Desa Mandiri, Bisa Ekspor Komoditi

Garuda Wiko: Siapkan Mahasiswa Untan Support Manajemen BUMDes

FOTO BERSAMA. Usai seminar ‘Membangun Desa Mandiri Sebagai Sabuk Ketahanan Ekonomi’, yang digelar di Ruang Rektorat Untan, Senin (7/10). Nova Sari-RK

“Ini harus menjadi perhatian pemerintah, peningkatan kapasitas SDM desa harus dilakukan segera” – Muammar, Koordinator Shabat Institute Pontianak

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Konsep membangun desa mandiri sudah dituangkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dalam indeks desa membangun, tak hanya memanfaatkan sumber daya alam (SDA) saja. Tapi bagaimana perekonomian masyarakat dapat terus berkembang.

“Kalau kita ingin meningkatkan ekspor, kita bisa, sebab beberapa komoditi sudah kita ekspor ke Malaysia, ekspor pisang, kemudian talas, talas kita paling bagus, dan juga komoditi lainnya,” ungkap Gubernur Sutarmidji dalam seminar internasional bertema ‘Membangun Desa Mandiri Sebagai Sabuk Ketahanan Ekonomi’, yang digelar di Ruang Rektorat Untan, Senin (7/10).

Selain SDA, ia melanjutkan, yang perlu dikembangkan adalah bagaimana supaya sektor lainnya berkembang. Sektor pertanian, perikanan, maupun perkebunan dapat terus tumbuh. Dan ini sangat penting.

“Bahkan kalau ini bisa ditumbuhkembangkan, tentunya seluruh desa sudah menjadi desa mandiri, dengan salah satu BUMDes (Badan Usaha Milik Desa)-nya sehat,” tuturnya.

Gubernur menilai, jika Kalbar memiliki 1.500 BUMDes yang mampu menghasilkan produk ekspor, ini merupakan nilai tambah. Dan secara tidak langsung berdampak kepada perekonomian masyarakat di desa. Termasuk dapat membuka lapangan pekerjaan baru.

“Kalau ada 1.500 desa, dan ada BUMDesnya yang dapat menampung empat orang saja, berapa ribu tenaga kerja yang diciptakan tiap BUMDes,” kata Midji, akrab ia disapa.

Apalagi kalau BUMDes bisa mengembangkan usaha lainnya, lebih bagus. Peluang ini terbuka, misalnya mengolah minyak makan.

“Bagaimana masyarakat mengolah kopra yang tadinya harga turun bisa meningkat dan bisa memotong rantai pasar yang panjang, tentu ini sangat bagus,” ujarnya.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo, yang turut hadir, mengatakan bahwa pengembangan desa mandiri bukan tak mungkin. Khususnya di Kalbar, ia melihatnya sebagai potensi untuk membantu percepatan pengembangan provinsi ini.

“Tentu prioritas pemerintah harus diletakkan di situ, sebab banyak benefitnya, tentu dari BI pembiayaan harus digerakkan, dan bagaimana pendampingan yang diberikan, dalam hal ini BI terus mendukung kebijakan pemerintah,” ungkap Dody.

Namun, ia menerangkan, dalam hal ini bukan kewenangan BI. Tapi dalam konteks sektor riil, pihaknya bisa ikut berkoordinasi, kerja sama dalam  konteks advokasi.

“Di Kalbar, BI masuk untuk membantu masyarakat dalam konteks mengatasi permasalahan sosial ekonomi. Dari sisi ekonomi bagaimana membantu UMKM, termasuk pondok pesantren dapat tumbuh secara berkelanjutan, inklusif. Artinya bagaimana membantu menjaring banyaknya tenaga kerja,” paparnya.

Senada, Rektor Universitas Tanjungpura, Garuda Wiko. Ia menyatakan akan terus mendukung komitmen Gubernur Kalbar dalam membangun desa mandiri ini. Termasuk mempersiapkan mahasiswa Untan agar memiliki kemampuan yang baik dalam rangka mensupport kemampuan manajemen di BUMDes.

“Kalau ada hal-hal tertentu yang bisa dilibatkan dari sisi universitas, tentu kita akan berpartisipasi, baik itu dari segi tenaga ahli atau manajemen dan sebagainya, kita berharap seminar ini bisa menghasilkan rekomendasi melingkupi berbagai aspek,” pungkasnya.

Harus Nyata, Bukan

Sekadar Perubahan Status

Galaknya mendorong desa mandiri di Kalbar ini diapresiasi banyak pihak. Termasuk lembaga kebijakan publik di Shabat Institute Pontianak. Muammar, koordinator institute itu, mengapresiasi komitmen Gubernur Sutarmidji dalam mendorong percepatan pembangunan desa mandiri.

“Kita menyambut baik target yang dipasang Pak Gubernur,” kata Muammar.

Namun, ia mengingatkan, pembangunan desa mandiri harus diwujudkan dengan nyata. Bukan sekedar hanya mengejar perubahan status saja. Artinya, pemerintah desa mesti menanamkan itikad yang sungguh-sungguh dalam menuju kemandirian. Bukan hanya sekedar kejar target memenuhi indikator saja.

“Menciptakan desa mandiri itu tidak sesederhana statusnya, tapi ada tanggung jawab moral yang harus dipikul,” sebutnya.

Menurutnya, desa yang berdaya adalah pondasi awal untuk beranjak menjadi desa mandiri. Dana desa (DD) yang dikucurkan pemerintah merupakan stimulus untuk desa mengembangkan potensinya. Karena itu, dana desa harusnya tidak hanya fokus membangun infrastruktur saja. Tetapi mesti dimaksimalkan untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi desa.

“Kita sama-sama tidak mengetahui, program dana desa ini akan bertahan sampai kapan,” ujar Muammar. “Kalau tiba tiba ini (DD) dicabut atas keputusan politik, maka desa akan kembali seperti dulu, hanya mendapat subsidi saja dari pemerintah, hal itu bukan tidak mungkin,” timpalnya.

Maka, dipaparkannya, dana desa yang dikucurkan pemerintah dengan jumlah miliaran tersebut harus dimanfaatkan dengan baik. Dengan memperbanyak program-program yang berbasis pengembangan potensi ekonomi yang bisa dikelola oleh pemerintah desa.

Lewat modal dana desa, Muammar menjelaskan, pemerintah desa mestinya mampu menciptakan kemandiriannya. Bisa menciptakan usaha-usaha desa. Sehingga di kemudian hari desa punya pendapatan sendiri.

“Mampu membiayai pembangunan secara mandiri, tidak lagi mengandalkan dana desa yang disubsidi pemerintah,” tukasnya.

Hanya saja, imbuh ia, saat ini kenyataanya masih banyak desa yang belum berani menciptakan BUMDes. Persoalannya karena lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada di desa. Sehingga sulit menciptakan konsep membangun BUMDes yang benar.

“Ini harus menjadi perhatian pemerintah, peningkatan kapasitas SDM desa harus dilakukan segera,” pungkas Muammar.

 

Laporan: Nova Sari, Abdul Halikurrahman

Editor: Mohamad iQbaL