eQuator.co.id – Pontianak-RK. Masih ingat dengan kasus candaan bom (joke bomb) yang dilakukan Frantinus Nirigi dalam pesawat Lion Air JT 687 tujuan Jakarta di Bandara Internasional Supadio Kubu Raya, Senin 28 Mei 2018 malam lalu?
Kini kasus yang membuat lulusan Fisip Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak itu sebagai tersangka, mulai bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Jumat (3/8), kasus ini memasuki babak baru. Bukan untuk menyidangkan perkaranya, namun dalam hal ini pihak Fran mengajukan gugatan praperadilan terkait status tersangka yang dilekatkan kepada dirinya.
Dalam sidang dengan nomor perkara 2/Pid.Pra/2018/PN Ptk ini, pihak Fran selaku pemohon mengajukan gugatan terhadap Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kapolresta Pontianak.
Sesuai jadwal, seharusnya sidang perdana praperadilan ini mulai berlangsung sejak pukul 09.30 WIB. Namun hingga pukul 10.30 WIB, dua pihak termohon tersebut tidak menghadiri sidang. Hanya pihak kuasa hukum Fran dan pihak keluarganya saja yang mengisi sebagian bangku di ruang sidang itu.
Hakim Ketua PN Pontianak, Rudi Kindarto mengatakan, sebelumnya pihak termohon atau dua instansi tersebut sudah dilakukan pemanggilan. Dia pun memastikan surat panggilan tersebut sudah diterima sesuai dengan alamat masing-masing.
“Sampai sekarang dari pihak Kapolresta Pontianak maupun Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub tidak datang,” ujar Rudi saat memulai persidangan.
Karenanya, sidang tidak bisa dilanjutkan dan ditunda hingga Jumat (10/8) mendatang. Terkait ketidakhadiran itu, Majelis Hakim masih memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak termohon untuk menyelesaikan administrasi di instansi masing-masing. Nantinya, jika waktu yang diberikan sudah habis, kata Rudi, maka pihaknya bisa mengambil sikap.
“Yang jelas sidang hari ini kita tunda. Minimal syarat formal panggilan selama tiga hari. Namun kemungkinan akan dilaksanakan paling cepat satu minggu,” ujarnya.
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum Fran, Andel menjelaskan, alasan mengajukan praperadilan tersebut karena pihaknya mengganggap proses penangkapan dan penahanan terhadap kliennya tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum.
“Karena hal tersebut diatur dalam undang-undang khusus, bukan undang-undang umum. Peristiwa yang terjadi dalam pesawat Lion Air itu Undang-undang Nomor 1, Tahun 2009 tentang Penerbangan. Berarti inikan salah prosedur untuk melakukan penahanan,” tegas Andel.
Ia mengatakan, atas dasar itulah pihaknya mengajukan praperadilan yang gugatannya ditujukan kepada Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub dan Kapolresta Pontianak.
“Dalam sidang, dua-duanya tidak hadir. Oleh Majelis Hakim tadi sudah dibuka sidangnya. Namun termohon praperadilan ini tidak hadir, makanya ditunda,” jelasnya.
Menurut informasi dari yang diterima oleh Panitera, sebut Andel, bahwa kedua termohon sudah menerima surat panggilan tersebut. Namun tidak hadir. “Untuk itu majelis memberikan kesempatan untuk melakukan penundaan. Dan kita tidak membacakan gugatan permohonan praperadilan, namun pemohon akan membacakan setelah sidang pada Jumat mendatang,” katanya.
Namun, tambah Andel, apabila tetap tidak hadir pada sidang nantinya, proses hukum akan tetap berjalan. “Kan tidak bisa ditunda. Yang namanya pra ini kan mestinya tujuh hari sudah diputuskan perkaranya,” pungkasnya.
Dari awal, kasus ini dimonitor langsung Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) yang dipimpin Bruder Stephanus Paiman. Ia juga hadir dalam sidang pengajuan praperadilan itu. Kepada sejumlah wartawan, ia menganggap ada yang janggal dalam proses yang menimpa Fran.
“Kita berharap kasus ini benar-benar berkeadilan sesuai Undang-Undang yang berlaku. Bukan karena pesanan atau intervensi pihak tertentu,” tegasnya.
Kejanggalan itu, kata Stephanus, lantaran sudah jelas dari kesaksian Fran bahwa yang membuat kegaduhan hingga menimbulkan korban luka-luka itu, adalah pengumuman dari pihak maskapai. Dalam hal ini pilot dan pramugari.
“Tetapi mereka tidak disentuh. Malah FN (Fran) yang langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan,” ucapnya.
Apabila terbukti Fran tidak bersalah, tambah Stephanus, maka segera dibebaskan dan pulihkan nama baiknya. “Sebaliknya, jika memang dia terbukti bersalah, silakan proses dengan Undang-Undang yang berlaku,” tutupnya.
Rakyat Kalbar mencoba mengkonfirmasi Kapolresta Pontianak, Kombes Pol Wawan Kristyanto. Hingga berita ini diturunkan, Kapolresta belum merespon panggilan telepon maupun membalas pesan singkat melalui WhatsApp. (oxa/bek)