eQuator.co.id – Putussibau-RK. Hampir 70 persen masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan berladang. Larangan membakar hutan dan lahan ditentang masyarakat.
Melalui Forum Ketemenggungan Masyarakat Adat Kabupaten Kapuas Hulu, warga menyampaikan aspirasinya. Ratusan masyarakat melakukan audiensi disertai aksi damai beradat di gedung DPRD Kapuas Hulu, Rabu (27/7) pagi. Kedatangan forum masyarakat adat disambut Ketua DPRD beserta wakil. Hadir juga Asisten I Setda dan unsur pimpinan SKPD, Waka Polres dan Dandim 1206 Putussibau.
Dalam pertemuan yang dihadiri seluruh perwakilan Ketemenggungan sub suku Dayak Kapuas Hulu itu, menuntut pemerintah dan pihak keamanan yang tengah gencar melakukan sosialisasi maklumat dan instruksi Presiden terhadap larangan membakar hutan dan lahan, harus mencari solusi dan memperjelas secara rinci penjabaran undang-undang dimaksud.
Diwakili oleh beberapa juru bicaranya Forum Ketemenggungan menegaskan, sosialisasi yang disampaikan pihak keamanan selama ini, dianggap tidak adil. Karena dalam penjabaran aturan tersebut tidak tuntas. Namun hanya memandang dari satu aspek. Akibat sosialisasi tersebut, masyarakat peladang pun resah, sehingga tidak berani membakar ladangnya.
“Maklumat tersebut mendenda masyarakat sebanyaknya. Ini membuat masyarakat takut. Hal ini sangat mengganjal masyarakat, daripada masyarakat bentrok dengan penegak hukum, maka kami perlu membicarakannya di sini, supaya ada solusi dan pengecualian. Karena sudah ada yang tebang tebas dan siap bakar. Kalau ladang tidak dibakar, masyarakat kelaparan,” tegas Bato mewakili Forum Ketemenggungan di ruang sidang Gedung DPRD Kapuas Hulu.
Meminta pemerintah mencarikoan solusi agar pembakaran ladang tetap dilakukan, juga disampaikan Paulus. Menurut dia, masyarakat sudah terlanjur menebas dan tebang kayu untuk ladang.
“Kami tau persis resiko kalau masyarakat bertindak. Karena masih banyak masyarakat tidak tahu larangan bakar lahan ini. Kami bukan menantang pemerintah, tapi ingin koordinasi, kami minta keadilan dan solusinya,” tegas Paulus.
Mewakili Ketemenggungan suku Dayak Suruk, Andrian Odang menegaskan, saat ini masyarakat di Desa Suruk mengeluh dengan sosialisasi dan maklumat yang disampaikan itu. Bahkan masyarakat mempertanyakan nasib mereka ketika tidak berladang.
“Tadi bahkan ada yang menenteng anak, mereka mengeluh siapa yang kasih kami makan, siapa yang biayai anak kami sekolah. Masyarakat perlu membiayai hidup, memelihara keluarga. Masyarakat yang hidup berladang ini sudah turun-temurun,” tegas Odang
Sedikit Odang menguraikan, berladang bagi masyarakat sudah menjadi tradisi. Karena setiap hendak membuka areal ladang harus melalui berbagai tahapan yang disertai dengan ritual-ritual adat hingga masa panen. Pun kata dia masyarakat telah memiliki teknik khusus, agar saat pembakaran apinya tidak menyebar luas.
“Kami belum pernah diberi solusi, bagaimana kami tidak berladang. Cetak sawah baru dimulai, belum siap tanam. Maka kalau undang-undang diberlakukan, bagaimana solusi sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat peladang,” bebernya.
Selain itu, jika ditawarkan dengan pola persawahan, Paulus meminta cetak sawah dikelola secara serius. Pembangunan irigasi yang memadai, penempatan PPL difungsikan secara maksimal. Karena kata Odang, masyarakat tidak pernah dikasi tahu teknik berswah, berikut sistem pengelolaannya yang baik seperti apa.
Forum Ketemenggungan dengan tegas menolak dilakukan penangkapan terhadap masyarakat yang membakar ladang. Karena sebelum aturan tersebut diberlakukan, harus ada solusi. “Jika masyarakat peladang ditangkap karena membakar, tidak akan muat penjara. Bayangkan kami masyarakat Suku Suruk hampir 5000 jiwa, penuh penjara kalau kami ditangkap,” pungkasnya.
Sementara F. Kombong mengungkapkan, sosialisasi yang disampaikan selama ini tidak menjabar secara utuh seluruh undang-undang. Misal dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009, Pasal 69 ayat 2. Kemudian PP Menteri Lingkungan Hidup No. 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan dan Pencemaran Lingkungan Hidup, berkenaan dengan kebakaran hutan dan lahan.
“Masyakarat yang melakukan pembakaran maksimal dua hektare, untuk ditanami jenis varitas lokal wajib melapor ke Kades. Menurut kami bila aturan tersebut dilaksanakan secara mentah-mentah, sangat merugikan masyarakat peladang.
“Perlu kita bandingkan berapa besar ladang dibandingkan untuk perekebunan sawit. Aturan itu akan menggilas masyarakat peladang kalau diterapkan. Karena ketergantungan masyarakat hanya berladang. Selama ini ada solusi sedikit yaitu pembukaan lahan di setiap kecamatan. Belum menyentuh desa dan ketemenggungan, itu baru pencetakan. Tapi belum bisa dimanfaatkan,” tegas Kombong.
Maksud dan tujuan pihaknya kata Kombong, bagaimana mencari solusi. Jangan sampai undang-undang tersebut datang membunuh masyarakat.
“Kami tidak mau mati karena undang-undang itu. Maka beri sikap Anggota DPRD yang menjadi wakil rakyat. Karena kebanyakan aturan ini dibuat memakai patokan Jakarta. Mereka di Jakarta tidak beladang,” kesal Kombong.
Senada disampaikan Muslimin, bahwa peraturan yang sudah disosialisasi tidak cocok diterapkan. Karena bertentangan dengan tradisi. Ia menuding, kabut asap bukan karena pembakaran ladang, tapi akibat pembukaan areal perkebunan yang dilakukan saat musim ladang tiba. Selain itu sistem pembukaan lahan ladang bukan seperti untuk perkebunan.
“Dalam sosialisasi tidak disampaikan spesifik. Maka anggota dewan sebagai wakil rakyat, cari solusi. Karena rakyatmu menjerit dengan aturan tersebut,” ujar Muslimin.
Ditambahkan Dominikus Uyub, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kapuas Hulu. Masyarakat peladang tengah resah dengan sosialisasi maklumat yang disampaikan pihak keamanan.
“Di sini tidak kenal sawah, disini berladang yang dikenal. Penyampai sosialisasi hanya menjabarkan tentang banyak dampak, tapi bagaiamana dampak masyarakat adat yang berladang?” tanya Uyub.
Padahal kata dia, sistem berladang tersebut merupakan kearfian lokal. Juga dijabarkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009, serta Permen LH No. 10 tahun 2010 pasal 4 ayat (1). Namun menurut dia, aturan tersebut seakan mengkambinghitamkan masyarakat. Bahkan dibaliknya Uyub menuding ada andil perusahaan perkebunan yang memanfaatkan situasi tersebut.
“Banyak masyarakat ditangkap karena bakar lahan. Penangkapan itu sendiri dilaporkan oknum perusahan kepada polisi. Kami mohon undang-undang ini disosialisikan juga ke pihak perkebunan. Karena selama ini sumber asap datang dari daerah yang banyak lahan konsensi perkebunan, seperti Riau, Sumatera, Kalimantan. Masyarakat jadi korban. Maklumat ini bisa dihukum adat. Karena sosialisasi ini tidak jelas. Masyarakat dilarang cari makan. Sementara sawah aja belum siap,” tegas Uyub.
Jalankan Instruksi Presiden
Menjawab aspirasi yang disampaikan Forum Ketemenggungan Masyarakat Adat Kabupaten kapuas Hulu, Komandan Kodim 1206 Putussibau Letkol. Kav. Budiman Ciptadi mengatakan, tahun lalu Kalimantan merupakan salah satu daerah terbesar penyumbang asap akibat Karhutla). Berbuntut dari hal tersebut, pemerintah bersikap tegas agar tidak terjadi lagi Karhutla. Maka melalui instruksi Presiden dan amanat yang disosialisasikan itu, diharapkan Karhutla tahun ini bisa dicegah.
“Dampaknya mengganggu banyak aspek, seperti perekonomian, kerugian negara, kesehatan, hubungan luar negeri, sekolah diliburkan. Coba kalau dana penanggulangan kabut asap dialihkan ke bidang lain yang bermanfaat,” kata Dandim.
Dikatakan Dandim, upaya sosialisasi yang disampaikan pihaknya itu, merupakan perintah yang harus dijalankan dengan melibatkan semua unsur keamanan. “Kita diminta datang untuk menjalankan isnstruksi Presiden. Itu perintah kepada kami selaku aparatur negara,” kata Budiman.
Dandim juga meminta masyarakat memahami kondisi daerah secara menyeluruh, terhadap dampak Karhutla tersebut. Sehingga perlu dikaji sistem pembukaan lahan dengan cara bakar.
Kemudian lanjutnya, pemerintah telah memberikan solusi dengan program cetak sawah, kerjasama Kementerian Pertanian dengan TNI. Saat ini sudah berjalan yang didukung dengan alat-alat pertanian.
“Menjadi solusi untuk meminimalisir pembakaran lahan. Kami sediakan hentraktor alat bajak dan tanam, untuk mendukung pelaksanana cetak sawah. Ini solusi pemerintah, bagaimana kita menyikapinya,” jelas Dandim.
TNI kata Dandim, juga tidak ingin anggotanya berbenturan dengan masyarakat. Karena masyarakat bukan musuh. “Namun kita bisa berkoordinasi. Kami tidak bisa bekerja maksimal, tanpa dukungan masyarakat. Karena kami bekerja untuk rakyat,” tegas Dandim Budiman.
Ditambahkan Waka Polres Kapuas Hulu, Kompol Dedi Setiawan, polisi hanya selaku pihak yang diberi amanah untuk meneruskan instruksi dari Presiden. “Kami mohon maaf kalau belum maksimal melakukan sosialisasi itu. Larangan tersebut bukan dari Polres,” kata Dedi.
Dedi menjelaskan, jika ternyata sosialisasi larangan pembakaran hutan dan lahan tersebut menimbulkan kecemasan di masyarakat, artinya bertentangan dengan tugas kepolisian. “Kami tidak ingin membuat masyarakat cemas, karena kita mensosialisasikan. Sosialisasi kami bukan untuk menangkap masyarakat,” tegasnya.
Karena kata dia, maklumat tersebut dilakukan disetiap daerah, sebagai wadah untuk sosialisasi. “Maka dalam undang-undang juga dijelaskan masalah sanksi dan kearifan lokal. Pembukaan lahan tanpa bakar, bisa dilakukan mekanik dan kimiawi,” tuturnya.
Dedi menyampaikan permohonan maaf, jika anggotanya tidak maksimal menyampaikan sosialisasi. “Kami mengamankan pelaksanaan undang-undang. Ini butuh pemahaman dari masyarakat untuk langkah ke depan. Jangan sampai pemahaman masyarakat berputar yang menganggap kehadiran kami membuat resah,” ucap Dedi.
Perlu Dibentuk Tim
Menanggapi keluhan masyarakat atas himbauan pemerintah yang tidak membolehkan pembakaran hutan dan lahan termasuk untuk ladang, Anggota Komisi A DPRD Kapuas Hulu, Fabianus Kasim menginginkan adanya solusi terbaik. Sehingga masyarakat tidak berbenturan dengan kebijakan pemerintah.
“Masyarakat tentu mencari perlindungan. Karena mereka ini adalah masyarakat kita. Jangan saling mempermasalahkan, yang perlu dicari itu solusi. Masyarakat berladang berpindah kenapa? Itu bukti pemerintah tak adil dalam menata sistem pertaninan di Indonesia ini,” kata Kasim.
Kasim mengkritisi, program cetak sawah yang sudah direalisasikan pemerintah, juga belum menunjukkan hasil maksimal. “Percetakan sawah baru kemarin, sebenarnya ladang itu hanya alternatif terakhir,” katanya.
Maka menurut Legislator Partai Hanura ini, solusinya mau tidak mau, suka tidak suka harus dengan membakar. Namun secara terkoordinir, terjadwal dan dengan teknik tertentu.
“Sekarang sudah memasuki musim ladang dan siap dibakar. Maka harus ada solusi dari pemerintah. “Saya tahu persis kehidupan masyarakat pedalaman yang menggantungkan hidupnya berladang ini,” imbuhnya.
Ditambahkan Anggota Komisi B, Karyo Sumadi, aturan larangan membakar lahan memiliki celah untuk direvisi. Karena hukum itu harus taat dengan kekuasaan. Karena yang membuat hukum itu adalah orang yang berkuasa saat ini.
“Undang-undang ini juga bisa kita pertimbangkan untuk diusulkan ke pusat. Bisa dibentuk tim, kita bisa menghadap gubernur, hingga ke pusat,” kata Karyo.
Masih dari Anggota Komisi B, Budi Harjo menyampaikan, maklumat dan instruksi Presiden yang disosialisasikan kepada masyarakat tersebut seolah-olah terlambat. Karena masyarakat peladang sudah menebas, menebang dan siap membakar. “Baru isntruksi datang. Sekarang tinggal ada keberanian atau tidak. Silakan pertemuan hari ini kita konsultasikan. Tinggal bagaimana caranya,” ujar Budi.
Senada dengan Anggota Dewan lainnya, Budi menilai bahwa sistem lahan sawah yang sudah ada, belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat. “Kami ingin berubah dan mengubah nasib, tapi tidak berdaya. Kami harus melakukan ini, tapi undang-undang melarang,” katanya.
Anggota Fraksi Golkar DPRD Kapuas Hulu H. Wan Taufikorahman menyarankan, dibentuk tim yang terdiri dari berbagai unsur, DPRD, Pemda dan dewan adat. “Apa kegiatan programnya, mungkin bisa kita bawakan ke pusat untuk merubah kebijakan yang sudah ditetapkan.
Laporan: Andreas
Editor: Hamka Saptono