Bunuh Diri Hantui Remaja Perkotaan, Pola Asuh Harus Berubah

ilustrasi. net

eQuator.co.id – Jakarta-RK. Masa remaja penuh fase transisi atau perubahan jati diri. Jika mereka tak dididik atau mendapatkan pola asuh yang tepat, remaja rentan mengalami stres di tengah lingkungan pergaulan yang rumit.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja adalah penduduk berusia 10 sampai 19 tahun. Pada masa remaja tersebut terjadi perubahan maturitas fisik menuju dewasa terutama organ reproduksi, dan disertai perubahan mental dan sosial.

Dalam masa transisi segala pergaulan bisa memengaruhi perilaku remaja. Bahkan tekanan atau tantangan yang dialami remaja bisa saja menimbulkan ide untuk bunuh diri jika tak didampingi dengan tepat.

Hal ini terungkap dalam tesis Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dari Universitas Indonesia (UI), ‘Deteksi Dini Faktor Risiko lde Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/ Sederajat di DKI Jakarta’. Dalam penelitiannya didapati 5 persen pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide bunuh diri.

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga, yaitu Early Adolescence (11-13 tahun), Middle Adolescence (14-18 tahun), dan Late Adolescence (19-24 tahun). Disebutkan oleh Paperny pada 2011, fase middle adolescence adalah fase yang sangat rentan karena remaja berpikir secara abstrak tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking.

Perkembangan bisa bersifat abnormal sehingga muncul perilaku risk taking pada remaja. Istilah risk taking didefinisikan sebagai bentuk problem perilaku yang mempunyai konsekuensi berbahaya tetapi secara bersamaan menghasilkan outcome yang dipersepsikan positif.

Misalnya, perilaku tersebut bisa berdampak buruk bagi dirinya maupun orang lain tetapi saat bersamaan adrenalin pun terpacu.

“Perilaku impulsif juga mendorong risoko bunuh diri. Apa itu impulsif misalnya suka tantangan yang macu adrenalin seperti bungee jumping. Tapi itu bukan gangguan ya,” katanya dalam konferensi pers baru-baru ini di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok.
Perilaku risk-taking juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti predisposisi endogen dan eksogen. Contoh faktor endogen adalah kognisi yang tidak matang, depresi, selfesteem yang rendah, jenis kelamin laki-laki. Model lingkungan termasuk sebagai faktor eksogen di antaranya adalah persetujuan teman sebaya, kurangnya supervisi orangtua, kegagalan di sekolah, dan/atau dampak media sosial seperti disebutkan dalam penelitian O‘Donohue tahun 2013.

“Untuk kasus bunuh diri pada remaja, salah satu hal penting yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini yang bertujuan untuk menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri pada remaja. Salah satunya adalah peran orang tua untuk memerhatikan perilaku anak-anak mereka dalam kesehariannya,” jelas dr. Nova.

Maka di tengah era media sosial dan digital, pola asuh juga berubah. Orang tua memiliki peran sentral yang bisa berkoordinasi dengan sekolah untuk mendeteksi dini ide bunuh diri. Dia meminta orang tua lebih peka untuk melihat adanya perubahan perilaku pada anaknya.

“Misalnya ada perubahan pada diri anak mereka, perlu dilakukan tindakan preventif. Dulu kan pasti mengalami semuanya, di sekolah bisa bicara dengan guru BK atau guru BP jika butuh bimbingan konseling,” jelasnya.

Dia berharap adanya koordinasi dan informasi yang terhubung antara pihak sekolah kepada orang tua. Dirinya menambahkan, kerja sama antara pihak sekolah dengan orangtua sangatlah penting untuk meminimalisasi ide bunuh diri. Salah satu indikasinya bisa dari prestasi anak.

“Tantangan remaja itu sudah berbeda sekarang. Orang tua harus memahami bagaimana pergeseran nilai-nilai sosial saat ini sesuai pola pikir remaja saat ini. Sehingga masalah pada remaja bisa diselesaikan,” tandasnya. (Jawa Pos/JPG)