Belum Tersentuh Layanan Listrik, Sering Dilanda Banjir

Kondisi sarana dan prasarana jalan di Desa Uluiwoi yang masih dalam tahap pengerasan. Daerah ini belum tersentuh layanan listrik PLN dan sering terancam dilanda banjir. Foto diambil, Minggu (15/5).

eQuator.co.id – Duet Tony Herbiansyah-Andi Merya Nur dalam meletakkan pondasi pembangunan di Kolaka Timur (Koltim) bakal membutuhkan kerja ekstra. Daerah yang baru mekar dua tahun lalu itu masih memilih sejumlah daerah yang tergolong tertinggal. Seperti kondisi Kecamatan Uluiwoi dan Ueesi yang belum tersentuh layanan listrik PLN. Kedua daerah itu juga kerap dilanda banjir saat musim hujan.

Ramadhan

Sekitar seratusan kilometer arah utara dari ibu kota Koltim, terdapat dua kecamatan yang masih sangat tertinggal. Uluiwoi dan Ueesi. Infrastruktur pembangunan masih sangat minim. Tak ada listrik, akses jalan belum teraspal, dan tak ada jaringan telepon selular. Kehidupan masyarakat terlihat masih tradisional dan belum tersentuh perkembangan teknologi dan informasi.

Warga Uluiwoi dan Ueesi membutuhkan waktu tiga jam menuju Ladongi. Mobilisasi warga minim. Pasalnya, tak ada sarana transportasi umum yang beroperasi untuk trayek Ladongi-Uluiwoi-Ueesi. Jika masyarakat memiliki kebutuhan mendesak di kota, mereka harus menggunakan mobil pengangkut hasil pertanian yang hendak ke kota. Jalanannya masih tahap pengerasan. Medannya ekstrem. Sulit ditembus bila menunggangi kendaraan roda dua tanpa modifikasi khusus. Jalannya berlumpur bila diguyur hujan.

Kecamatan Uluiwoi dan Ueesi memiliki penduduk sekitar 12 ribu jiwa. Kecamatan Uluiwoi lebih awal dilintasi sebelum mencapai ke Kecamatan Ueesi. Di Kecamatan Uluiwoi terbagi atas satu kelurahan dan 10 desa. Sedangkan Kecamatan Ueesi ada 11 desa tanpa kelurahan. Penduduk di dua wilayah tersebut 95 persen bekerja sebagai petani, sisanya pedagang dan pegawai negeri sipil. Ada 4 ribu jiwa lebih yang bermukim di Ueesi dan lebih dari 8 ribu jiwa berdomisili di Uluiwoi.

Untuk menembus Uluiowi-Ueesi harus melewati beberapa jembatan. Sebagian masih berkontruksi kayu. Bila tidak waspada, maka akan jatuh ke Sungai Konaweeha. Bahkan, ada pula tanpa jembatan. Harus menyeberangi sungai dengan kedalaman setinggi dada orang dewasa. Wilayah ini hanya dapat dilalui oleh mobil-mobil tertentu. Sedangkan kendaraan roda dua, harus menggunakan pincara (sarana penyeberangan) yang disediakan masyarakat. Ada tarif tertentu yang harus dibayar bila menggunakan jasa penyeberangan itu.

Bila dilihat sepintas, letaknya diapit oleh gunung dan Sungai Konaweeha. Bila hujan intens mengguyur, maka Sungai Konaweeha akan meluap. Rumah-rumah penduduk akan terendam air bah. Namun masyarakat telah terbiasa dengan kondisi itu. “Kalau hujan berhari-hari, maka Sungai Konaweeha akan meluap. Air naik dan masuk ke rumah penduduk,” celetuk seorang warga Kecamatan Uluiwoi.

Daerah ini nyaris tidak tersentuh pembangunan. Apalagi saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Kolaka. Pasca memisahkan diri dari kabupaten induk kondisinya masih serupa. Hanya secara administrasi saja yang berbeda, yakni mekarnya beberapa kecamatan. Uluiwoi, Ueesi dan Tinondo, dimana induknya adalah Kecamatan Mowewe. Sementara pasokan listrik untuk daerah itu tidak pernah dilakukan pemerintah. “Mungkin mereka lupa dengan janjinya saat Pilkada. Semoga mata para pemangku kebijakan terbuka melihat kondisi warganya yang tidak pernah mendapat suplai listrik,” kesalnya.

Penduduk setempat harus menggunakan ganset untuk mendapatkan aliran listrik. Ada pula yang masih menggunakan lampu pelita. “Daerah ini sangat tertinggal. Sejak Indonesia merdeka, tidak ada listrik dari PLN. Kita harus mengandalkan genset atau lampu pelita. Tapi sulit untuk memperoleh bahan bakarnnya,” ujar Sekretaris Camat Uluiwoi, Yahya saat ditemui, kemarin.

Ia mengatakan, seorang warga kehilangan nyawa akibat terbawa arus sungai. Kala itu, yang bersangkutan berusaha menyelamatkan diri karena mendengar informasi bila sungai Konaweeha akan meluap dan akan merendam rumah penduduk. Meluapnya Sungai Konaweeha dianggap masyarakat akibat maraknya ilegal logging. Hutan tidak mampu lagi menampung air, karena mulai gundul. “Hutan kita sering dirambah para pengusaha kayu. Tapi sangat sulit diantisipasi personel Dinas Kehutanan (Dishut). Semoga ada kesadaran bagi perambah hutan. Kasian masyarakat bila hutan terus dirambah. Pengusaha dapat untung tapi masyarakat dapat petaka,” katanya.

Camat Ueesi, Husain cukup prihatin dengan kondisi daerahnya. Masyarakat diperhadapkan dengan pilihan yang sulit. Pakai generator, biayanya mahal. Gunakan lampu pelita, sulit dapatkan minyak tanah. “Terpaksa hidup dalam kondiri gelap gulita,” ujar Husain saat ditemui di Sekretariat Bupati Koltim, kemarin (14/5). Luas wilayah Uluiwoi dan Ueesi, kata Husain sama dengan dua kali luas wilayah 10 kecamatan yang ada di Koltim. Daerah Ueesi berbatasan langsung dengan Kolut, Konawe dan Sulawesi Tengah.

Ia tidak mengetahui penyebab listrik belum masuk di Ueesi sampai sekarang. Apakah karena pemerintah yang tidak peduli atau medan yang tidak memungkinkan mendistribusikan listrik di sana. Atau karena keterbatasan anggaran. Yang jelas, kata dia beberapa bulan lalu telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Silui. Hanya saja sekarang tidak dapat difungsikan karena rusak usai diterjang banjir. “Seandainya PLTMH tidak rusak, itu dapat menerangi sekitar 200 rumah. Dan, itu telah dilakukan uji coba seminggu sebelum banjir merusak PLTMH Silui,” katanya. (*/b)