eQuator.co.id – Pontianak-RK. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching di Sarawak, Malaysia merilis jumlah tahanan Warga Negara Indonesia (WNI) di Bintulu, Sarawak. Tak tangung-tanggung, jumlahnya mencapai 64 orang.
“Mereka semuanya laki-laki. Jumlah tersebut, 59 orang darinya merupakan narapidana dan lima orang POCA,” kata Windu Setiyoso, Pelaksana Fungsi Konsuler 1 KJRI Kuching, Selasa (6/9) sore.
POCA merupakan kepanjangan dari Prevention of Crime Act yang lebih dikenal dengan sebutan Akta Pencegahan Jenayah (UU Pencegahan Kejahatan) 2014, sebuah UU yang disahkan untuk menangani kejahatan seperti samseng (premanisme), jenayah terancang (kejahatan terencana), dadah (Narkoba) dan perdagangan manusia.
Pada awalnya, UU POCA ini hanya berlaku di Semenanjung, Malaysia. Namun setelah amandemen, UU ini diperluas ke Sabah dan Sarawak. Pemerintah Malaysia sendiri setiap lima tahun sekali membuat penelitian tentang UU ini. Memastikan apakah tindakan dari UU ini masih relevan diberlakukan atau tidak di negara Jiran itu.
Lanjut Windu menerangkan, para tahanan WNI kebanyakan dari mereka yang tersandung kasus atau melanggar Akta Dadah Berbahaya (UU Kejahatan Narkoba) 1952 dan UU Keimigrasian. “Untuk para narapidana pelanggaran UU Keimigrasian saja, mereka dihukum antara tiga sampai enam bulan hingga 12 bulan. Mereka ini yang biasa tak miliki passport,” katanya.
Sementara itu, lanjut Windu, untuk kejahatan dadah atau Narkoba, para pelakunya bisa dipenjara selama lima tahun atau seumur hidup. Namun, hukuman bagi narapidana yang melanggar pasal lainnya juga bervariatif. Dari yang dihukum penjara hanya beberapa bulan, hingga ada yang hanya dihukum cambuk. “Khusus WNI di tahanan Bintulu tidak ada yang divonis hukuman mati,” terangnya.
Data yang dirilis KJRI ini merupakan data yang didapat dari kunjungan rutin KJRI ke setiap tahanan di Sarawak. “Saya dan staf lainnya tadi pagi ke tahanan Bintulu. Dalam rangka melaksanakan kunjungan rutin setiap enam bulan sekali,” ungkap Windu.
Dalam kesempatan kunjungan ke tahanan Bintulu, Windu menyampaikan amanah Kepala Perwakilan KJRI Kuching, Jahar Gultom kepada setiap tahanan WNI. Tahanan diminta untuk menjaga sopan santun dan perilaku selama berada di dalam penjara Bintulu. “Bagaimana pun juga, mereka mewakili nama baik Indonesia,” katanya.
Selain itu, tahanan juga diminta untuk tidak berbuat keonaran dan kerusuhan di dalam penjara. Baik antarsesama tahanan WNI maupun dengan tahanan WN lainnya. “Ya, kita minta mereka mengintrospeksi diri sendirilah, terkait dengan kehilafan dan kesalahan di masa lalu. Sehingga membuat mereka terpaksa masuk ke dalam penjara,” lanjutnya.
Tahanan Indonesia diharapkan dapat berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama, atau kejahatan lainnya, bilamana mereka sudah bebas dari masa tahanan. “Tak kalah penting, mereka selalu diajak untk tekun beribadah dan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing,” tegas Windu.
Telah dijelaskan pula, lanjut Windu, tentang prosedur deportasi bagi mereka yang telah selesai menjalani masa hukuman di penjara Bintulu. Pada hari saat mereka bebas, akan dibawa oleh pihak penjara Bintulu untuk diserahterimakan kepada Depo Tahanan Imigrasi Bekenu atau Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim).
Windu menggambarkan, bahwa tahanan Bintulu yang baru beroperasi sejak April 2015 itu sangat ketat. Ponsel pun tidak boleh dibawa ke dalam. Dijelaskannya, sebanyak 64 WNI itu hanya di Bintulu, belum lagi ditahanan lainnya. Di seluruh Sarawak ini ada enam penjara yaitu di Puncak Borneo, Sri Aman, Sibu, Bintulu, Miri dan Limbang.
“Seringkali penjara-penjara di Sarawak ini juga menerima limpahan para narapidana dari Sabah, konon kabarnya banyak penjara di Sabah sana over capacity,” ujar Windu.
Laporan: Ocsya Ade CP
Editor: Hamka Saptono