Cerita Keluarga Muslim Menyambut Ramadan di Rumah Panjai Dayak Iban

Sepenggal Catatan dari Jurnalis Trip Kompakh ke Kapuas Hulu (bagian 1)

MENENUN. Siti Khadijah tengah menenun di Ruai Rumah Panjai Dusun Sungai Pelaik Desa Malemba, Kamis (25/5) sore. OCSYA ADE CP

Beragam budaya dan religi hidup berdampingan dengan damai di Indonesia turun-temurun. Salah satunya, kehidupan masyarakat suku Dayak Iban di Rumah Panjai (betang/panjang) Dusun Sungai Pelaik, Desa Malemba, Kecamatan Batang Lupar.

Ocsya Ade CP, Kapuas Hulu 

eQuator.co.id – Kamis (25/5) lepas magrib, dari Ruai (ruang kumpul penduduk Rumah Panjai) terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran. Usut punya usut, ternyata seorang gadis kecil tengah mengaji di sana. Dia Dwi Putri.

Di usianya yang baru memasuki sepuluh tahun, mengaji sudah jadi rutinitasnya. Bocah kelas 2 SD ini pun telah hapal sejumlah surah.

“Dia tadi menghafalkan bacaan iqro’ saat dulu belajar ketika TK di Lanjak (desa lain di Kecamatan Batang Lupar),” tutur ibunda Dwi, Siti Khadijah, kepada sejumlah wartawan, Kamis (25/5) malam.

Penduduk di Rumah Panjai suku Iban ini menganut agama Nasrani. Hanya keluarga Siti yang memeluk Islam. Meski berbeda keyakinan, mereka tetap harmonis. Simbol kebhinnekaan yang hidup di satu atap dan satu lantai.

Dwi Putri sendiri merupakan anak kedua dari pasangan Yusuf dan Siti Khadijah. Mereka tinggal di bilik nomor dua dari sebelas bilik yang ada di rumah peninggalan sang kakek dan neneknya itu.

Siti dulunya bernama Mariati. Perempuan berusia 44 tahun ini dibesarkan oleh orangtuanya di rumah tersebut. Sekitar 20 tahun lalu, ia kenal dan menikah dengan Yusuf, warga Nanga Silat, Kapuas Hulu. Siti memilih mengikuti agama Yusuf. Pria yang kini telah berusia 58 tahun itu memeluk Islam. Dan, Mariati pun berganti nama jadi Siti Khadijah.

Pernikahan mereka memang sangat ditentang orangtua Siti, Nyambung dan Ajar. Sebab, ia lebih memilih pindah agama mengikuti suami dibanding ikut kata orangtua yang beragama Katolik. Siti pun angkat kaki dan tinggal bersama suami di Semitau, masih dalam Kabupaten Kapuas Hulu.

Hasil pernikahan ini seorang anak laki-laki. Diberi nama Rendi yang saat ini berusia 19 tahun. Meski kecewa, orangtua mana yang tidak menginginkan cucu, apalagi Siti merupakan anak tunggal. Perlahan, Nyambung dan Ajar merestui pernikahan tersebut. Mereka meminta agar Rendi yang saat itu masih bayi ikut dengan mereka tinggal di Rumah Panjai.

Siti ingin bersikap adil. Ia merelakan Rendi tinggal bersama kakek dan neneknya di Rumah Panjai tersebut dan memeluk ajaran Katolik. Pun, Siti dan Yusuf dikaruniai tiga anak lagi yang mengikuti ajaran Islam. Selain Dwi, ada Ilham dan Lesra. Masing-masing berumur tujuh dan lima tahun.

Saat itu, keluarga kecil Siti hidup bahagia dan berkecukupan. Seiring suami mengidap tumor dan kanker otak, harta bendanya pun habis untuk berobat. Mereka pun pindah ke Desa Lanjak, Batang Lupar.

Pada akhirnya, lima tahun lalu, Yusuf meninggal. Sejak itulah, Siti harus bekerja keras untuk menafkahi ketiga anaknya.

Selang empat tahun meninggalnya sang suami, Siti pun ditinggal ayah dan kemudian Ibunya. Bilik nomor dua di Rumah Panjai peninggalan orangtuanya hanya didiami Rendi sendiri.

Alhasil, Siti memboyong semua anaknya dan bertahan hidup di Rumah Panjai bersama penduduk lain yang berbeda agama.

“Orangtua saya kedua-duanya sudah meninggal, jadi sementara waktu saya tinggal di Rumah Panjai ini dulu. Karena di sini saya bisa hidup tenang dan bisa menafkahi anak-anak. Di Lanjak susah, tidak ada keluarga dan siapa-siapa,” terang Siti.

Di Rumah Panjai, Siti mencari penghidupan dengan menenun, mencari ikan, dan berkebun. “Kalau di sini banyak keluarga. Jadi, kalau saya bekerja, ada yang bisa bantu jaga anak pas pulang sekolah,” sambungnya. Air matanya mulai menetes.

Meski kini tinggal bersama warga yang berbeda agama, begitu juga dengan Rendi yang beragama Katolik, Siti menegaskan akan tetap menjalani kehidupan sebagai seorang muslim. “Saya dan anak tetap salat di sini. Dwi juga masih mengaji dengan adik-adiknya. Jadi saya akan terus memeluk Islam. Sudah Islam jangan kembali lagi ke agama sebelumnya,” tegasnya yang kini mulai aktif mengikuti majelis taqlim.

Saat pertama kali kembali ke Rumah Panjai, lanjut dia, tak sedikit pun hambatan dari penduduk di rumah tersebut. Justru, masyarakat di Rumah Panjai yang menawari Siti untuk tinggal selama-lamanya di sana.

“Tunggu Rendi menikah, baru saya pindah dari Rumah Panjai,” ujarnya.

Sementara, ketika masyarakat Iban yang menganut agama Katolik di Rumah Panjai itu melakukan prosesi adat dan beribadah sesuai agamanya, Siti hanya melihat. Tidak terlibat.

Begitu pula saat ia menjalankan ibadah puasa nanti, harus bisa menyiapkan segalanya sendiri. Baik itu makanan untuk sahur dan berbuka. Khusus tarawih, ia dan anak-anaknya yang muslim mesti menyeberang ke dusun sebelah yang ada suraunya.

“Di Rumah Panjai kami hidup saling menghargai, karena keluarga mereka juga banyak yang Islam. Misal mereka makan makanan yang dilarang Islam, mereka tak mau kasih ke kami. Misal sudah magrib, dan tahu saya dan anak ambil air wudu, mereka tak ribut,” papar Siti.

Khusus Rendi, ia menyerahkan sepenuhnya kepada sang anak. Apakah tetap menganut Katolik atau hijrah ke Islam. Tiga adik Rendi pun telah mengerti bahwa mereka dan abangnya itu berbeda agama.

“Ketika adik-adiknya bertanya, si Dwi sudah bisa menjelaskan bahwa kita Islam dan mereka Katolik. Ilham dan Lesra tidak ikut kegiatan keagamaan dan ada di Rumah Panjai tersebut. Mereka hanya belajar bahasa Iban saja,” terangnya.

Rendi sendiri tak keberatan. Ia selalu menjaga keluarganya dan menghormati seluruh anggota keluarganya.

“Kalau saya dapat berburu babi hutan, saya masak di tempat lain, tidak di bilik mamak,” ujarnya. Intinya, kata Rendi, kehidupan di Rumah Panjai saling menghargai.

Bagi tokoh masyarakat Dusun Sungai Pelaik, Kaya, tidak ada masalah terkait perbedaan agama di Rumah Panjai. “Yang berbeda adalah agama, manusianya sama. Kami saling menghargai, baik soal makan, tradisi, dan adat maupun ibadah,” ujarnya.

Kisah Siti ini merupakan hasil liputan hari terakhir dari kegiatan tim Jurnalis Trip Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (Kompakh). Desa Malemba salah satu destinasi ekowisata dan wisata budaya, yang kini sedang dikembangkan oleh Kompakh melalui intervensi program TFCA (Tropical Forest Conservation Act) Kalimantan.

Kompakh melakukan pendampingan tentang pengelolaan destinasi yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan di beberapa lokasi di Malemba. Sebab, kawasan ini merupakan penyangga dan koridor Danau Sentarum.

Kegiatan yang Kompakh lakukan ini mendukung penuh program pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dalam upaya menjadikan sektor pariwisata, pada umumnya, dan ekowisata khususnya sebagai salah satu pilar pembangunan setempat.

Selain melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat peningkatan kapasitas warga dalam pengelolaan ekowisata yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan, Kompakh juga menganggap faktor promosi dan pemasaran adalah salah satu kegiatan yang sangat dibutuhkan. Kedatangan tim Jurnalis Trip Kompakh ke Dusun Sungai Pelaik ini pun disambut dengan tarian dan ritual adat budaya suku Dayak Iban. (*/bersambung)