eQuator – Jakarta-RK. Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya menegaskan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) justru akan menciptakan resiko ketenagakerjaan bagi Indonesia jika dihadapi tanpa persiapan. Hal ini mengingat tenaga kerja nasional masih kalah bersaing dengan negara-negara lain.
Dia menambahkan, ada sejumlah tantangan besar bagi Indonesia dalam menghadapi pasar bebas masyarakat Asean. Di antaranya, masih tingginya jumlah pengangguran terselubung, rendahnya jumlah wirausahawan baru untuk mempercepat perluasan kerja. Sebagai perbandingan percepatan wirausahawan baru Indonesia baru sekitar 1,65 persen, sedangkan Singapura tujuh persen dan Thailand empat persen.
Belum lagi, di sektor ketenagakerjaan, pekerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja tidak terdidik sehingga produktifitas rendah.
“Pengangguran di Indonesia tertinggi diantara 10 negara ASEAN anggota MEA lainnya,” ujar Tantowi Yahya saat seminar umum bertema “MEA : Antara Nasionalisme dan Pasar Bebas Tenaga Kesehatan”, di Universitas MH Thamrin, Jakarta Timur, Sabtu (28/11).
Kemudian, tambah Tantowi, sektor informal masih mendominasi lapangan pekerjaan. “Di mana sektor ini justru belum mendapat perhatian dari pemerintah,” ucap Tantowi.
Salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia saat ini, yakni menyiapkan generasi muda yang terampil khususnya di bidang kewirausahaan, Iptek dan bahasa. Termasuk mendorong pemerintah dan DPR untuk menyiapkan seluruh infrastruktur yang diperlukan.
Khusus untuk tenaga kesehatan, kata dia mengingatkan, sampai saat ini di Indonesia juga belum tumbuh dorongan atau kewajiban untuk mendapatkan sertifikasi internasional. Di bidang ini pula, tenaga analisis kesehatan nasional masih jauh tertinggal. Sebagai perbandingan, tenaga analisis kesehatan di ASEAN sebagian besar sudah berpendidikan S1. Sementara di Indonesia masih D-III.
“Perawat di Indonesia juga masih bersifat umum. Padahal ke depan, perawat pun harus memiliki spesifikasi penyakit tertentu,” paparnya.
Menurutnya, selama ini hampir satu juta orang Indonesia setiap tahun pergi ke luar negeri untuk berobat. “Kondisi ini menghabiskan devisa sedikitnya US$ 1,5 miliar atau sekitar 20 triliun rupiah per tahun,” ulasnya. (jpnn)