Debat atau Cerdas Cermat?

Kritik Generasi Milenial Kalbar terhadap Debat Pertama Pilpres 2019

Rival Aqma Rianda

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Euforia usai debat perdana pemilihan presiden (Pilpres) 2019 masih terasa. Perbincangan mengenai debat itu masih hangat di warung-warung kopi. Pun jadi bahan diskusi yang hot bagi sejumlah generasi milenial. Yang kebanyakan tahun ini mendapatkan hak pilihnya.

Rakyat Kalbar sempat mencermati sejumlah grup bincang-bincang para anak muda itu di media sosial. Berbagai pandangan mencuat dari mereka.

Bagi Kepala Bidang Pemilu dan Demokrasi Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Demokrasi Kalbar, Maryadi Sirat, debat pertama Pilpres 2019 itu kurang berpengaruh dalam membantu generasi milenial menentukan pilihannya. “Karena kita memandang Capres dan Cawapres dalam debat perdana tidak spesifik dalam menawarkan program kepada masyarakat, khususnya kepada pemilih milenial,” ujar Maryadi kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (19/1).

Umumnya, menurut dia, karakter generasi milenial rata-rata melek informasi. Hidup mereka banyak dicurahkan untuk aktif di dunia maya. Terkoneksi satu sama lain melalui media sosial.

Maryadi meyakini, tanpa adanya debat kandidat Capres-Cawapres sekalipun, anak muda Indonesia sudah mendapat informasi seputar visi misi serta program dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Ia menilai letak berpengaruh atau tidaknya keseluruhan debat terlihat pada debat perdana tersebut.

Sebab, Maryadi berpendapat, masyarakat hanya disuguhkan retorika semata. Tanpa terselip visi misi dan program di dalam setiap argumentasi yang disampaikan para kandidat.

“Ada penyampaian visi misi, itupun di segmen awal, setelah segmen berikutnya banyak pembicaraan yang bisa dikatakan tidak menyentuh visi misi dan program,” ungkapnya.

Sehingga, ia melihat debat yang minim akan argumentasi visi misi dan program yang disampaikan terkesan hanya membawa banyak janji tambahan di luar visi misi masing-masing kandidat.

“Untuk membuat seseorang senang, hal itulah yang harus diperbaiki di debat Pilpres putaran kedua,” tutur Maryadi.

“Baik kualitas kontestannya maupun dari teknis debat itu sendiri, jangan sampai karena debat justru menyumbang angka Golput di kalangan milenial, karena debatnya yang terlalu normatif dan minim pemaparan visi misi dan program,” sambungnya.

Debat Pilpres, ia menegaskan, merupakan salah satu instrumen kampanye. Pada akhirnya, Maryadi menjelaskan, proses debat seharusnya memberikan pemahaman kepada rakyat tentang kandidat. Sebuah tolok ukur untuk menjatuhkan pilihan.

“Agar masyarakat menjatuhkan pilihan secara terukur, karena itu seharusnya para kontestan Pilpres lebih membahas hal yang subtantif,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pontianak, Rival Aqma Rianda menuturkan, tema yang diangkat dalam debat itu adalah tema yang sangat subtansi. Sehingga harus betul-betul ditanggapi serius oleh kedua pasangan Capres.

“Karena saya melihat tema ini kontekstual dengan kondisi kita hari ini,” ungkapnya kepada Rakyat Kalbar melalui pesan WhatsApp.

Salah satu contoh, menurut dia, beberapa hari ini yang terjadi yaitu masifnya gerakan intoleransi dan radikalisme. Nah, salah satu diantara tema debat tersebut yaitu terorisme.

Hanya saja, Rival menilai, dua Paslon tidak memberikan solusi yang konkrit untuk memberantas terorisme. Padahal isu terorisme ini sangat penting bagi keberlangsungan generasi muda kedepannya.

“Ini yang kemudian harus kita sikapi serius,” tuturnya.

Namun, ia menilai, jika dicermati betul pada debat Pilpres perdana itu, antara Paslon nomor urut 1 dan 2 saling melemparkan ide dan gagasan untuk masa kepemimpinan tahun 2019-2023.

“Tetap dalam gagasan, tidak ada yang substansi, salah satu contoh terkait masalah HAM, sebetulnya masalah masa lalu yang kemudian tidak ada habisnya,” terang Rival.

Imbuh dia, “Untuk menyelesaikan persoalan ini saya rasa harus disikapi serius, banyak kasus yang terjadi di masa lalu tetapi sampai hari ini tidak ada penyelesaian secara konkrit oleh pemerintah”.

Di sisi lain juga ada persoalan korupsi. Menurut Rival, konteksnya adalah bagaimana pemerintah menyelamatkan generasi muda. Karena budaya korupsi ini juga bagian dari masalah masa lalu yang harus diselesaikan.

Ia melihat di masa pemerintahan Jokowi ada tambahan anggaran untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan adanya tambahan anggaran itu apa yang kemudian menjadi terobosan dari KPK untuk memberantas korupsi.

“Belum lagi persoalan hukum yang substansi, Ini seharusnya kita sikapi dengan serius,” tegas Rival.

Diterangkan Ketua Pimpinan Cabang Pontianak Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM), Fadhil Mahdi, sistematika debat pertama itu masih banyak yang harus diperbaiki. Agar esensi debat itu benar-benar beradu gagasan.

“Debat itu bukan panggung sikut-sikutan, misalnya tiadakan saja space untuk pendukung paslon yang sedari awal membuat suasana debat riuh seperti lomba bulu tangkis,” tuturnya.

Bagi dia, debat versinya KPU ini hanya medium penyampaian visi misi dan agenda kerja para Capres Cawapres. Yang seharusnya menjadi panggung untuk membedah gagasan. Lewat argumentasi.

Ia mengusulkan agar pada debat selanjutnya semua atribut kampanye dihilangkan. Termasuk pendukung paslon yang membuat riuh. Pertanyaan yang diberikan pun harus dielaborasi terlebih dahulu. Dan lebih baik disampaikan panelis atau para pakar.

“Bukan oleh moderator, karena kami melihat tak ada bedanya debat Pilpres sama cerdas cermat pilpres,” tandas Fadhil.

Menanggapi hal ini, Ketua KPU Kalbar, Ramdan mengatakan, debat ini merupakan salah satu metode kampanye yang difasilitasi oleh KPU RI dan baru dilaksanakan satu kali. Dalam debat ini para Paslon menyampaikan visi misi serta program kerja.

“Termasuk menjawab berbagai persoalan berdasarkan pertanyaan atas tema yang sudah ditetapkan,” jelasnya.

Sehingga, pada akhirnya, kembali kepada masyarakat untuk memahami. Untuk menentukan pilihan mereka setelah melihat visi misi Paslon. Debat ini juga dilaksanakan dalam rangka proses pendidikan politik yang dilakukan secara bertanggung jawab.

“KPU ini kan memfasilitasi debat, hal yang telah disuguhkan kembali kepada masing-masing konstituen saja, untuk melakukan penilaian,” pungkas Ramdan.

 

Laporan: Rizka Nanda

Editor: Mohamad iQbaL