eQuator.co.id – SELARIK pesan pendek dari Mindanao, Filipina Selatan, mampir di ponsel teman saya. Bukan sekadar SMS, melainkan konfirmasi bahwa sejauh ini belum ada kemajuan negosiasi pembebasan sepuluh WNI yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf.
”Jadi, gimana ada negosiasi jika permintaannya bebas tanpa syarat,” kata teman saya, yang merupakan jebolan kamp pelatihan ikhwan jihadi di Mindanao pada akhir 1990-an. Sejauh ini, lanjut dia, tanpa uang tebusan, pintu negosiasi akan tetap tertutup.
Di sisi lain, dari perspektif pemerintah Indonesia, sangat berat memenuhi permintaan kelompok penculik. Menyerah begitu saja dengan memenuhi permintaan penculik tentu akan memicu gelombang penculikan warga Indonesia di mana-mana. Prinsip no negotiation with the terrorist memang wajar dianut pemerintahan mana pun, bukan hanya Indonesia.
Hanya, pertanyaannya, apakah prinsip itu sepadan dibayar dengan sepuluh nyawa manusia? Apakah Rp 15 miliar (apalagi ditambah kabar perusahaan para sandera itu sudah siap membayar) setara dengan sepuluh nyawa?
Menggelar operasi militer dengan cover latihan di perbatasan jelas bukan solusi. Kelompok Abu Sayyaf jelas bukan kelompok kemarin sore yang bisa ditakut-takuti dengan show of force latihan militer. Mereka sudah hampir 20 tahun bertarung dengan tentara Filipina. Termasuk dengan Ranger, Kopassus-nya tentara Filipina. Mereka survive dan bahkan hingga kini, pemerintah Filipina boleh dibilang nyaris tak punya kontrol atas wilayah tersebut.
Membebaskan sandera tanpa syarat jelas bukan opsi mereka. Seperti yang dikatakan mantan instruktur perang di Filipina, Ali Fauzi, negosiasi sebaiknya juga membawa uang. ”Dijajaki dulu. Jika perlu dibayar jika prioritasnya adalah keselamatan para sandera,” ucap tokoh senior Jamaah Islamiyah tersebut. Perkara nanti kelompok Abu Sayyaf diserbu setelahnya, itu urusan belakangan.
***
Ada sejumlah latar belakang yang perlu dipahami kenapa opsi membebaskan sandera tanpa syarat itu nyaris mustahil. Yang pertama adalah faktor ekonomi. Sejak awal, motif penculikan adalah soal ekonomi. Sebagai organisasi, Abu Sayyaf sudah terpecah menjadi dua faksi besar. Yang pertama adalah faksi Isnilon Hapilon yang berbasis di kawasan Zamboanga, Basilan, dan sebelah utara. Merekalah yang punya akses langsung ke ISIS dan mendapat sokongan dana lumayan dari Timur Tengah.
Yang kedua adalah faksi Rodulan Nasiron. Faksi itu sebenarnya “pewaris” sah setelah dinasti Janjalani tak lagi menguasai pucuk pimpinan Abu Sayyaf. Kelompok itulah yang melakukan penculikan terhadap para WNI dan warga dari sejumlah negara lain.
Rodulan Nasiron menjalankan organisasi seperti awalnya, yakni membaur dengan masyarakat setempat. Meski dianggap jahat dan barbar oleh dunia internasional, Rodulan dikenal sebagai Robin Hood oleh warga setempat. Tiap hasil penculikan selalu mereka bagi. Pemimpinnya dikenal sebagai Commander Puthul (Komandan Buntung karena tangan kanannya sebatas siku akibat luka perang). Juga, banyak kesamaan bahasa antara warga Mindanao dan Indonesia. Contoh lainnya adalah buaya, gurami, dan kue dodol. Itu hanya mengambil secukupnya. Dan tak pernah terlihat bermewah-mewah.
Dengan pola seperti itu, tentu saja dia sangat butuh banyak biaya. Baik untuk pembiayaan milisi maupun dibagi dengan masyarakat. Kelompok itu tak punya akses ke ISIS. Artinya, tak ada donasi dari Timur Tengah. Melakukan fa’i (perampokan atas nama syariat) juga bukan opsi menarik. Hasilnya tak sepadan dengan risikonya.
Satu-satunya yang paling murah dan mungkin dilakukan adalah pembajakan dan penculikan di laut. Mereka punya skill mumpuni di laut, sementara kontrol Angkatan Laut (AL) Filipina lemah. AL Filipina tergolong yang paling lemah di ASEAN, jauh di bawah TNI-AL. Sebuah pilihan yang sempat akan dilakukan Dulmatin di Laut Banda jika saja tak terbunuh dalam raid aparat Indonesia pada 2008.
Dengan latar belakang seperti itu, tentu saja mereka tak akan mudah untuk melepaskan sandera begitu saja. Mereka sudah mengeluarkan ongkos lumayan ketika melakukan operasi pembajakan, masak mau melepas begitu saja. Mereka juga paham bahwa TNI tak akan mudah menggelar operasi militer di hutan-hutan kawasan Sulu. Kalaupun iya, mereka juga sudah siap. Toh, mereka sudah terbiasa berperang melawan tentara Filipina.
***
Seharusnya yang dilakukan sejak awal adalah melakukan negosiasi bawah tanah dengan para penculik. Banyak sekali orang Indonesia yang punya kontak dengan kelompok Rodulan. Seperti kata Ali Fauzi, yang penting sandera selamat dulu.
Baru langkah selanjutnya adalah memastikan agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Entah dengan menggelar operasi gabungan tiga negara (Malaysia, Indonesia, dan Filipina) yang dulu sukses diterapkan untuk menghabisi kelompok perampok di Selat Malaka atau sekadar berpatroli bersama. Mengetahui ada satu kelompok teroris sadis yang bebas berkeliaran di satu kawasan seharusnya sudah menjadi lampu kuning bagi tiga negara itu untuk melakukan sesuatu. (*)