eQuator.co.id – Jakarta-RK. Dibentuknya badan restorasi gambut, komitmen pemerintah mengatasi kebakaran hutan terutama di area gambut, seperti di Kalbar dan beberapa provinsi lainnya. Lahan gambut menjadi langganan terjadi kebakaran hutan dan lahan.”Komitmen bersama sangat diharapkan untuk mencegah kebakaran lahan di area gambut, agar tidak terulang kembali. Jangan saling salah menyalahkan, mari bersatu untuk bekerja dan menyelesai permasalahan yang terjadi,” kata Gubernur Drs. Cornelis, MH saat joint simposium Restorasi Gambut dan pencegahan kebakaran gambut, di Jakarta, Senin (30/5).
Adanya badan restorasi gambut, pemerintah daerah sangat terbantu. Terutama dalam penyelesaian masalah di lahan gambut.
“Moratorium yang telah dikeluarkan, tentunya sangat baik. Tidak ada lagi pembukaan lahan di area gambut,” ungkap Cornelis.
Cornelis berharap gambut yang rusak harus diperbaiki dan ditanami dengan tanaman yang cocok. Kemudian membuat bendungan untuk menjaga area gambut. Dirinya berharap perguruan tinggi dilibatkan dalam penaganan lahan gambut dengan mewujudkan teori yang tidak terlalu muluk sehingga tidak susah dimengerti.
“Buat saja yang mudah, agar bisa dikerjakan bersama masyarakat,” tegas mantan Bupati Landak itu.
Gubernur Cornelis juga meminta badan restorasi gambut memperkerjakan para pekerja dari daerah itu sendiri. Mereka lebih memahami daerahnya yang terdapat lahan gambut.
Salah satu penyebab kerusakan lahan gambut, karena pembelian Hak Penguasa Hutan (HPH) yang terlalu banyak dari sejak dulu.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Panjaitan menyambut baik keterlibatan universitas dalam restorasi gambut. “Pencegahan lebih baik,” katanya.
Selain itu Purnawirawan TNI bintang empat itu berharap teknologi memang harus dibutuhkan dalam penangan masalah. Di samping itu, sikap disiplin menjadi kunci utama dalam mengatasi setiap permasalahan.
Kepala Badan Restorasi Gambut, Nasir Poead mengatakan, kegiatan yang diadakan dalam rangka menjaga dan memulihkan ekosistem. Sumbangsih perguruan tinggi sangat diharapkan. “Dunia pendidikan sangat diharapkan mencatat sejarah dalam restorasi gambut,” kata Nasir.
Diungkapkan Nasir, ada 11 perguruan tinggi di Indonesia yang terlibat dalam restorasi gambut. Diantaranya Universitas Jambi, Riau, Tanjungpura, Lampung Mangkurat. Universitas Palangkaraya, Gajah Mada, ITB dan UNS. Upaya restorasi gambut melalui perbaikan tata kelola lahan yang meliputi perbaikan ekologi, ekonomi dan juga sosial. Memerlukan dukungan riset yang mendalam, serta aksi bersama restorasi dengan civitas akademika. Bagi perguruan tinggi merupakan entitas tersendiri dalam perubahan sosial.
“Mereka (perguruan tinggi) dapat mendorong restorasi gambut, menjadi titik awal membangun basis keilmuan dan gerakan sosial yang kuat,” ujar Nasir.
Larangan Bakar Lahan
Camat Bika Kapuas Hulu, Thomas Panyarta meminta para pemangku adat di setiap desa menyikapi secara bijak berbagai persoalan, dengan meningkatkan wawasan diri dalam memahami adat istiadat yang positif dan bernilai tinggi. Adat istiadat merupakan warisan budaya leluhur nenek moyang yang perlu dilestarikan, seperti kegiatan berladang.
Thomas yang juga selaku pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Kapuas Hulu mengajak sembilan Ketemenggungan suku Dayak Kantu’ yang berkedudukan di sembilan kecamatan, diantaranya Putussibau Utara, Embaloh Hilir, Boyan Tanjung, Seberuang, Semitau, Silat Hilir, Empanang, Bika dan Putussibau Selatan untuk bercocok tanam dengan cara yang tidak merusak lingkungan.
Muncul keraguan masyarakat atas instruksi pemerintah melalui pihak keamanan, tentang larangan pembakaran hutan dan menangkap ikan menggunakan alat setrum.
“Sekarang sudah memasuki musim berladang. Maka alternatif pertama, misal yang berada di daerah hutan rawa, memungkinkan membuka ladang tidak dengan cara bakar, namun dengan cara diracuni. Setelah rumput mati, kemudian dibenamkan ke tanah dan langsung bisa ditanam padi,” ujar Thomas, Senin (30/5).
Untuk masyarakat yang berada di dataran tinggi, Thomas menyarankan, jika harus membakar, maka diambil solusi bersama pemangku adat setempat. Jangan sampai musim berladang terlambat. Maka perlu galakkan sistem gotong-royong antarsesama peladang saat hendak membakar. “Kemudian membuat pembatas ladang dengan areal lain untuk menghindari api merembet pemukiman atau perkebunan,” tegasnya.
Apabila lokasi berladang terdapat kayu besar, bisa diolah untuk bahan bangunan. Sehingga ketika dibakar, tidak menimbulkan banyak asap. Kemudian menyiapkan alat pemadam api yang maksimal dan menempatkan personil di semua titik areal ladang yang rawan terbakar.
Begitu juga menangkap ikan, Thomas mengingatkan agar tidak menggunakan bahan kimia, jermal waren atau alat lainnya. Karena menyebabkan ikan tertangkap dari besar hingga yang kecil. Cara yang demikian menurut Camat, selain menurunkan populasi ikan, juga dapat merusak lingkungan perairan.
“Maka kalau menemukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, harus disanksi tegas, sesuai aturan dalam buku adat. Begitu juga orang luar yang menangkap ikan ke wilayah orang lain, perlu ada sanksi. Namun jangan main hakim sendiri, karena negara kita negara hukum,” bebernya.
Lanjut Thomas, dulunya nenek moyang khususnya masyarakat suku Dayak sudah sepakat dalam tempat tinggal mereka. Merumuskan adat istiadat sebagai panduan hidup berkelompok dan bermasyarakat. Seperti ketentuan berladang dan menangkap ikan, serta upacara adat lainnya.
“Pada umumnya di masyarakat Dayak, rangkaian kegiatan rutin setiap tahun hampir sama. Seperti ucapan syukur atas hasil panen. Hanya sebutannya yang beda-beda, sesuai dengan daerah dan sub sukunya,” papar Thomas.
Dikatakannya, kebijakan yang dibuat pemerintah itu tentu memiliki tujuan baik. Maka perkembangan aparatur pemerintah diarahkan pada pengembangan dan peningkatan profesionalisme. “Pembangunan kualitas sumber daya manusia dengan melalui pendidikan dan pelatihan formal dan non formal serta teknis,” jelas Thomas.
Laporan: Isfiansyah, Andreas, Humas Pemprov
Editor: Hamka Saptono