebutkan ‘awas ada laptop bu’. “Saat di interogasi, pak Frantinus sempat termenung dan terdiam selama sekitar sepuluh menit,” ungkap Rudi.

Rudi juga mengungkapkan bahwa pihaknya hanya melakukan interogasi awal terhadap Fran, sebelum interogasi lanjutan diserahkan kepada pihak kepolisian.

Meski sudah memberikan kesaksian diawal persidangan, pada pemeriksaan saksi keenam, yakni Edi, Cindy dipanggil kembali oleh majelis hakim. Namun, Cindy bersikukuh bahwa yang didengarnya saat itu adalah kata bom.

Bantahan Frantinus

Dalam persidangan ini, Fran diberikan kesempatan untuk menanggapi kesaksian para saksi. Kesaksian dari Cindy dibantah langsung olehnya. Menurut Fran, ada beberapa kesaksian Cindy yang menurutnya tidak benar. Fran yang duduk di samping kuasa hukumnya mengungkapkan, saat itu dirinya baru tiba dan duduk di kursi sambil memangku tas yang dibawanya. Dia juga mengatakan bahwa saat itu tidak dalam kondisi sedang kebingungan.

Cindy kemudian datang menghampirinya dan meminta untuk meletakkan barang di tempat bagasi. Usai meletakkan barang miliknya, Fran kemudian duduk kembali. Dia kemudian melihat Cindy memasukkan tas miliknya itu dengan kasar tepat di tempat bagasi yang ada di atas kursinya saat itu. “Saya bilang, awas Bu, ada tiga laptop di situ (dalam tasnya, red). Tidak ada bilang bom,” tegas Fran dengan logat kental khas Papua.

Bahkan majelis hakim juga terlihat mengernyitkan dahi untuk mendengarkan dan memastikan kalimat yang diucapkan Fran dengan logat kental Papua tersebut. “Jadi intinya, saudara tidak ada bilang ‘awas ada bom’, tapi ‘awas bu’ ya,” tanya ketua majelis hakim, I Komang Dediek Prayoga kepada Fran untuk meyakinkan.

Sementara itu, Kuasa hukum Fran, Andel meminta barang bukti berupa pesawat Lion Air JT-687 dihadirkan dalam persidangan lanjutan nantinya. Pesawat tersebut menurutnya merupakan barang bukti tempat dimana peristiwa kepanikan penumpang itu terjadi. “Pesawat juga kita minta dihadirkan, tapi tak bisa dihadirkan. Padahal pesawat itu barang bukti lho,” ujar Andel, dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Andel & Associates.

Peristiwa kepanikan tersebut, menurut Andel, bermula dari pengumuman yang disampaikan oleh pramugari Lion Air JT-687. Lantaran menyebutkan adanya salah seorang penumpang diduga membawa bahan peledak. Sehingga para penumpang diminta turun dari pesawat.

Andel menyebutkan bahwa Fran sama sekali tidak ada menyebutkan kata-kata bom, melainkan ‘awas Bu’. “Hanya saksi pramugari bernama Cindy Veronika Muaya yang mengaku mendengar, sedangkan saksi lainnya tidak ada yang mendengar langsung. Hanya mendengar dari si Cindy itu,” ujar Andel.

Pernyataan Cindy tersebut, sambung Andel, dimentahkan oleh sekuriti bandara yang melakukan pemeriksaan terhadap Fran saat itu. “Bahkan, kedua petugas Avsec memberikan kesaksian, bahwa ketika dinterogasi, Fran sama sekali tidak ada menyebutkan kata bom,” tegas Andel.

Menurutnya, itu fakta yang sebenarnya terjadi dan terungkap di persidangan. “Fran mengatakan ‘awas Bu’, itulah fakta sebenarnya saat interogasi awal, sebelum dilakukan interogasi kepolisian dan di BAP,” tegas Andel.

Sementara itu, JPU Kejari Mempawah, Rezkinil Jusar mengatakan, terkait dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut, nantinya akan menjadi penilaian bagi majelis hakim untuk membuat keputusan.

“Bagaimana kompetensi keterangan dari masing-masing saksi yang dihadirkan itu, ya kita serahkan sepenuhnya kepada majelis hakim,” ujarnya.

Rezkinil menambahkan, keinginan kuasa hukum untuk menghadirkan barang bukti di persidangan menurutnya harus diluruskan. Pesawat tersebut, merupakan barang bukti dan bukan alat bukti. “Nah, apakah itu suatu keharusan pesawat itu harus disita,” ujarnya. “Kita harus ingat, pasal ini bukan terkait masalah pengrusakan (pesawat), tapi candaannya,” sambung Rizkinil.

Bukan Pengacara Bayaran

Pengacara yang mendampingi Fran memang tak dibayar sepeser pun dalam menangani kasusnya. Pernyataan tersebut ditegaskan Ketua Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dan JPIC Kapusin, Bruder Stephanus Paiman. Penegasan ini untuk menanggapi tudingan Ketua Majelis Hakim PN Mempawah yang menyebutkan jika Andel dibayar oleh kliennya, sehingga ngotot dalam membela Fran.

Memang dalam sidang tersebut terjadi adu argumen antara pengacara, saksi dan jaksa yang di tengahi oleh majelis hakim. Namun, apa yang dilakukan Andel, sebut Stephanus, murni sebagai bentuk rasa kemanusiaan dalam mendampingi kasus ini.

“Saya keberatan dengan pernyataan Ketua Majelis Hakim yang mengatakan bahwa lawyer dibayar untuk mendampingi kasus ini,” ujar pria yang disapa Bruder Step ini usai menghadiri sidang di PN Mempawah, Senin (10/9) malam.

Dalam membela klien, sebut Bruder Step, sudah sewajarnya jika kuasa hukum berupaya membela dengan harapan dibebaskan. “Yang perlu diketahui masyarakat adalah bahwa Pak Andel adalah salah seorang lawyer FRKP & JPIC Kapusin,” ungkapnya.

Ia menceritakan, awalnya keluarga Fran Nirigi datang ke Sekretariat FRKP di Jalan Purnama, Pontianak Selatan untuk minta bantuan pendampingan. “Saya saat itu langsung mempelajari kasus tersebut dan meminta pak Andel untuk mendampingi Fran,” kata biarawan Kapusin ini.

Jadi intinya, ditegaskan Bruder Step, FRKP dan JPIC Kapusin meminta Andel untuk mendampingi kasus ini secara gratis.

Hal tersebut, sambungnya, mengingat bahwa Fran adalah seorang anak perantau dari Papua dan berasal dari keluarga kurang mampu. Fran di Pontianak untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas Tanjungpura program dari pemerintah Papua. “Maka dalam proses ini, FRKP dan JPIC Kapusin membantu memfasilitasi biayanya,” jelasnya.

Terkait hal ini pula, Andel menegaskan bahwa apa yang ia lakukan untuk Fran memang dilakukan secara sukarela atas dasar rasa kemanusiaan tanpa meminta bayaran. “Sepeser pun saya tidak meminta biaya, kalau tidak percaya, silahkan tanya kepada pihak keluarga. Kan pihak keluarga hadir dalam sidang itu. Majelis hakim bisa bertanya langsung,” ungkap Andel.

Sidang selanjutnya akan kembali digelar pada Kamis (13/9) mendatang. Dengan agenda mendengarkan saksi. JPU rencananya akan menghadirkan saksi lainnya yang masih terkait dalam peristiwa ini, termasuk saksi ahli.

 

Laporan: Ocsya Ade CP

Editor: Arman Hairiadi