eQuator.co.id – Nasib para sopir angkot kian tak menentu. Banyaknya kendaraan membuat pelanggan setianya terus berkurang. Hal ini berpengaruh pada rupiah yang mereka dapatkan. Tak jarang penjual jasa transportasi ini pulang dengan tangan hampa karena uang yang mereka dapat hanya cukup untuk setoran dan bahan bakar saja.
Bagus Arya Susanto
UNTUK mendapatkan hasil lebih dari biasanya, Ambo Alla mulai beranjak dari rumahnya pukul 05.00 Wita, Kamis (31/3). Sopir angkot trayek G jurusan Harapan Baru-Pasar Pagi ini langsung mendatangi terminal di Jalan Cipto Mangunkusumo, Loa Janan Ilir. Ia buru-buru menuju papan antrean untuk mencatat nomor angkotnya.
Sembari menunggu nomor antreannya tiba, Ambo Alla berbincang ringan dengan rekan seprofesi. Untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih mendera, ia memesan secangkir kopi di warung tak jauh dari terminal ini.
“Hari ini (kemarin, Red) saya ke terminal mulai subuh. Berharap bisa tiga kali narik. Agar pendapatannya juga lebih banyak,” kata Alla.
Pukul 06.10 Wita, angkotnya sudah terisi delapan penumpang. Ia langsung menuju Pasar Pagi. Tak seperti mobil pribadi pada umumnya, pria berusia 63 tahun ini memacu mobilnya dengan pelan agar mendapatkan penumpang tambahan di jalan. Karena kapasitas daya angkut kendaraannya sampai 14 penumpang.
“Memang aturannya tak boleh terlalu penuh kalau dari terminal. Supaya antrean tidak lama dan teman-teman yang lain kebagian penumpang,” terangnya.
Kali ini Alla kurang beruntung. Hingga melintas di Jembatan Mahakam, tak satu pun penumpang tambahan ia temukan. Dia pun mulai mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang, karena batas area pengambilan penumpang telah habis.
“Kalau di Karang Asam sampai Pasar Pagi itu jatahnya trayek A. Batas kami mengambil penumpang hanya sampai di seberang saja,” terangnya.
Sekitar pukul 07.20 Wita, Alla tiba di terminal angkot tak jauh dari Pasar Pagi. Sisa penumpang yang masih ada di dalam kabin pun turun dari angkotnya. Seperti biasa, satu orang dikenai tarif Rp 7 ribu. Satu per satu uang penumpang ia sambut dengan senyuman.
Agar nomor antrean tak begitu panjang, Alla pun kembali bergegas menuju papan antrean untuk mencatat nomor angkotnya. Lagi-lagi keberuntungan belum berpihak kepadanya. Di papan antrean sudah terdapat sekitar 50 angkot yang sudah mendaftar.
Tak mau berspekulasi, pria tiga anak ini memilih ikut antrean. Sembari menunggu keberangkatan angkotnya, ia menghabiskan waktu bercengkerama dengan beberapa sopir lain. Sesekali ia membatu mereka mencari penumpang, agar nomor antrean cepat berputar.
“Sampai sekarang saya belum jalan. Padahal ini sudah mau jam tiga sore. Berarti saya menunggu sudah delapan jam sejak datang tagi,” terangnya mengeluh.
Pohon ketapang yang rindang di pinggir Jalan Gajah Mada menjadi tempat beristirahat yang ideal baginya. Sembari menanti giliran, ia menceritakan sekelumit pengalamannya selama menjadi sopir angkot 10 tahun terakhir. “Dulu mobil kita belum berhenti, penumpang sudah penuh. Mau sembilan kali pulang pergi dalam sehari pun masih bisa. Tinggal tenaga saja yang disiapkan,” terangnya menceritakan masa jaya angkot.
Saat itu, Alla mengaku sangat mudah mendapatkan uang lebih dari pekerjaannya sebagai sopir. Bahkan untuk mencari setoran menurutnya kala itu menjadi hal yang sangat gampang. Selain dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia sering menyisihkan uangnya untuk ditabung.
“Waktu itu harga-harga barang tidak terlalu mahal. Pendapatan juga lumayan. Sebagian untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi disisihkan,” terangnya.
Roda terus berputar. Masa kejayaan itu akhirnya sirna. Saat ini mencari penumpang di jalan terbilang sukar. Bahkan untuk dua kali pulang pergi saja nyaris tidak mungkin. Setoran kepada pemilik angkot sebesar Rp 50 ribu per hari dan biaya membeli bahan bakar yang mencapai Rp 100 ribu per hari membuat ia sering pulang dengan tangan hampa. “Paling rata-rata sekarang bisa bawa uang Rp 20 ribu. Kalau sampai Rp 30 ribu itu sudah sangat besar bagi saya,” pungkasnya. (bersambung/nin)
Makanya dia menyebut, jika ada warga yang mencarter angkotnya untuk sebuah kepentingan, hal itu merupakan berkah yang tak terhingga. Karena dari hal-hal semacam ini, ia bisa mendapatkan uang lebih dari pekerjaannya itu.
“Biasanya yang mencarter angkot itu ibu-ibu pengajian. Hasilnya juga terbilang lumayan. Satu kali tarik ya bisa dapat Rp 100 ribu,” pungkasnya. (aya)eQuator.co.id