Secara kajian, Kaltim sangat layak jadi ibu kota negara. Kini tinggal keputusan politik dari Presiden Joko Widodo.
eQuator.co.id – BALIKPAPAN–RK. Tak ada lagi keraguan. Posisi Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai ibu kota negara kian kuat. Hal itu tergambar dalam peta yang dipresentasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rabu (21/8).
Dalam dialog nasional pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan di Ballroom Hotel Swiss-Belhotel Balcony, Balikpapan Ocean Square (BOS), Balikpapan, Benua Etam dianggap memenuhi kriteria penilaian sebagai ibu kota negara pengganti Jakarta. Poin demi poin keunggulan Kaltim dibanding provinsi lain dibeber Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata.
Berbatasan dengan Selat Makassar yang menjadi titik nol, Provinsi Kaltim terpapar langsung dalam pemetaan. Meski ada Kalsel dan Kalteng, Kaltim lebih strategis. Termasuk bebas dari ring of fire atau wilayah-wilayah yang terkena gempa. Yang membuat Sulawesi tersingkir sebagai kandidat ibu kota. “Dari peta bencana gempa bumi dan tsunami, provinsi calon ibu kota kondisinya bersih,” ujarnya.
Tujuh hasil penilaian dari Bappenas terhadap Kaltim pun meyakinkan. Mulai ketersediaan lahan hasil deliniasi, kuantitas sumber air, historis kebakaran hutan, dukungan infrastruktur penunjang, demografi penduduk hingga sisi pertahanan, Kaltim paling komplet. Meski ada kekurangan dari daya dukung air tanah, tak menjadi persoalan krusial. (selengkapnya lihat grafis).
“Saya lihat ada beberapa dan yang sudah dibangun PU (Dinas Pekerjaan Umum). Ini bisa jadi sumber (air) yang bagus,” katanya.
Rudy menyebut, kajian teknis pemindahan ibu kota negara sudah final. Dari pemilihan lokasi dari luar Jakarta hingga diputuskan di Kalimantan, penilaian terhadap provinsi kandidat, menghitung biaya pemindahan dengan dua skenario hingga skema pembiayaan pun dibuat sebagai langkah keseriusan pemerintah.
“Posisi kami tinggal menungguPresiden akan menunjuk lokasinya. Hasil dialog ini akan saya sampaikan ke Pak Menteri (Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro) untuk dilaporkan ke presiden,” ucapnya.
Rudi kemudian menegaskan, alasan presiden memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Tak ada yang berubah, Jokowi ingin di Kalimantan.
“Presiden ingin Indonesia Sentris. Bukan lagi Jawa Sentris,” ungkapnya.
Sementara itu, Gubernur Isran Noor menyatakan secara terbuka keinginannya menjadikan Kaltim ibu kota negara. Menurut dia, jadi kerugian pusat jika tak memilih Kaltim sebagai ibu kota negara.
Mengingat sejak lama, provinsi ini sudah memberikan sokongan ekonomi dari sumber daya alamnya. Dia pun menyinggung sejarah Kerajaan Kutai dengan keturunannya menyebar dan menjadi raja-raja di Jawa dan Sumatra.
“Jadi tak salah bila Kaltim menjadi pusat pemerintahan,” ujar Isran disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Dari sisi demografi penduduk, Isran menyebut, Kaltim paling toleran. Bahkan sangat welcome dengan pendatang. Ini terlihat dari komposisi etnis yang telah disebutkan dalam penilaian Bappenas. Dengan masyarakat yang heterogen cocok dengan cermin visi Indonesia. Ibu kota negara simbol identitas bangsa yang beragam suku.
“Jadi mana lagi yang tidak memenuhi syarat (jadi ibu kota negara). Enggak ada,” katanya.
Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto pun disebutnya bisa digunakan. Meski enggan memerinci lokasi, diyakini status kawasan yang disebutnya bukan hutan lindung itu bisa menjadi bagian dari lokasi ibu kota negara. Mengingat sebagian besar wilayah di sekitar areal rencana ibu kota baru diindikasikan telah dibebani perizinan, baik sektor kehutanan, pertambangan, maupun perkebunan.
Khusus untuk izin usaha pertambangan (IUP) yang masih berlaku, Isran menjamin bahwa IUP di areal rencana ibu kota dan sekitarnya tidak akan diperpanjang masa berlakunya jika memang lahan dimaksud dibutuhkan untuk pengembangan ibu kota.
“Kenapa saya tak mau kasih tahu lokasinya. Nanti banyak ‘tuan takur’ (spekulan tanah). Tapi kalau memang mau beli tanahnya silakan saja siap-siap rugi,” tantang Isran.
Selebihnya, Isran mengaku harus irit bicara. Sebab, dari kajian Bappenas pun secara keseluruhan itu telah dipenuhi Kaltim. Tinggal keputusan politik yang diambil presiden. Ditanya apa yang akan dilakukannya selagi menunggu keputusan itu, dia menjawabnya dengan berdoa.
“Doa sudah, Tahajud aja belum,” katanya.
Apalagi dalam dialog ini, dia mencatat tak ada pihak yang kontra dengan pemindahan ibu kota baru ke Kaltim. Pun dari tiga peneliti dari Universitas Mulawarman yang menjadi narasumber. Yakni Rustam Fahmi mewakili aspek lingkungan hidup, Aji Sofyan Effendi mewakili aspek sosial dan ekonomi dan Martinus Nanang mewakili sosial dan budaya.
“Semua aspek yang dimiliki Kaltim sudah kuat. Yang harus dilakukan adalah mengawal hasil kajian atau riset Bappenas ini di tingkat legislatif,” kata Aji Sofyan.
Dia tak melihat masalah di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Memiliki satu visi yang sama. Namun, fungsi parlemen tetap akan memengaruhi setiap hasil yang telah disepakati eksekutif.
Karena itu, meski jumlahnya tak ideal, peran politikus Kaltim di tingkat DPR dan DPD harus bisa memastikan tak ada perubahan dan sesuai hasil dalam kajian Bappenas. “Diskresi yang lain di Senayan sangat mungkin terjadi. Sebab, pengambilan keputusan juga terjadi di sana,” ungkapnya. (Kaltim Post/JPG)