F.C. Palaunsoeka, Tokoh Kalbar yang Kurang Dikenal

Pernah Tolak Tawaran Soeharto Jadi Dubes Indonesia di Meksiko

Yohanes Eugenio Ranggau Barani (kiri), DR Clarry Sada (tengah), dan Dismas Aju (kanan), memberikan keterangan terkait biografi F.C. Palaunsoeka di Pontianak, Selasa (17/5). OCSYA ADE CP

eQuator.co.id – Tak banyak yang tahu siapa F. C. Palaunsoeka meski perannya cukup signifikan di dunia politik tanah air. Mungkin, sebuah biografi setebal 233 halaman buah tangan wartawan Kalbar bisa sedikit memuaskan rasa ingin tahu terhadap sosok politikus kawakan itu.

Nama Palaunsoeka sendiri sebenarnya asing bagi Sang Pengarang Biografi, Dismas Aju. “Saya dikritik habis-habisan sama teman wartawan di Jakarta. Kata mereka, kenapa saya orang Kalimantan Barat tidak membuat buku soal Palaunsoeka,” tutur Aju dalam jumpa pers di Ramin Room Hotel Mercure, bertepatan dengan Hari Buku Nasional Selasa (17/5).

Sejak itulah, dia mencari tahu. Dan, akhirnya, Aju menyadari kiprah Palaunsoeka begitu amat banyak untuk Indonesia. Biografi tersebut diberinya judul ‘F.C Palaunsoeka, Pendiri Partai Persatuan Dayak dan Harian Kompas’.

“Buku yang saya tulis ini, jujur, jauh dari sempurna. Namun pihak keluarga (Palaunsoeka,red) mendukung saya untuk menerbitkan buku ini. Dalam penelusuran data-data, banyak hal yang mengejutkan bagi saya tentang sosok F.C Palaunsoeka,” terangnya.

Franciscus Conradus (F.C.) Palaunsoeka menghirup nafas pertamanya di Putussibau, Kapuas Hulu, pada 19 Mei 1923. Ia menghembuskan nafas terakhir di Pontianak pada 12 Agustus 1993.

Palaunsoeka berkarya di bidang pendidikan dan pemerintahan. Mengawali karir sebagai pendidik di salah satu Sekolah Katolik di Kalbar. Kemudian bekerja di kantor Dewan Kalbar. Berlanjut menjabat sebagai Controle Mantri di kantor Kepala Daerah Kalbar, Mantri Polisi Muda, dan Mantri Polisi nonaktif.

Atas desakan berulang kali dari Pastor Adikarjana SJ, seorang biarawan yang lolos dari sekapan tentara Jepang, Palaunsoeka mendirikan Dayak in Action (DIA) pada 30 November 1945. DIA merupakan embrio lahirnya Partai Persatuan Dayak (PPD) tahun 1946.

Langkah politik Palaunsoeka terhitung sangat dinamis. PPD mengantarkannya duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia menjadi wakil rakyat dari periode 22 Desember 1948  hingga 26 Maret 1988.

Namun, pada 1963, PPD dibubarkan karena tidak mencapai ketentuan minimal pada saat itu, yakni berada di lima provinsi. Bergabunglah Palaunsoeka dengan Partai Katolik. Partai tersebut berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Palaunsoeka pun menjabat Ketua DPF PDI Kalbar sejak 1973 hingga 1989. Walau terpilih kembali menjadi anggota DPR hasil Pemilu 1987, ia direcall karena menantang SK Nomor 059 Tahun 1986 DPP PDI tentang masa tugas anggota fraksi PDI di DPR yang maksimal dua periode.

Saat menjadi anggota DPR, Palaunsoeka bersama Frans Seda, Jacob Oetama, Petrus Kanisius (P.K.) Ojong, dan lain-lain, mendirikan Harian Pagi Kompas atas anjuran Menteri atau Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani. Presiden Soekarno menyetujuinya pada 28 Juni 1965.

Cikal bakal pendirian Harian Pagi Kompas kala itu bertujuan mengimbangi agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Harian Rakjat. Saat pertama kali terbit, Palaunsoeka merupakan Ketua Tim Penulis atau Penulis I, sekarang setara Pemimpin Redaksi. Sedangkan Jacob Oetama sebagai Penulis II.

Pada jaman itu, untuk mendirikan sebuah surat kabar tak gampang. Penerbitan harus memiliki 3000 pelanggan terlebih dahulu. Awalnya, harian tersebut diusulkan bernama Bentara Rakyat. Namun, Presiden Soekarno mengubagnya menjadi Kompas.

Dalam perjalanannya, Kompas  pernah dilarang terbit (dibreidel) karena memberitakan peristiwa G30S PKI dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Lambat laun, bersama Frans Seda, Palaunsoeka meninggalkan Kompas pada 1970. Kala itu, mereka memang tengah sibuk di bidang politik.

Lima tahun kemudian, 1975 hingga 1982, Palaunsoeka didapuk menjabat Staf Ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang secara khusus menganalisa pergerakan komunis di Eropa Timur.

Dalam buku tersebut, Palaunsoeka juga disebut-sebut sebagai satu dari beberapa politisi yang dipercaya Presiden Soeharto membantu proses integrasi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tahun 1975. Kiprah Palaunsoeka di bidang politik ini bisa dijadikan panutan bagi politikus generasi penerus karena dinilai tidak tamak akan kekuasaan.

“Buku ini akan diluncurkan di Ballroom Hotel Santika Pontianak pada Kamis 19 Mei nanti. Kenapa, karena bertepatan dengan hari lahirnya,” tutur Yohanes Eugenio Ranggau Barani, salah seorang putra Palaunsoeka.

Rencananya, peluncuran akan dibuka langsung oleh Gubernur Cornelis. Menghadirkan pula dua narasumber. Mereka adalah Grogorius Budi Subanar SJ, Dosen Program Pasca sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan Soedarto, Sejarawan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar.

Yohanes mengatakan, selama ini ia dan keluarga memang tidak mau kisah orangtuanya dibukukan. “Kami tergerak justru dari inisiatif orang lain yang mau menulis tentang orangtua kami. Kami melihat antusias orang itu (Aju, red) mulai di saat ia meminta data tentang orangtua kami. Dan, apa yang tertuang di buku tersebut adalah cerita ril,” paparnya.

Menurut Ketua Dewan Pendidikan Kalbar, DR Clarry Sada, isi biografi Palaunsoeka mengungkap hal-hal yang selama ini belum diketahui masyarakat luas. Salah satunya, pada 18 Nopember 1959, Palaunsoeka pernah mengirim surat kepada Anggota DPR perwakilan Kalimantan di Banjarmasin, Tjilik Riwut.

Surat tersebut meminta Tjilik mendukung Johanes Chrisostomus (J.C.) Oevaang Oeray untuk diangkat kembali menjadi Gubernur Kalbar. Sebagai upaya mendukung, selanjutnya pada 12 januari 1960, Tjilik Riwut mengirim surat ke Presiden serta Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Pada akhirnya, J. C. Oevaang Oeray pun menjadi Gubernur Kalbar pertama selama enam tahun sejak 1960.

“Tahun 1976, ketika masih menjadi anggota DPR dan merangkap menjadi staf ahli BIN, Palaunsoeka pernah menolak tawaran Presiden Soeharto menjadi Duta Besar (Dubes,red) Indonesia di Meksiko. Sehingga, pilihan kemudian jatuh kepada Benedictus Mang Reng Say,” jelas Clarry.

Meski terjalin, hubungan baik antara dua tokoh Dayak Kalbar ini mulai terganggu saat pembubaran PPD. Keduanya memiliki pandangan berbeda. Palaunsoeka masuk Partai Katolik dan Oevaang Oeray memilih Partai Indonesia (Partindo).

Pergantian Presiden Soekarno kepada Soeharto setelah Gerakan 30 September 1965 berdampak pada pemberhentian Oevaang Oeray sebagai gubernur. Ia dianggap pendukung setia Soekarno atau Soekarnois. Kriminalisasi terhadap Oevaang Oeray itu dapat dieliminir oleh Palaunsoeka karena hubungan baiknya dengan petinggi TNI dan Polri. Dan, Oevaang Oeray pun dibebaskan dari proses hukum.

“Akhirnya, manusia pasti kembali pada pangkuan Ilahi menuju kehidupan yang kekal dan abadi. Beliau (Palaunsoeka, red) menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1993 di kediaman Pontianak. Jasa beliau akan terukir dalam sejarah bangsa Indonesia dan akan menjadi tauladan bagi generasi muda,” pungkas Clarry (*)

Ocsya Ade CP, Pontianak